Oleh: Abdul Ghopur
Muktamar Nahdlatul Ulama Ke 34 yang berlangsung sejak 22-24 Desember 2021 di Lampung, akhirnya selesai dihelat. Syahdan, “Drama” Muktamar NU Ke 34 Lampung ini ditutup dan dianggap selesai dengan ditandai munculnya KH. Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya yang terpilih sebagai Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang baru bersama KH. Miftachul Akhyar sebagai Rois Aam PBNU, periode 2021-2026. Gus Yahya menang mutlak dengan mengantongi 337 suara, mengalahkan dua kandidat lainnya, KH. Said Aqil Siradj 210 suara dan KH. As’ad Said Ali 17 suara. Sementara KH. Miftachul Akhyar dipilih berdasarkan mekanisme Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) oleh 9 Ulama atau Kyai sepuh berpengaruh, mewakili beberapa wilayah di Indonesia antara lain, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat.
Dengan terpilihnya Gus Yahya dan KH. Miftachul Ahkyar sebagai Ketum PBNU dan Rois Aam PBNU, berarti NU memiliki nakhoda baru yang akan membawa “kapal besar” mengarungi samudera yang luas. Tentu bukan hal yang mudah untuk mengarungi luasnya samudera. Karena di depan sana, ombak dan gelombang tinggi siap menanti untuk menghempaskan kapal besar yang bernama NU ini. Perlu kesiap-siagaan dan persiapan yang matang sekaligus nakhoda yang tangguh dan pemberani. Bukan sekedar asal berlayar tapi tanpa arah. Tetapi, kapal besar ini perlu dilengkapi sistem navigasi yang memadai juga canggih. Dinakhodai dan diawaki oleh nakhoda dan awak-awak yang terampil dan setia serta paham medan. Bukan awak-awak yang ecek-ecek atau kaleng-kaleng (istilah anak zaman now), tapi sekali lagi, yang tangguh dan pemberani.
Gus Yahya dan KH. Miftachul Akhyar saya kira bukanlah tokoh-tokoh yang kaleng-kaleng, melainkan mereka tokoh yang sangat berpengalaman dalam banyak hal, utamanya kepemimpinan (leadership) dan keorganisasian. Di samping masalah keilmuan yang dalam juga jaringan (networking) yang luas, baik dalam negeri ataupun internasional. Namun, persoalan NU bukan cuma itu, tetapi lebih luas lagi. Lebih kompleks. Apalagi di zaman sekarang ini yang penuh dengan tantangan dan dinamika sosial yang luar biasa. Antara lain, perkembangan yang sangat pesat di bidang teknologi informasi (medsos), sosial, agama, budaya, hukum, ekonomi dan politik kekinian yang perlu penyiasatan dan diteksi dini serta penanganan yang komprehensif (long term goal).
Tetapi saya yakin, dengan perpaduan tua dan muda, dapat saling mengisi satu sama lain. Yang tua memiliki kelebihan ilmu, pengalaman, ketenangan, kebijaksanaan, sabar dan ngemong-ngayomi. Sosok ke-bapak-an lah singkatnya. Sebaliknya, yang muda dengan karakter mudanya yang cekatan, sigap, gesit, sangat potensial dalam memajukan kapal besar NU ini. Sebab, memiliki semangat yang sangat tinggi (“emosional”- dalam tanda petik), berpikir besar dan memiliki mimpi yang besar pula. Karakter muda mempunyai banyak sikap positif dalam beberapa hal antara lain, bekerja cepat (instan), suka perubahan dan kreatif-inovatif, artinya suka mengadopsi nilai-nilai atau sesuatu yang baru, fairness, artinya segera mengakui kesalahan apabila merasa salah, baik terungkap atau tak terungkap dan segera mengoreksinya, heroisme sekaligus ‘Megalomania.’
Tetapi sekali lagi, persoalan bukan cuma itu, bukan sampai di sini. Ada segudang masalah menanti di depan mata. Di sini nahkhoda baru itu perlu teramat cermat melihat kondisi global dan internal NU sendiri. Percuma saja punya mimpi besar dan segudang, kalau kondisi internalnya morat-marit. Terutama kondisi basis pendukungnya.
