Jakarta – Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo memberikan penjelasan cukup panjang perihal kondisi perekonomian di Indonesia. Yustinus yang juga seorang Ekonom itu membeberkan geliat pergerakan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika serikat (USD) sedang mejadi perhatian publik dan menyerempet ranah politik. Berdasarkan kurs transaksi BI (Bank Indonesia), nilai tukar Rupiah terhadap USD per 31 Juli 2018 menyentuh angka Rp14.413. Bisa dibandingkan, sebelum bulan Mei 2018 nilai tukar Rupiah terhadap USD masih di bawah Rp14.000.
“Kami pun dapat memahami jika pelemahan nilai tukar Rupiah menjadi kekhawatiran publik,” ungkap Yustinus, Rabu (1/8/2018).
Di saat yang sama, kata Yustinus, isu pelemahan rupiah ini menjadi isu favorit untuk “digoreng” oleh para politisi. Bahkan penggorengan isu dilakukan hingga ke soal stabilitas sistem keuangan seperti krisis ekonomi 1998. Maklum, kata dia, ini tahun politik sehingga beberapa pihak butuh magnet dan amunisi. Namun, publiklah yang menjadi korban atas pendidikan politik yang jorok tersebut, yakni miskin diskursus gagasan yang rasional. Oleh karena itu, tambah dia, ada hutang moral baginya untuk memberikan pandangan dan analisis yang rasional dan argumentatif terkait kondisi markroekonomi tanah air.
“Kondisi kita sekarang jauh berbeda dibandingkan dengan krisis ekonomi 1998. Kita tahu, faktor eksternal menjadi salah satu penyebab krisis 1998. Kini, Indonesia telah membuktikan diri sebagai negara “emerging market” yang tahan terhadap guncangan eksternal. Kita lihat, short-term debt coverage ratio kita masih di atas 100%,” jelas Yustinus.
Artinya, kata dia, Indonesia masih aman dari risiko likuiditas. Lebih lanjut, semenjak krisis 1998 cadangan devisa terus membaik bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Malaysia atau Filipina. Jika di tahun 1998 cadangan devisa hanya USD 20 miliar kini cadangan devisa mencapai USD 128 miliar. Alasan lain mengapa Indonesia masih aman dari guncangan seperti tahun 1998 adalah tingkat financial leverage yang menurun drastis dibandingkan tahun 1998. Jika tahun 1998 rasio Debt-to-Equity sebesar 208,96% kini rasio Debt-to-Equity hanya 45,28%. Rasio ini paling rendah jika dibandingkan dengan negara ASEAN lain seperti Malaysia (74,75%), Singapura (77,35%), dan Thailand (68,34%). Bahkan rasio hutang berdenominasi mata uang asing terhadap hutang berdenominasi mata uang lokal terus mengalami perbaikan dari tahun 1998.
“Jika di tahun 1998 hutang berdenominasi mata uang asing berkontribusi sebesar 21% terhadap total utang kini jumlah hutang yang berdenominasi mata uang asing berkurang menjadi 15%. Artinya, ada perbaikan yang signifikan dari pengelolaan utang terkait risiko nilai tukar,” sebutnya.
Dia melanjutkan, pelemahan nilai mata uang terhadap USD tidak hanya terjadi pada rupiah saja namun ini juga mendera mata uang negara “emerging markets” lainnya. Pelemahan ini terjadi secara bersamaan dengan munculnya isu perang dagang Amerika Serikat, pelemahan mata uang China terhadap USD, dan kenaikan harga minyak dunia. Artinya, faktor eksternal memang berperan besar dalam pelemahan rupiah terhadap USD. Menyalahkan Pemerintah menjadi salah sasaran karena penyebab gejolak sebagian besar faktor eksternal yang ada di luar kendali Pemerintah.
“Bahwa Pemerintah perlu awas dan responsif, benar belaka!,” ucap dia.
Selain faktor eksternal, dia akui perlunya perbaikan fundamental ekonomi Indonesia. Currenct account deficit Indonesia tahun ini diprediksi akan lebih buruk dibandingkan tahun sebelumnya. Dan diketahui, salah satu penyebab meningkatnya currenct account deficit adalah peningkatan nilai barang yang diimpor dibandingkan tahun lalu. Namun demikian, perlu melihat apa yang menjadi penyebab dari kenaikan impor.
