Jakarta – Aliansi Rakyat Untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menyerukan agar pemerintah Indonesia memperlihatkan komitmen yang semakin serius untuk keadilan iklim, termasuk mendorong keberadaan aturan perundang-undangan yang menjamin keadilan dan keselamatan rakyat dari krisis iklim.
Dalam pernyataan bersama yang diterima di Jakarta, Senin, ARUKI yang merupakan aliansi 34 organisasi masyarakat sipil itu mendorong pemerintah baru untuk semakin banyak memperlihatkan langkah konkret Indonesia mengurangi ketergantungan pada industri ekstraktif dan beralih ke model pembangunan yang lebih berkelanjutan.
“Yang tidak hanya mengedepankan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan, menegakkan hak asasi manusia dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, khususnya bagi subjek-subjek rentan,” kata Torry Kuswardono, Direktur Yayasan PIKUL sekaligus Dinamisator ARUKI dalam keterangan merespons pidato Presiden Joko Widodo di Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI 2024.
Secara khusus, ARUKI yang beberapa anggotanya termasuk Yayasan PIKUL WALHI, ICEL, Kemitraan, Madani Berkelanjutan, YLBHI dan AMAN itu menyoroti belum adanya fokus khusus terkait krisis iklim dalam pidato Presiden Jokowi pada 16 Agustus 2024, meski sempat menyinggung ekonomi hijau.
Secara khusus mereka menyoroti belum dipaparkannya keberhasilan dari komitmen Pemerintah Indonesia untuk penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43,20 persen dengan bantuan internasional.
Di sisi lain, katanya, meskipun terjadi kemajuan-kemajuan secara makro tetapi masih terdapat kebijakan ekonomi yang bertumpu pada industri ekstraktif yang berpengaruh terhadap krisis iklim.
Dampaknya paling dirasakan oleh subjek-subjek rentan seperti petani kecil, nelayan tradisional, Masyarakat Adat, perempuan, orang muda, buruh, pekerja informal, penyandang disabilitas, anak-anak dan lansia yang berada di garis depan menghadapi perubahan iklim.
Karena itu, aliansi tersebut mendorong agar pemerintah baru terus proaktif untuk melakukan evaluasi dan koreksi terhadap kebijakan dan regulasi demi mewujudkan keadilan iklim selain juga segera adanya pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Keadilan Iklim.
Indonesia, katanya, perlu memiliki satu regulasi yang lebih tinggi dan bisa memayungi semua sektor melampaui sekat-sekat sektoral dan birokrasi.
“Momentum ini sangat penting untuk dimanfaatkan, mengingat dampak krisis iklim yang semakin meluas dan mengorbankan kehidupan rakyat Indonesia, terutama mereka yang sangat bergantung pada daya dukung dan daya tampung lingkungan. Keadilan iklim bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan mendesak demi melindungi masa depan bumi dan rakyat Indonesia,” katanya.