Oleh: Abdul Ghopur
Sungguh ironis, setelah 79 tahun Indonesia meraih kemerdekaan politiknya, masih ada saja sebagian masyarakat yang terus menggelorakan dan mengatasnamakan paham tertentu yang bertentangan dengan Pancasila untuk mengubah dasar negara yang telah kita sepakati bersama ini. Tentu saja ini ancaman nyata bagi keberlangsungan hidup dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, republik tercinta ini. Fenomena gerakan-gerakan intoleransi akhir-akhir ini begitu nampak dan menggejala atau merebak dimana-mana, mengoyak-ngoyak persatuan dan kesatuan negeri ini, sekali lagi, dengan satu tujuan, ingin mengubah dasar negara, Pancasila.
Paham intoleransi ini bisa masuk dan diterima secara “lapang dada” oleh segelintir anak bangsa tentu melalui banyak sebab, di antaranya-ketidaktahuan dan ketidakpahaman terhadap sejarah pergerakan nasional bangsanya. Karenanya, gerakan menanam dan menumbuhkan kembali semangat kebangsaan, keindonesiaan, dan kepancasilaan serta rasa cinta tanah air secara bijaksana, sungguh sangat perlu dilakukan lagi serentak dan berkelanjutan.
Sebab, berbicara tentang Indonesia memerlukan pemahaman sekaligus penghayatan yang menyeluruh (komprehensif). Karena, sesungguhnya bangsa Indonesia bukanlah semata “konsepsi kultural” melainkan juga “konsepsi politik” tentang sebuah entitas yang tumbuh berdasarkan kesadaran politik untuk merdeka dengan meletakkan individu ke dalam kerangka kerakyatan. Dalam kerangka ini, setiap rakyat dipertautkan dengan suatu komunitas politik dalam kedudukan yang sederajat di depan hukum, dengan operasi atas prinsip kekariban, keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bersama.
Namun sayangnya, prinsip-prinsip tersebut mengalami pengaburan makna dan terdistorsi oleh kepentingan segelintir kelompok (elit oligarki) yang mengatasnamakan (demokrasi) Pancasila. Tapi di saat bersamaan justru perilaku mereka menunjukkan praktik yang sebaliknya. Seolah-olah demokratis-Pancasilais, tapi paradigma dan tindakannya kapitalis nir-manusiawi. Tengok saja praktik pembangunan yang mengejar pertumbuhan, bukan pemerataan, ditambah watak serakah menikmati kue pembangunan hanya untuk diri, keluarga dan kroninya saja. Di sisi lain, Indonesia juga masih mengalami persoalan mendasar, yakni merosotnya nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme dan semangat kemajemukan sebagai bangsa yang multikultural. Masih ada saja upaya pengingkaran terhadap pluralitas bangsa Indonesia, yang setiap saat dapat saja muncul ke permukaan. Sebagai bangsa yang multietnis, ras, suku, budaya, bahasa dan agama, secara jujur kita masih belum bisa menghilangkan atau paling tidak meminimalkan apa yang disebut dengan barrier of psychology (batas psikologis/prasangka) terhadap sesama anak bangsa. Itulah yang kerap memunculkan konflik bernuansa SARA di negeri ini secara vertikal maupun horisontal.
Sehingga, prinsip-prinsip kebangsaan, kenegaraan serta kewarganegaraan semakin hari semakin jauh. Bahkan jauh lebih menjauh setelah dikobarkannya reformasi Mei 98. Ada banyak jawaban, tetapi yang terpenting adalah karena: pertama, problem Indonesia sesungguhnya adalah keberlangsungan manajemen negara pasca kolonial yang tak mampu menegakkan kedaulatan hukum, memberikan keamanan dan keadilan bagi warganya. Di dalam ketiadaan-keadilan, keamanan dan perlindungan hukum siang dan malam bagi individu untuk mengembangkan dirinya, orang lebih nyaman berlindung di balik warga-tribus (tribalisme, premanisme, koncoisme dan sektarianisme) ketimbang warga-negara.
