Oleh: Abdul Ghopur
Sejak kali pertama istilah demokrasi diperkenalkan kira-kira lima (5) abad sebelum masehi (SM), tepatnya untuk menyebut sistem politik negara-kota Yunani, salah satunya Athena, para filosop populer era itu seperti Sokrates, sesungguhnya sudah memiliki keraguan terhadap sistem ini, lebih lagi kaum aristokrat yang merasa terancam kedudukannya. Sistem demokrasi yang dianggap sebagai anti tesa sistem monarki yang absolut ini memungkinkan pemerintahan dijalankan oleh rakyat tanpa terkecuali. Namun demikian, para filsuf seperti Sokrates ketika itu cenderung menolak serta beranggapan bahwa demokrasi harus dicegah. Sebab, demokrasi memungkinkan orang-orang dungu yang kebetulan mendapat banyak suara yang mendukungnya akan memerintah suatu negara.
Sokrates mafhum (paham sekali) bahwa rakyat (konstituen) tidak melulu memberi dukungan kepada orang-orang yang dianggap paling mampu, melainkan lebih memilih orang-orang yang mereka sukai. Nahasnya, orang-orang yang mereka pilih itu bukanlah orang-orang yang ahli (kompeten) untuk membela nasib mereka.
Ternyata keraguan Sokrates terbukti menjadi kenyataan 20 abad lebih sesudahnya. Dalam konteks Indonesia malahan jejak kecemasan Sokrates menjelma menjadi realitas yang harus kita hadapi sebagai kenyataan pahit. Kita di Indonesia dewasa ini sungguh mengalami dilema sangat amat serius dengan demokrasi yang sedang berlangsung. Dilema itu adalah preferensi antara mengarusutamakan konstituensi (suara pemilih) atau kompetensi (kepakaran) dalam demokrasi? Yakni apakah negara-bangsa dan masyarakat harus diatur kehidupannya oleh orang-orang yang secara konstituensi mendapat dukungan luas, atau orang-orang yang memiliki kemampuan bekerja dengan baik, dengan ditopang intelektualitas yang mumpuni dan dukungan integritas yang handal?
Dalam sejarah politik Indonesia modern, yaitu semenjak diproklamirkannya, beragam percobaan telah dilakukan untuk mencapai suatu kombinasi ideal (modus vivendi) dari tiga unsur kualifikasi yang diharap bisa mendorong serta mengembangkan atmosfir demokrasi yang sehat. Ketiga unsur kualifikasi tersebut adalah: (1) kemampuan dan keahlian dalam bekerja, yang disebut kompetensi, (2) banyaknya kuantitas pemilih untuk mewakili pemilih, yang dinamakan konstituenasi, (3) kesadaran (awareness) seorang politikus tentang nilai-nilai (values) dan norma-norma (norms) yang tidak boleh dilanggar, sebab jika dilanggar maka dia akan berkhianat terhadap prinsip-prinsip perjuangan politiknya sendiri, ini yang dinamakan integritas.
Persoalannya adalah unsur-unsur kualifikasi tersebut di atas kerap mangalami deviasi dalam perpolitikan Indonesia. Jika preferensi politik kita lebih mengedepankan kompetensi tanpa konstituensi maka yang lahir adalah teknokrasi, di mana seseorang menduduki jabatan politik semata-mata karena keahliannya, tanpa perlu meraih dukungan dari konstituen yang luas yang memilihnya. Pada periode-periode awal Orde Baru (Orba), tatkala pemulihan dan pertumbuhan ekonomi menjadi prioritas utama, pemerintah Orba memberikan privilese dan prioritas politik kepada ahli-ahli ekonomi dalam jabatan-jabatan politik. Mereka yang direkrut sebagai ahli-ahli ekonomi rejim Orba dikenal sebagai Mafia Berkeley dan zaken kabinet untuk penamaan para teknokrat pada rejim Orde Lama (Orla).