Semenjak kenaikan harga komoditas dalam beberapa tahun terakhir, permintaan atas mesin dan alat berat untuk mendukung sektor tersebut meningkat. Hal ini dapat dilihat dari pembentukan fixed capital yang meningkat sebesar 7,9% atau tertinggi dalam lima tahun terakhir. Namun, kebutuhan industri atas permintaan mesin dan alat berat tidak dapat dipenuhi oleh pasar domestik sehingga harus melakukan impor.
“Inilah mengapa nilai impor kita meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu,” ujarnya.
Sebagai negara dengan perekonomian dan ekspor yang masih bergantung terhadap sektor komoditas, sambung Yustinus, kondisi seperti ini seharusnya malah membuat lebih optimistik tentang fundamental ekonomi di masa mendatang. Current account deficit yang terjadi adalah sinyal dari sektor komoditas yang mulai bergairah yang pada akhirnya akan meningkatkan ekspor dan otomatis memperbaiki kondisi currenct account di masa mendatang. Lebih lanjut, kondisi ini juga merupakan sinyal ekonomi yang akan tumbuh lebih tinggi dalam beberapa tahun ke depan.
“Dalam teori makroekonomi kita tahu bahwa di saat investasi lebih besar dibandingkan saving dan di saat yang sama defisit APBN juga membesar maka permintaan atas USD akan meningkat dan menekan nilai tukar Rupiah. Namun dalam membuat kebijakan kita perlu memperhatikan siklus ekonomi. Di awal Presiden Jokowi menjabat, kita mengalami apa yang disebut sebagai “the end of commodity super cycle”. Anjloknya harga komoditas memukul ekonomi Indonesia bahkan ekonomi sempat tumbuh di bawah 5%,” tuturnya.
Saat itu, kata dia, perlu sebuah gebrakan kebijakan terhadap ekonomi. Salah satu opsi yang diambil pemerintah adalah mendorong ekonomi melalui kebijakan counter-cyclical fiscal policy dengan meningkatkan spending untuk infrastruktur.
“Tentu, kita belajar dari Yunani yang malah mengalami krisis setelah menjalani kebijakan pengetatan fiskal (pro-cyclical fiscal policy). Artinya, menyalahkan kebijakan fiskal pemerintah terhadap pelemahan nilai rupiah bukanlah hal yang bijak. Mengapa? pada saat itu, opsi terbaik yang harus diambil pemerintah adalah memang counter-cyclical fiscal policy. Tentu, pada saat itu tak ada yang dapat meramalkan faktor perang dagang bahkan kita pun tidak menyangka Trump bakal menjadi pemilihan presiden Amerika Serikat dengan kebijakan proteksionis. Terlebih lagi, pada saat tersebut kita tidak tahu secara pasti arah kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat. Dua faktor eksternal tersebut yang mempengaruhi nilai tukar kita,” paparnya.
Terkait defisit APBN, lanjut Yustinus, sepanjang semester I tahun 2018 pemerintah berhasil mengumpulkan penerimaan pajak sebesar Rp581,54 triliun atau 40,84 persen dari target. Angka ini menunjukan perbaikan yang signifikan dalam penerimaan negara, dibanding realisasi APBNP 2017 sebesar 39,75 persen. Tahun 2017 pemerintah berhasil meraup penerimaan perpajakan sebesar 90,98 persen dari target APBN 2017.
“Melihat perbaikan kinerja semua jenis pajak pada semester I 2018, kami memproyeksikan bahwa pemerintah mampu mencapai 94 persen target penerimaan pajak dalam APBN 2018. Sebuah pencapaian yang luar biasa melihat target penerimaan pajak dalam APBN 2018 naik lebih dari 20 persen dari realisasi 2017. Dengan demikian defisit APBN 2018 juga akan mengalami perbaikan,” bebernya.