Sejatinya, menjadi warga-negara adalah mendapatkan perhatian, perlindungan dan penghidupan yang layak yang dijamin oleh negara. Sialnya, persoalan ekonomi-politik yang bersumber dari manajemen negara yang korup hanya akan menyisakan kelangkaan dan ketimpangan alokasi sumberdaya di rumahtangga kebangsaan. Celakanya, para aparatur negara hanya sibuk mengamankan kekuasaan dan dapurnya sendiri. Jika ini yang terjadi, maka individu akan segera berpaling ke sumber-sumber tribus sebagai upaya menemukan rasa aman. Di sini persoalan ekonomi-politik yang objektif disublimasikan ke dalam bentrokan identitias yang subjektif.
Kedua, kita belum benar-benar siap menerima keragaman. Padahal, keragaman bangsa bisa menjadi kekayaan jika negara mampu menjalankan fungsinya sebagai, apa yang disebut Mohammad Hatta, “panitia kesejahteraan rakyat.” Dus, keragaman bangsa Indonesia merupakan roman perkawanan yang romantis serta salah-satu kekayaan bangsa yang patut dibanggakan dan disyukuri. Setiap warga negara–bangsa Indonesia terutama pemerintah, wajib mengelola dan menjaga kemajemukan tersebut, agar mendatangkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai, harmonis serta sejahtera–berkeadilan.
Tak dapat kita pungkiri bahwa Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD ’45 (Proklamasi 17 Agustus 1945) adalah fakta sejarah bangsa Indonesia yang tidak dapat diingkari dan wajib kita jaga, rawat, serta kita laksanakan secara murni dan konsekuen sekaligus menolak segala bentuk dan paham apa pun yang berseberangan bahkan bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara.
Tulisan ini berusaha “menggugat” makna dan semangat kepancasilaan dan nasionalisme kita kembali yang kian hari kian menipis, meluntur, dan perlahan sirna. Sirna yang entah karena tergerus oleh eforia dan hempasan globalisasi atau memang sirna karena bangsa ini “menghendaki”nya? Sebab, belakangan ini bergolak sebuah pertanyaan kritis di masyarakat, masih berfungsikah imaji kolektif kita sebagai sebuah bangsa? Pertanyaan ini mengemuka karena berturut-turut prestasi buruk kita raih di dunia; pemenang lomba korupsi, bangsa penghasil teroris, miskin, lamban dalam penanganan bencana alam serta negara tidak aman untuk investasi, dan lain-lain. Dengan sederet prestasi buruk tersebut, layakkah kita berbangga menjadi bangsa Indonesia? Tentu saja jawabannya sangat tergantung dari “posisi apa” yang sedang kita jalani sekarang. Jika posisi kita adalah TKI atau pengangguran, maka jelas, Indonesia tidaklah berarti apa-apa. Sebaliknya jika posisi kita adalah koruptor, pengusaha hitam-oligarkis, teroris, pejabat pemerintah-otokrat, dan para “penjual ayat-penjual agama,” maka jelas, Indonesia adalah negeri sorga.
Pertanyaan ini wajar muncul mengemuka ke permukaan karena setelah lebih dari 70 tahun (tepatnya 79 tahun) kita merdeka, ternyata banyak persoalan-persoalan mendasar kebangsaan kita belum benar-benar kita selesaikan secara tuntas. Kenapa ada sebagian masyarakat kita yang masih saja fobia terhadap norma-norma dan dasar negara kita Pancasila? Sebaliknya, perasaan kedaerahan, etnisitas, ras, kesukuan, bahkan keagamaan yang sifatnya privat malah yang mengemuka? Saya yakin, bukan ini yang kita semua mau dan juga pastinya para pendiri bangsa (founding fathers) ini. Di sisi lain, masih ada saudara kita di daerah terpencil yang mati karena busung lapar bahkan merobek perutnya karena rasa lapar yang tak tertahankan.
