Oleh : Antonius Benny Susetyo
Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
Menjelang Pilkada 2024, Indonesia kembali berada di persimpangan penting dalam perjalanan demokrasinya. Demokrasi yang seharusnya menjadi sarana rakyat untuk menentukan pemimpin yang sesuai dengan kehendak mereka, kini semakin terancam oleh praktik-praktik politik yang mencederai makna sebenarnya dari demokrasi itu sendiri. Salah satu isu utama yang disoroti oleh Ketua DPR RI, Doktor Honoris Causa Puan Maharani, dalam pidatonya pada 16 Agustus 2024, adalah demokrasi harus benar benar mengutamakan pilihan rakyat, bukan sekedar upaya kelompok tertentu untuk meraih kekuasaan , hal ini sejalan dengan fenomena pembajakan demokrasi oleh kartel politik yang mengakibatkan rakyat kehilangan kesempatan untuk memilih pemimpin sejati secara bebas dan tanpa paksaan khususnya dalam menghadapi pilkada yang akan datang.
Dalam demokrasi yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila, esensi dari demokrasi itu sendiri adalah kesetaraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila, sebagai ideologi negara, menempatkan kedaulatan di tangan rakyat, memberikan hak kepada setiap individu untuk berpartisipasi dalam menentukan arah bangsa. Namun, kenyataan yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa praktik-praktik politik yang ada seringkali bertentangan dengan nilai-nilai luhur tersebut. Demokrasi yang berkualitas seharusnya memberi kesempatan kepada rakyat untuk memilih tanpa paksaan atau tekanan. Demokrasi yang sejati tidak membatasi pilihan rakyat, melainkan justru memperkuat posisi mereka sebagai pemegang kedaulatan. Demokrasi dalam konteks Pancasila harus menghormati prinsip kesetaraan, di mana setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam proses politik.Namun, demokrasi Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius dengan adanya dominasi kartel politik. Kartel politik ini terdiri dari kelompok-kelompok kekuatan yang mendominasi partai-partai politik, sehingga rakyat sulit untuk menentukan calon pemimpin yang benar-benar mereka inginkan. Partai-partai politik yang seharusnya menjadi instrumen demokrasi kini seringkali dikuasai oleh kekuatan-kekuatan tersebut, yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok daripada kepentingan rakyat.
Ketika kartel politik mendominasi, proses demokrasi menjadi terdistorsi. Rakyat kehilangan kesempatan untuk memilih pemimpin yang memiliki rekam jejak, prestasi, dan kemampuan manajerial yang baik. Sebaliknya, yang terjadi adalah pemimpin-pemimpin yang muncul ke permukaan seringkali adalah mereka yang populer karena citra yang dibangun melalui media, bukan karena kualitas kepemimpinan yang sebenarnya. Akibatnya, demokrasi kehilangan esensi dan maknanya sebagai alat untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Ketika kartel politik menentukan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan, demokrasi kehilangan arah dan tujuannya. Demokrasi terbesar adalah ketika rakyat tidak lagi menyadari apa makna sejati dari demokrasi itu sendiri. Makna demokrasi yang sebenarnya adalah ketika rakyat memiliki kemampuan untuk menentukan pemimpin yang mereka inginkan berdasarkan pertimbangan rasional, bukan karena tekanan atau pengaruh dari kekuatan tertentu.
Ketika kekuatan politik yang mendominasi menentukan calon pemimpin, rakyat kehilangan kedaulatan mereka untuk memilih pemimpin yang terbaik. Demokrasi yang dibajak oleh partai politik akan sangat berbahaya bagi masa depan bangsa dan negara, karena akan mengakibatkan demokrasi kehilangan makna substansialnya. Makna dari demokrasi adalah bagaimana kedaulatan rakyat tidak boleh disalahgunakan oleh partai atau kekuatan uang. Rakyat seharusnya memiliki kebebasan untuk memilih yang terbaik, berdasarkan rekam jejak, prestasi, dan kemampuan pemimpin dalam manajemen. Namun, kenyataannya, kedaulatan rakyat seringkali kalah dengan kedaulatan uang. Kekuatan uang dapat dengan mudah menggunakan teknologi media, baik media massa maupun media sosial, untuk membangun citra calon pemimpin, sehingga seolah-olah mereka memperjuangkan kepentingan rakyat, padahal kenyataannya tidak demikian.