“Dengan realitas perbaikan penerimaan pajak dan defisit APBN 2018, menjadi salah sasaran menjadikan defisit APBN sebagai kambing hitam pelemahan rupiah. Mengapa? jika defisit APBN disalahkan, seharusnya rupiah jauh lebih tertekan pada tahun-tahun sebelumnya karena defisit APBN tahun sebelumnya jauh lebih besar dibandingkan proyeksi tahun ini,” ucap dia lagi.
Dari sisi pengeluaran negara, kata dia, pemerintah telah meningkatkan kualitas belanja. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah meningkatkan kualitas belanja negara dengan meningkatkan belanja produktif seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, dan lainnya. Sebagai hasilnya, meski pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan dalam beberapa tahun terakhir, tingkat kemiskinan turun untuk pertama kalinya di bawah 10%. Di saat yang sama, ketimpangan yang direpresentasikan oleh gini ratio juga turun menjadi 0,389.
Berbeda dengan politisi, kata dia, bagi masyarakat isu pelemahan rupiah penting karena berpengaruh terhadap daya beli mereka terutama untuk barang yang diimpor. Namun, tambahnya, pemerintah sendiri sudah menjaga daya beli masyarakat dengan menjaga nilai inflasi dengan baik. Per Juni 2018 nilai inflasi year-on-year hanya 3,12%. Di saat yang sama, upah riil harian buruh tani dan buruh bangunan juga mengalami perbaikan year-on-year.
“Artinya, bagi masyarakat pelemahan nilai tukar terhadap USD tidak berpengaruh banyak terutama bagi mereka yang berada di lapisan ekonomi bawah (kelompok miskin),” sebutnya.
Terlepas dari kisruh nilai tukar rupiah terhadap USD. Ada beberapa indikator makroekonomi yang menimbulkan optimisme dalam ekonomi negeri ini. Pertumbuhan ekonomi dalam Kuartal I memang masih dalam stagnansi. Namun, penjualan ritel diproyeksikan akan meningkat. Artinya, stagnansi pertumbuhan konsumsi yang berkontribusi besar terhadap PDB hanyalah fenomena sementara.
“Ke depan, tingkat konsumsi masyarakat akan meningkat dan akan lebih mendorong pertumbuhan ekonomi,” terangnya.
Dia melanjutkan sebagai upaya mendorong ekspor, Pemerintah juga sudah berupaya keras melobi negara-negara Uni Eropa terkait larangan impor CPO yang memukul bangsa sendiri. Niat pemerintah mengevaluasi beberapa proyek infrastruktur yang tingkat kemendesakannya rendah patut diapresiasi sebagai respon terhadap dinamika nilai tukar rupiah. Penjadwalan ini seyogianya tidak mengganggu proyek-proyek yang strategis dan penting untuk menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi. Pemerintah juga diharapkan tetap konsisten menjaga daya beli masyarakat berpenghasilan rendah agar tidak terdampak gejolak ekonomi yang terjadi.
Terkait Dana Hasil Ekspor (DHE), perlu dipikirkan langkah terobosan untuk menjamin kepastian hukum dan finansial, tata kelola, pembukaan rekening khusus, jaminan ketersediaan USD sewaktu-waktu dibutuhkan, dan insentif untuk DHE yang direpatriasi. Ini juga dapat menjadi bagian perbaikan skema insentif bagi industri padat modal dan bernilai strategis, agar lebih atraktif dan kompetitif bagi calon investor, misalnya sektor hulu migas dan pertambangan – mengingat kita membutuhkan investasi yang besar untuk menggerakkan perekonomian nasional.
“Ekonomi bukanlah ilmu pasti yang berpretensi menyimpulkan benar-salah secara hitam putih. Tapi ilmu ekonomi punya daya prediksi dan metode untuk memahami gejala ekonomi. Melampaui itu, dibutuhkan kejujuran dan sikap terbuka supaya tiap analisis yang dibuat lebih proporsional dan kredibel, sehingga tidak menimbulkan kecemasan yang tidak perlu. Dinamika yang terjadi merupakan undangan bagi semua pihak untuk saling berdiskusi, bertukar pikiran, mendengarkan, dan akhirnya bertindak yang tepat bagi kebaikan bangsa Indonesia. Waspada harus, cemas nggak banget,” pungkasnya.