Pusparagam jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas ini, antara lain pasca runtuhnya Orde Baru (Orba) muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar negara itu seolah ikut tumbang dan larut bagai hilang tanpa bekas. Membincangkan Pancasila menjadi sesuatu yang menjemukan dan memuakkan, karena hampir selalu identik dengan rezim Orba. Agaknya, ada semacam trauma mendasar terhadap perlakuan eksesif terhadap Pancasila. Mengapa demikian? Sebab, dasar negara itu berubah menjadi ideologi tunggal dan satu-satunya sumber nilai serta kebenaran. Pancasila dijadikan ideologi yang ”komprehensif” (dalam tanda kutip) yang mengatur semua lini kehidupan masyarakat. Sebagai dasar dan sumber dari segala sumber hukum, Pancasila memang wajib menjadi pedoman utama perilaku hidup berbangsa dan bernegara kita semua tanpa kecuali. Masalahnya, negara (Orba) menjadi maha tau apa yang baik dan apa yang buruk buat masyarakat. Nilai-nilai Pancasila yang agung itu selalu disematkan di benak masyarakat melalui cara-cara indoktrinasi, antara lain melalui penerapan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Yaitu ”pemasyarakatan Pancasila” demi menjaga dan menjalankan Pancasila secara murni dan konskuen (katanya). Semua warga negara diajar untuk memahami, mengahayati, dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Sementara di sisi lain, prilaku penguasa Orba pada waktu itu menunjukkan arah yang tidak seirama. Bahkan sebaliknya, bertentangan dengan nilai dan semangat yang terkandung di dalam Pancasila.
Atas perlakuan semacam itu, Pancasila mau tidak mau senantiasa berbenturan dengan nilai-nilai/norma maupun ideologi yang hidup di tengah masyarakat seperti adat-istiadat, aliran kepercayaan, agama dan sebagainya. Benturan tersebut tidak hanya terjadi di levelan ide, bahkan melebar menjadi gesekan sosial politik yang tak jarang berujung pada pertumpahan darah. Trauma itu sampai sekarang belum lenyap. Ketika reformasi bergulir, diskursus ideologi merosot cukup dalam. Masalah itu seolah tidak relevan untuk dibicarakan. Masalahnya boleh jadi karena kita ”bosan” dengan ideologisasi Pancasila semasa Orba yang praktis dimonopoli negara. Pancasila hanya menjadi hafalan rutin setiap Senin pagi di sekolah-sekolah, kantor-kantor pegawai negeri, dan lain lain. Dari sinilah perdebatan mengenai ideologi seakan menjadi sia-sia.
Namun demikian, diskursus tentang ideologi tidak bisa diabaikan begitu saja. Ketika bangsa ini tertatih-tatih dalam proses demokratisasi, konflik dan kekerasan yang muncul sewaktu-waktu, restorasi Indonesia dari krisis yang tak kunjung menemui titik cerah, sulit atau bingung (limbo) merumuskan masa depan, dan segunung masalah lainnya, kita kemudian menengok kembali pentingnya sebuah ideologi yang kokoh serta ”akomodatif”. Yang menjadi pertanyaannya kemudian, ideologi seperti apa dan bagaimana?
Di sinilah kita bersama mencoba menjawab secara komprehensif seluruh persoalan tersebut di atas. Kita ingin menjelaskan betapa pentingnya Pancasila menjadi ”kompas” dalam perjalanan berbangsa dan bernegara yang kian mengalami dekadensi moral dan distorsi. Kita ingin menjelaskan begitu pentingnya Pancasila dihadirkan kembali dalam ruang publik yang sarat kontaminasi oleh kepentingan kelompok (oligarki), nilai, maupun idelogi-ideologi privat. Selama ini domain sistem nilai ataupun ideologi yang bersifat privat seperti agama, adat-istiadat maupun paham ideologi asing yang hidup di tengah masyarakat kini telah salah ”tempat”. Nilai serta norma ataupun ideologi privat itu telah memasuki ruang publik. Misalnya, pelaksanaan Perda Syariah di kota Tangerang dan tuntutan Perda Injil di Papua beberapa waktu silam. Dus, maraknya sebagian kecil kelompok masyarakat yang menginginkan syariat Islam Kaffah (Khilafah/Daulah Islamiyah) dengan mengklaimnya sebagai tuntutan dan kewajiban syar’i yang justru “membajak” nilai-nilai Islam yang rahmatan lil’alamin. Nilai atau norma agama tersebut merupakan nilai yang dipercayai dan dimiliki oleh komunitas-komunitas tertentu dalam sebuah entitas yang bernama Indonesia. Nilai itu belum tentu dipercayai dan dimiliki oleh komunitas lain yang memiliki kepercayaan lain, yang menjadi bagian integral dari entitas bangsa Indonesia.