Sebenarnya teknokrasi ini masih dapat diamini/diinsyafi jika para teknokrat yang menjadi politisi tersebut menunjukkan integritas yang meyakinkan. Sebagaimana telah kita ketahui, praktik teknokrasi tidak menguntungkan partisipasi politik serta partisipasi publik yang luas. Dus, para teknokrat meraih suatu jabatan politik sebab keahlian dan kemampuan (capability) mereka dalam suatu bidang teknis tertentu (misalnya ekonomi, engineering, kesehatan, dll.), yang oleh karenanya mereka tidak membutuhkan dukungan konstituensi. Dengan demikian partisipasi rakyat tidak diperlukan sama sekali. Para teknokrat berpikir serta percaya bahwa soal-soal ekonomi-politik dan sosial-politik dalam suatu negara modern adalah sedemikian rumit dan kompleksnya, sehingga hanya orang-orang yang terlatih dan terpelajar serta memiliki ekpertis yang akan sanggup menyelesaikannya secara kompeten. Misalnya, seorang yang tidak terdidik dalam bidang elektronik mencoba menangani kerusakan mesin computer atau membuat program dalam komputer, maka pasti tidak akan sanggup. Demikian pun diandaikan dalam teknokrasi bahwa setiap masalah teknis hanya bisa dipecahkan secara teknis, seperti halnya sakit telinga hanya bisa diobati/disembuhkan secara teknis-medis oleh dokter ahli telinga atau THT. Ini yang disebut sebagai elitisme intelektual.
Pertanyaannya kemudian, apakah semua masalah sosial-politik bisa diterjemahkan menjadi masalah teknis semata? Di sinilah teknokrasi terjebak ke dalam suatu kesalahan kategori (category mistake), karena menganggap bahwa semua masalah politik dapat diejawantahkan menjadi masalah teknis semata-mata. Yang perlu disadari adalah adanya perbedaan asasi antara masalah teknis dan masalah politis. Misalnya dalam dunia pendidikan, jika diterjemahkan menjadi masalah teknis semata, maka pendidikan dianggap hanya sebatas masalah kurikulum, buku teks, cara ujian, sistem pemberian nilai dan sebagainya. Padahal, aspek politis dari masalah pendidikan bersifat lain sama sekali, yakni pertanyaan-pertanyaan seputar apakah pendidikan nasional bersifat dan bertujuan menciptakan manusia dewasa, ber-ilmu pengetahuan, memiliki sikap kepribadian yang otonom yang sanggup membuatnya berpikir dan memutuskan sendiri segala sesuatu secara terukur dan bertanggungjawab, apakah pendidikan nasional menciptakan manusia yang merdeka, atau sebaliknya? Jangan-jangan pendidikan hanya dijadikan alat negara untuk mengawasi warga negara dan sarana yang harus membentuk ketaatan warga negara terhadap negara (rejim pemerintah). Sebagaima para scholar mencurigai bahwa kampus-kampus adalah agen indoktrinasi ideologi tertentu yang datang dari Barat dan lainnya.
Persoalan yang sekilas terlihat sedemikian teknis seperti halnya sistem ujian untuk murid-murid sekolah sebenarnya memiliki aspek politik yang serius. Jika para pendidik memberikan sistem pilihan-ganda (multiple choice) dalam ujian Bahasa misalnya, maka metode ini hanya mendidik para murid menebak-nebak jawaban dan bukan berpikir untuk mempertanggungjawabkan jawaban yang diberikan terhadap pertanyaan ujian. Sudah barang-tentu metode demikian tidak menumbuhkembangkan daya-cipta, nalar dan daya pikir peserta didik. Dua hal nampak di sini, menunjukkan aspek politis dari metodik dan didaktik.
Tampak dari contoh tersebut di atas bahwa masalah teknis cuma menyangkut pengetahuan, keterampilan dan keahlian, sedangkan masalah politis lebih menyangkut masalah keinginan, aspirasi, pilihan serta kemauan. Yang pertama menyangkut technical know-how yang hanya cukup mengandaikan ekspertis dan pengalaman, sedangkan yang kedua menyangkut political will, yang mengandaikan, selain pengetahuan, juga kehendak dan kemauan, dan ini masih didasarkan pada tujuan yang hendak digapai serta nilai-nilai yang bisa membenarkan tujuan dimaksud. Max Weber mengistilahkan, teknokrasi mengandalkan instrumental rationality atau zweckrationalitaet, yang hanya memperhatikan cara yang efektif meraih tujuan, sedangkan aspek politis menyangkut pula value-rationality atau wertrationalitaet, yang mempersoalkan apakah tujuan yang ditetapkan itu dapat dibenarkan secara rasional, dan apakah cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut dapat dipertanggungjawabkan kelayakkannya. Dengan demikian, artinya akuntabilitas teknokratis bersifat ilmiah, sedangkan akuntabilitas politik bersifat etis.
