JAKARTA – Pernyataan Wasekjen Partai Demokrat, Andi Arief yang menantang Jokowi menyerahkan matanya untuk Novel Baswedan dinilai terlalu kasar dan tidak kontekstual jika dikaitkan dengan isu pelanggaran HAM yang kerap dituduhkan ke Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto.
Menurut Direktur Ekskutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo, pernyataan Andi Arief tersebut jauh dari sopan santun. Dia pun menyarankan agar Ketua Umum Gerindra dan Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendidik Andi Arief dalam hal sopan santun.
“Maka sebaiknya Prabowo dan SBY perlu mendidik Andi Arief dalam hal sopan santun,” tegas Karyono Wibowo, Minggu (30/12/2018).
Karena, kata pengamat politik ini, pernyataan Andi memiliki korelasi dengan tim kampanye Badan Pemenangan Nasional Prabowo – Sandi dimana Partai Demokrat ada di dalamnya. Andi Arief tidak melanggar pakem SBY yang selalu mengedepankan politik santun. Karyono menegaskan bahwa kasus penganiayaan penyidik senior KPK Novel Baswedan, semuanya sependapat bahwa kasus tersebut harus dituntaskan tapi tidak harus dengan cara-cara kasar seperti yang dilakukan Andi Arief.
“Pernyataan Andi Arief memang tidak secara langsung meminta Jokowi menyumbangkan matanya untuk Novel Baswedan tetapi pernyataan tersebut secara tersirat menantang Jokowi untuk menyerahkan satu matanya untuk disumbangkan ke Novel Baswedan. Pernyataan tersebut jelas sangat sarkastik,” tutur Karyono.
Meskipun demikian, dia kembali berpesan agar pasangan Capres Jokowi – KH. Ma’ruf Amin dan timnya tidak perlu menanggapi pernyataan Andi Arief. Lebih baik diabaikan saja karena justru pernyataan Andi akan menjadi bumerang bagi kubu Prabowo – Sandi sendiri. Oleh karenanya, ia berharap Tim Jokowi – KH. Ma’ruf Amin tidak terjebak pada provokasi-provokasi baik dari Andi Arief maupun provokasi lainnya.
“Cuitan Andi Arief di akun twitternya lebih baik dicuekin saja karena berbicara soal pelanggaran isu pelanggaran HAM Prabowo, sudah terlalu melekat di benak publik. Catatan buruk tentang isu pelanggaran HAM Prabowo di masa lalu sudah banyak diketahui masyarakat,” cetus Karyono.
Dia menambahkan bahwa celotehan Andi Arief tersebut menunjukkan kegalauan kubu Prabowo – Sandi terkait munculnya kembali isu pelanggaran HAM yang mengarah ke Prabowo.
“Pernyataan Andi Arief sebenarnya menunjukkan kegalauan kubu Prabowo – Sandi soal munculnya isu pelanggaran HAM yang mengarah ke Prabowo,” terang dia lagi.
Isu HAM Belum Menjadi Isu Mainstream
Karyono memastikan isu HAM di negeri ini belum menjadi arus utama terutama jika dikaitkan dengan kontestasi elektoral. Artinya, kata dia, isu HAM bukan menjadi faktor utama yang menjadi pertimbangan memilih kandidat. Dalam sejumlah hasil survei, faktor utama yang menjadi pertimbangan memilih adalah persoalan adalah isu tentang pemenuhan hak-hak dasar seperti masalah lapangan pekerjaan, infrastruktur, dan isu-isu ekonomi lainnya.
“Oleh karenanya baik Andi Arief tidak perlu terlalu risau dengan isu HAM. Justru ketika kubu Prabowo menyikapi isu ini dengan cara membabi-buta malah menguras energi dan bisa menjadi bumerang,” pungkasnya.
Sebelumnya, Wakil Sekjen Partai Demokrat Andi Arief menantang Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyerahkan satu matanya ke Novel Baswedan. Tantangan itu merespons isu pelanggaran HAM yang kerap dituduhkan ke capres nomor urut 02 Prabowo Subianto.
“Kalau masih ada yang yang berkoar soal penculikan atau pebunuhan masa lalu, sebaiknya besok pagi lihat mata Novel Baswedan. Tanyakan pada sebelah matanya, Jokowi ngapain aja,” kata Andi dalam akun Twitter-nya, Minggu (30/12).
“Kalau Jokowi berkeinginan memberi sebelah matanya Pada Novel Baswedan, mari kita bicara soal penculikan dan pembunuhan masa lalu. Kenapa mata Pak Jokowi? Karena percuma punya mata tapi tau mau melihat persoalan yang mudah ini untuk diselesaikan,” imbuh Andi.
@AndiArief__Kalau Jokowi berkeinginan memberi sebelah matanya Pada Novel Baswedan, mari kita bicara soal penculikan dan pembunuhan masa lalu. Kenapa mata Pak Jokowi? Karena percuma punya mata tapi tau mau melihat persoalan yg mudah ini untuk diselesaikan.