Dalam hal ini mari kita menggugah khalayak bahwa Pancasila masih sangat membutuhkan penyegaran pemahaman. Alasannya cukup jelas, perjalanan bangsa ini selama era Reformasi kerap mengalami disorientasi ketika dihadapkan dengan berbagai pilihan dan persoalan. Para pengambil kebijakan lebih memilih pertimbangan pragmatis jangka pendek ketimbang bersusah-payah mematangkan visi bangsa yang telah dimiliki.
Lantas, bagaimana menyegarkan pemahaman kita terhadap Pancasila? Di sinilah kita bersama wajib memberikan sketsa gagasan bagaimana seharusnya norma-norma Pancasila dan konstitusi diterjemahkan. Bagaimana Pancasila diletakkan. Bercermin pada sejarah awal saat dirumuskannya, ideologi bangsa itu harus dipahami sebagai konsensus dasar atau kontrak sosial (gentlemen agreement) antara berbagai komunitas untuk mengikat diri menjadi satu bangsa, Indonesia. Pancasila membutuhkan kerangka kerja yang lebih lengkap untuk mengoperasionalisasikannya dalam kehidupan nyata. Pancasila harus menjadi referensi utama praksis negara, yang harus bisa membaca berbagai perubahan fenomenal yang dialami bangsa. Pancasila harus melakukan reverifikasi atas peran monolitiknya, sebagai instrumen persuasif bangsa. Dengan cara itu kita dapat mengontekstualisasikan Pancasila sesuai semangat zaman. Jika tidak demikian, Pancasila akan hanya menjadi ideologi buta huruf (illiterate-ideolgy), atau sekadar blind-rhetoric.
Tugas generasi hari ini dan mendatang adalah bagaimana kita berusaha keras menjelasjabarkan pengertian Pancasila tidak hanya sebagai ideologi dan dasar negara, tetapi juga menjelaskan kaitan di antara Pancasila dengan agama, dan lain-lainnya. Menjadikan Pancasila sebagai nafas bahkan naluri hidup bangsa Indonesia. Dan, yang terpenting adalah upaya mengembalikan ”citra” dan kemurnian nilai-nilai Pancasila dari para ”pembajak” yang mengatasnamakan Pancasila dengan dalih demokrasi dan nasionalisme tetapi hanya mengeruk dan menjarah kekayaan bangsa.!
Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Waljama’ah (ASWAJA),
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB),
Founder Indonesia Young Leaders Forum;
Inisiator Yayasan Kedai Ide Pancasila
(menulis banyak buku dan artikel)
Disclaimer: (makalah ini merupakan pendapat peribadi, orang lain dapat saja berpendapat berbeda)
Referensi:
Ania Loomba. 2000 & 2016. Kolonialisme/Pascakolonialisme. New York. Routledge & Yogyakarta. Narasi-Pustaka Promethea. Hlm. 156-158.
As’ad Said Ali. 2009. Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta. Pustaka LP3ES.
Abdul Ghopur. 2019. Pancasila Nalar Bangsa: Dalil Dan Dasar (Mengapa) Harus Berpancasila?. Jakarta. LKSB Press.
Dan, dari berbagai serpihan sumber lainnya.