Di sisi lain, konstituensi tanpa kompetensi menyebabkan partisipasi yang luas tidak membawa kepada persaingan yang sehat, jujur, dan terbuka untuk mendapatkan kompetensi yang terbaik untuk menangani suatu bidang. Sebaliknya, menghasilkan suatu kompromi murahan tentang pembagian posisi dan jabatan politis. Akan tetapi jika kompromi ini terkait aspek kemampuan riil (kompetensi) seseorang, maka kompromi tidak akan pernah tercapai. Tetapi hanya akan tercapai sejauh menyangkut keterwakilan sebuah golongan dalam spekturm politik. Kompromi ini lebih mementingkan kehadiran suatu golongan politik dalam jabatan politik, dan bukannya dasar mengapa kehadiran itu dapat dibenarkan berdasarkan kriteria yang berkenaan dengan kemampuan dan keahlian (kompetensi). Jadi, hal yang kedua ini kebalikan dari hal yang pertama.
Transaksi politik yang tidak didukung oleh argumentasi kompetensi, akan segera berubah menjadi tawar-menawar dagang murahan yang tidak didasarkan pada wacana apa pun yang berkenaan dengan pekerjaan politik yang harus dijalankan, tetapi hanya berhubungan dengan kepentingan suatu ambisi pribadi dan kelompok, yang demi keterwakilannya dalam pembagian kekuasaan, menyebabkan kerugian dalam pertimbangan kepentingan, karena sumbangan orang tersebut dalam produksi kompetensi sangatlah rendah. Akibat dan eksesnya adalah kepentingan umum rakyat banyak dan masyarakat luas diabaikan dan dirugikan.
Sekali pun seseorang mendapat cukup dukungan suara untuk menduduki suatu jabatan politik tertentu, tapi perlu dipertimbangkan persyaratan kompetensi yang memugkinkan yang bersangkutan menjalankan pekerjaan politik. Artinya, jika suatu bidang dipegang oleh orang yang tidak mengerti apa-apa baik secara formal dan dasar pengetahuannya tidak memadai secara materil tentang suatu bidang itu, maka rakyat (konstituen) akan menderita karena kekacauan dan ketiadaan arah pembangunan yang jelas, terutama pembangunan kesejahteraan rakyat dan masyarakat luas.
Dalam konteks perpolitikan Indonesia yang berlangsung belakangan ini, konstituensi tanpa kompetensi sedang kita rasakan dan alami sekarang. Di mana cukup banyak politisi dan calon-calon wakil rakyat baik eksekutif dan legislatif tidak memenuhi persyaratan minimum sumberdaya manusia khususnya di bidang politik, baik karena tingkat pendidikannya yang terlalu rendah, mau pun karena pengalaman politiknya terlalu rendah (baru seumur jagung/anak baru kemarin sore). Kalaulah kenyataannya para politisi yang minim kompetensi tersebut menduduki suatu jabatan politik, itu disebabkan bukan oleh kemampuan mereka dalam menjalankan pekerjaan politik, tetapi lebih karena mereka dapat mengusahakan dukungan politik konstituen yang memberikan suaranya dengan murah untuk mereka.
Selanjutnya, kompetensi dan konstituensi barulah bermakna kalau keduanya didukung oleh suatu integritas politik yang memadai. Pengertiannya adalah kesediaan dan kesanggupan seseorang (politisi) untuk memainkan peran politiknya, dengan berpegang teguh pada beragam prinsip politik tertentu yang telah disepakati umum, yang jika dilanggar akan menyebabkan seseorang akan kehilangan alasan perihal mengapa politik harus dijalankan. Konsensus atau kesepakatan mengenai aturan main dalam politik itu dinamakan moralitas politik, sedangkan kesediaan untuk berpegang teguh pada moralitas politik tersebut dinamakan integritas politik.
Tanpa kedua hal tersebut, maka politik akan hanya menggiring kita kepada dua kemungkinan yakni, pertama, adalah kecenderungan untuk memanfaatkan setiap oportuniti untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan dengan segala cara (etis atau pun tidak etis/halal atau tidak halal). Oportunisme politik seperti ini menyebabkan seseorang bisa bertahan lama dalam dunia politik, tapi sayangnya tidak akan meninggalkan jejak rekam (legacy) dalam sejarah politik di masa depan (sebab tidak ada suatu tujuan mulia yang dipertaruhkan dengan jelas), yang membuat perebutan kekuasaan memiliki alasan untuk dibenarkan.
