Oleh: Ayik Heriansyah
Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jabar
Benar bahwa DNA menyebabkan seorang anak mempunyai kemiripan fisik dan sifat dengan orang tua. DNA (Deoxyribonucleic Acid) adalah molekul yang menyimpan informasi genetik dalam tubuh yang diwarisi melalui proses reproduksi.
Akan tetapi DNA tidak dapat mentranfer ilmu dan akhlak orang tua kepada anaknya. Ilmu dan akhlak diperoleh dari luar DNA melalui proses belajar, pendidikan dan pelatihan.
Oleh sebab itu ilmu dan akhlak anak belum tentu sama dengan orang tuanya. Contoh, Kan’an anak Nabi Nuh as. Kan’an seorang yang kafir dan durhaka kepada Allah swt. Bertolak belakang dengan ayahnya yang sangat beriman dan bertaqwa.
Contoh lainnya, Ali bin Abi Thalib adalah seorang sahabat Nabi saw yang beriman, berilmu dan bertaqwa kepada Allah swt sampai dijamin masuk surga, tapi berbeda dengan ayahnya Abu Thalib yang tetap dalam keadaan kafir sampai akhir hayatnya.
Bilamana kita dapat memisahkan antara DNA dengan ilmu dan akhlak, tidak ada yang perlu diributkan dalam membahas nasab seseorang. Habaib yang mengaku meneruskan DNA Nabi Muhammad saw berdasarkan periwayatan dan pencatatan yang mereka punya, akan tetapi tidak otomatis mewarisi ilmu dan akhlak Beliau saw.
Pada faktanya ada Habib ber-DNA Rasulullah saw tapi tidak mencerminkan ilmu dan akhlak Beliau saw. Kasus yang sama juga berlaku untuk keturunan Kiai, Ajengan, Tuan Guru dan Ustadz. Ada Gus, Ceng dan Lora yang ber-DNA Kiai, tapi ilmu dan akhlak mereka tidak sesuai dengan DNA-nya.
Yang menjadi problem ketika kita mencampuradukkan pembahasan DNA dengan ilmu dan akhlak seseorang dalam satu pembahasan. Ditambah kecenderungan untuk melakukan generalisasi terhadap ilmu dan akhlak para Gus, Ceng, Habib dan Lora.
Seolah-olah karena punya DNA yang sama, maka ilmu dan akhlak mereka sama semua. Padahal ilmu dan akhlak mereka sangat bervariasi
Keturunan Nabi, Kiai, Ajengan, Tuan Guru dan Ustadz selama masih tertanam hawa nafsu syahwat di dalam dirinya, pasti berpotensi berbuat salah dan hilaf. Lalu, apakah mereka harus kita persekusi dengan cara main hakim sendiri?
Sikap main hakim sendiri (vigilante) sebenarnya berawal dari sikap main tafsir dan syarah sendiri. Lalu diwujudkan dalam bentuk persekusi.
Pelaku persekusi merasa sedang melaksanakan perintah Allah swt dengan menggunakan kekerasan. Kekerasan simbolik, psikis, verbal dan fisik. Sudah masuk kategori terorisme yakni kekerasan yang dilatarbelakangi oleh kepercayaan dan keyakinan tertentu.
Di negara kita penggunaan kekerasan untuk menegakkan hukum merupakan wewenang polisi. Polisi mempunyai otoritas untuk melakukan tindakan fisik terhadap pelaku kejahatan.
Individu dan ormas tidak berwewenang melakukannya, apapun alasannya. Jika dilakukan maka itu termasuk kedzaliman yang dilarang oleh Allah swt dan Rasul-Nya.