Salah satu masalah utama dalam demokrasi Indonesia saat ini adalah berkembangnya budaya kepalsuan. Rakyat seringkali digiring untuk memilih pemimpin berdasarkan citra yang dibangun oleh media, bukan berdasarkan realitas yang sebenarnya. Akibatnya, pemimpin yang dipilih oleh rakyat tidak selalu memiliki kualitas yang diperlukan untuk memimpin bangsa ini menuju arah yang lebih baik. Socrates dan Plato, dua filsuf besar dari Yunani kuno, telah mengingatkan bahaya demokrasi tanpa arah yang jelas. Demokrasi tanpa diimbangi dengan pendidikan yang baik dan kemampuan untuk memahami realitas akan membuat rakyat mudah terpengaruh oleh mitos dan citra palsu. Dalam demokrasi yang serba instan seperti saat ini, rakyat dengan mudah dikendalikan oleh kekuatan media digital yang membangun citra dan menciptakan mitos tentang pemimpin yang seolah-olah pro rakyat, padahal sebenarnya hanya memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu. Socrates dan Plato menggambarkan bahaya dari memilih pemimpin yang hanya populer tetapi tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan yang memadai. Seorang pemimpin yang baik diibaratkan seperti nakhoda kapal yang mampu membawa kapal itu ke tujuan dengan selamat. Namun, jika rakyat memilih pemimpin yang hanya populer tanpa mempertimbangkan kualitas dan kemampuan, maka kapal demokrasi akan terombang-ambing tanpa arah dan akhirnya menabrak karang.
Demokrasi yang berkualitas adalah demokrasi yang benar-benar mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap aspeknya. Demokrasi Pancasila tidak membenarkan tindakan rekayasa politik yang menghalangi rakyat untuk memilih pemimpin yang sejati. Fenomena kotak kosong dan kartel politik merupakan ancaman serius bagi demokrasi Pancasila. Dalam sistem demokrasi Pancasila, tidak dibenarkan adanya calon tunggal yang sebenarnya mengkhianati amanat dari nilai-nilai Pancasila. Elite politik seharusnya memiliki etika dan kepantasan dalam berpolitik, dengan menempatkan kepentingan rakyat sebagai hukum tertinggi. Jika politik hanya menjadi alat untuk merebut kekuasaan, maka partai-partai politik akan menjadi benalu bagi negara ini.
Peringatan Puan Maharani juga sejalan dengan amanat Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan, yang menekankan pentingnya mencari pemimpin yang sejati. Dalam pidatonya saat memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia di Lenteng Agung, Megawati mengingatkan bahwa tugas partai politik adalah mencari pemimpin yang terbaik, bukan sekadar alat untuk meraih kekuasaan. Untuk menjaga tegaknya nilai-nilai Pancasila dalam demokrasi, elit politik harus kembali kepada cita-cita pendiri bangsa. Politik harus menjadi alat untuk membangun peradaban, bukan sekadar untuk merebut kekuasaan. Demokrasi Pancasila harus menjadi acuan dalam berpikir, bertindak, dan bernalar dalam politik. Demokrasi Pancasila harus menempatkan kedaulatan di tangan rakyat, bukan di tangan partai atau orang yang menggunakan kekuasaannya untuk membeli partai dan menjadikannya sebagai alat kepentingan politik semata. Dalam konteks ini, kualitas demokrasi menjadi sangat penting. Demokrasi yang berkualitas adalah demokrasi yang memungkinkan rakyat untuk memilih pemimpin yang memiliki rekam jejak, prestasi, dan kemampuan yang jelas. Demokrasi yang berkualitas juga adalah demokrasi yang tidak terdistorsi oleh pengaruh uang atau kekuatan politik tertentu.Namun, kenyataannya, demokrasi Indonesia saat ini masih jauh dari ideal. Banyak tantangan yang harus dihadapi untuk mewujudkan demokrasi yang sejati, di mana rakyat benar-benar memiliki kedaulatan untuk menentukan masa depan bangsa. Tantangan terbesar adalah bagaimana menghadapi dominasi kartel politik yang semakin mengakar dalam sistem politik Indonesia.