Kedua, tendensi untuk mengubah tawar-menawar (bargaining) politik yang merupakan tukar-menukar argumentasi menjadi bargaining dagang dengan memakai uang sebagai sarananya (di Indonesia kita menyebutnya money politic). Dalam ilmu sosiologi disebut venalitas yakni keadaan atau sifat terbuka terhadap suap (sogokan)/kemauan untuk disuap atau terlalu termotivasi oleh uang. Jika dalam transaksi ekonomi di pasar tradisional uang dapat digunakan sebagai alat tukar atau alat beli, maka itu adalah hal-ihwal keadaan yang lumrah adanya atau lazim digunakan. Tetapi keadaan yang sama sejatinya tidak bisa berlaku atau diterapkan pada sesuatu yang hakikatnya tidak bisa dibeli oleh uang, politik misalnya. Sebab, di situ ada faktor moralitas dan integirtas politik yang tidak bisa diukur dengan apa pun kecuali moralitas politik itu sendiri, apalagi hanya diukur dengan uang.
Contoh lainnya, misalnya ijazah. Ijazah menjadi penanda bahwa seseorang telah menyelesaikan atau menamatkan suatu tingkat pengajaran tertentu dalam pendidikan di tempat atau lembaga kursus atau sekolah atau universitas. Ijazah ini hanya dapat “dibayar” (dalam tanda kutip) dengan kelulusan seseorang setelah melewati proses (panjang) ujian. Kalau ijazah ini dibeli dengan uang, maka di situ terjadi venalitas, yang pada gilirannya akan menimbulkan venalitas di ujung-ujung yang lainnya. Akibatnya, terjadi penurunan kepercayaan publik terhadap ijazah sekolah. Eksesnya dalam lamaran kerja keabsahan dan keaslian (otentisitas) ijazah tersebut akan diragukan dan dipertanyan publik. Dan, untuk mendapatkan kepercayaan publik yang hilang, politisi yang tak memiliki integritas dan moralitas politik akan menggelontorkan uang dalam jumlah besar untuk membeli keperayaan publik (dalam dunia kerja, seseorang akan menyogok kepala personalia agar mengakui dan menerima ijazah tersebut sebagi asli dan absah).
Pada akhirnya, korelasi antara konstituensi, kompetensi dan integritas, memberikan output yang berbeda dengan tanggungjawab yang berbeda. Konstituensi memberikan legalitas kepada posisi politik seseorang, dengan tanggungjawab yang harus diberikan kepada para konstituennya. Kompetensi memberikan efektifitas kepada posisi politik seseorang, dengan tanggungjawab yang harus diemban dan diberikan kepada pekerjaan yang dilakukannya dan peran yang harus dimainkannya. Sedangkan integritas memberikan legitimasi moral kepada seseorang, dengan tanggungjawab paling berat, yang harus diberikannya kepada dirinya sendiri.
Seseorang yang gagal mempertahankan tingkat tertentu dalam komitmennya kepada moralitas politik, pada gilirannya gagal juga mempertahankan legalitas posisi politiknya, sebab lambat-laun konstituennya juga akan kehilangan kepercayaan (distrust) kepadanya. Ketika itulah seorang politisi mengalami proses delegitimasi politik dan moral. Kalau kita konstekstualisasikan pada perpolitikan Indonesia yang tengah berlangsung dewasa ini, demokrasi kita nampaknya sedang mengalami distorsi bahkan deviasi. Semua ini terjadi karena ditengarai oleh perilaku moral hazard para politisi kita yang minus kompetensi dan integritas politik. Pertanyaannya, apakah kontestasi dan proses pemilihan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Indonesia yang tengah berlangsung sedang mengalami deviasi dan moral hazard, akibat perilaku manipulatif pada saat pendaftaran pasangan calon? Saya tidak mau berspekulasi. Biarkan moral etik rakyat yang menilai, karena kita tak perlu tanyakan pada rumput yang bergoyang!
Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Waljama’ah (ASWAJA),
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB);
Inisiator Yayasan Kedai Ide Pancasila
(menulis banyak buku dan artikel)
Disclaimer: (makalah ini merupakan pendapat peribadi, orang lain dapat saja berpendapat berbeda)
Referensi:
Prof. Miriam Budiardjo. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ignas Kleden. 2000. Demokrasi Dan Distorsinya: Politik Reformasi Di Indonesia. Jakarta. Forum Demokrasi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Edisi Keempat. 2011. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.