Menjaga demokrasi Pancasila tetap hidup dan berfungsi dengan baik bukanlah tugas yang mudah. Demokrasi Pancasila adalah sistem yang kompleks, yang mengharuskan adanya keseimbangan antara kepentingan rakyat dan kepentingan negara. Dalam demokrasi Pancasila, rakyat memiliki hak dan kewajiban untuk berpartisipasi dalam proses politik, namun partai politik juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa proses tersebut berjalan dengan adil dan transparan.Sayangnya, dalam realitas politik Indonesia saat ini, keseimbangan ini seringkali terganggu oleh dominasi kartel politik. Kartel politik ini menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya untuk memanipulasi proses demokrasi, sehingga rakyat kehilangan hak mereka untuk memilih pemimpin yang benar-benar mereka inginkan.
Tantangan terbesar dalam menjaga demokrasi Pancasila adalah bagaimana mengatasi dominasi kartel politik ini. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah konkret yang dapat memastikan bahwa proses demokrasi berjalan dengan adil dan transparan. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan memperkuat peran lembaga-lembaga negara yang independen, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), untuk memastikan bahwa pemilu berjalan dengan jujur, adil, dan bebas dari intervensi pihak-pihak yang berkepentingan. KPU dan Bawaslu harus diberdayakan dengan kewenangan yang cukup untuk menindak tegas setiap bentuk pelanggaran yang terjadi dalam proses pemilu. Kemandirian lembaga-lembaga ini sangat krusial agar mereka dapat menjalankan tugasnya tanpa tekanan atau pengaruh dari kekuatan politik tertentu. Selain itu, pendidikan politik bagi masyarakat juga menjadi aspek penting dalam menjaga kualitas demokrasi. Masyarakat harus dibekali dengan pengetahuan yang cukup tentang proses demokrasi, hak-hak mereka sebagai pemilih, dan cara-cara untuk mengidentifikasi calon pemimpin yang layak. Dengan demikian, rakyat tidak akan mudah terpengaruh oleh kampanye-kampanye yang menyesatkan atau citra palsu yang dibangun oleh kekuatan media.
Pemimpin sejati adalah mereka yang memiliki integritas, jujur, dan berkomitmen untuk melayani kepentingan rakyat, bukan kepentingan kelompok atau pribadi. Integritas ini harus menjadi syarat utama bagi setiap calon pemimpin yang ingin maju dalam kontestasi politik. Tanpa integritas, pemimpin hanya akan menjadi boneka yang dikendalikan oleh kekuatan yang lebih besar, dan pada akhirnya, rakyat yang akan dirugikan. Menjelang Pilkada 2024, bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan besar dalam menjaga demokrasi tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Demokrasi Pancasila seharusnya memberi ruang bagi rakyat untuk memilih pemimpin sejati, namun realitas yang terjadi justru menunjukkan dominasi kartel politik yang semakin mengakar dan mengancam kedaulatan rakyat.
Pernyataan Megawati Soekarnoputri dan Puan Maharani menjadi pengingat penting bahwa demokrasi yang berkualitas harus dijaga dengan integritas dan keadilan. Pemimpin sejati tidak hanya dinilai dari popularitas atau citra, tetapi dari rekam jejak, prestasi, dan kemampuan dalam membawa bangsa menuju masa depan yang lebih baik. Dalam demokrasi Pancasila, rakyat harus diberikan kebebasan untuk memilih pemimpin berdasarkan pertimbangan rasional, bukan karena tekanan atau manipulasi dari kekuatan politik tertentu. Masa depan demokrasi Indonesia sangat bergantung pada kesadaran dan partisipasi aktif rakyat dalam proses politik. Rakyat harus menjadi subjek yang menentukan arah bangsa, bukan sekadar objek yang dimanipulasi oleh kekuatan politik. Untuk itu, perlu ada upaya yang serius dari semua pihak, termasuk partai politik, lembaga negara, dan masyarakat, untuk memastikan bahwa demokrasi berjalan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.Demokrasi yang berkualitas adalah demokrasi yang memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam menentukan masa depan bangsa. Dengan menjaga integritas, transparansi, dan keadilan dalam proses politik, Indonesia dapat menemukan pemimpin sejati yang mampu membawa bangsa ini menuju masa depan yang lebih cerah dan beradab.