*Sekali lagi, tentang basis pendukung NU
Sebagaimana pernah diulas dalam tulisan saya sebelumnya, jumlah warga NU atau basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 102 juta orang, dari beragam profesi dan latar belakang. Sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik yang tinggal perkotaan ataupun di perdesaan. Mereka memiliki keterkaitan (kohesifitas) yang tinggi dan melekat (koheren-inheren), karena secara sosio-kultur dan sosio-ekonomi memiliki masalah yang sama. Dus, mereka juga memiliki ikatan “ideologis”/ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah-Annahdliyah yang mendarah-daging. Mereka memiliki ikatan (tradisi keagamaan) cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU juga Indonesia.
*Perkembangan antropologi basis NU
Basis pendukung NU saat ini mengalami pergeseran dan dinamika yang luar biasa, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi dan informasi-teknologi. Warga NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri, perkantoran dan pendidikan modern. Jika selama ini basis NU lebih kuat di sektor pertanian di perdesaan, maka saat ini, pada sektor perburuhan di perkotaan misalnya, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Saya teringat percakapan antara M. Nurcholis Madjid (Ca’ Nur) dan KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada dekade 1970-an. Ca’ Nur berkata kalau Gus Dur (NU) akan kewalahan dengan membanjirnya doktor-doktor dari NU 30 tahun ke depan. Terbukti pasca dekade 90-an dan awal-awal reformasi, lahir dan bermunculan doktor-doktor multi disipliner lulusan dalam dan luar negeri dari NU. Itu belum tercatat mereka yang bergerak di lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang penelitian dan pembangunan sosial. Di samping pula tumbuhnya pengusaha-pengusaha (entrepreneur) muda NU yang berafiliasi dengan partai politik maupun BUMN dan swasta. Singkatnya, basis NU baik struktural ataupun kultural sudah melampaui cita-cita para pendirinya (muassis NU) sendiri.
*Problem distribusi kader NU
Pertanyaannya sekarang, potensi yang begitu dahsyat yang di miliki NU, mau didistribusikan kemana? Jangan sampai dengan potensi yang begitu luar biasa dan basis intelektual yang bejibun, kader-kader NU milenial yang mulai menjamur di mana-mana tidak terdistribusikan dengan baik, jelas dan tepat serta bermanfaat bagi NU sendiri dan bangsa. Alih-alih menjadi kekuatan NU malah menjadi masalah besar yang tak terselesaikan. Karena melihat potensi dan tendensi sirkus sentripetal dan sentrifugal serta fenomena Bottleneck di tubuh NU karena berjejal-sesak di dalamnya.
Dengan sederet masalah dan potensi yang dimiliki NU, saya kira perlu langkah dan upaya yang serius, strategis sekaligus sistematik. Tidak lupa, out of the box. Saya kira, organisasi (jam’iyyah) dan jama’ah NU sudah memiliki jawaban dan solusi kongkrit menghadapi dinamika kader dan tantangan zaman (sudah terbukti dan teruji). NU sudah memiliki arah (guidance) dan gerakan serta kepemimpinan yang solid di tubuh jam’iyyah NU sendiri. Tinggal persoalannya bagaimana merumuskan kembali metode dan role model yang dapat menyesuaikan dengan perkembangan dan dinamika zaman (now) yang unpredictable.
*Terobosan untuk Gus Yahya, Ketum PBNU yang baru
Next, what must to be done? Apa langkah yang harus diambil dan dijalankan oleh nakhoda baru NU baik Rois Aam (Pemimpin Tertinggi) dan Ketua Umum Tanfidziyah (Pemimpin Eksekutif/Pelaksana)? Saya sebut dua istilah kepemimpinan tersebut, karena selaiknya keduanya harus seiring-sejalan. Langkah yang dimaksud adalah langkah yang mengarah pada perbaikan dan penguatan nilai-nilai mutu kepemimpinan, keorganisasian dan keumatan NU yang muaranya pada perbaikan dan penguatan nilai-nilai kebangsaan di bidang sosial-keagamaan, hukum, budaya, politik dan ekonomi kerakyatan. langkah yang dilakukan itu tentu bersandar pada prinsip-prinsip dasar yang dicanangkan (NU) dan telah diterjemahkan dalam perilaku kongkrit NU selama ini, yang dinamis dan responsif terhadap perkembangan zaman. Dus, Semuanya mutlak bersumber dari manajemen kepemimpinan-keorganisasian keumatan dan kenegaraan yang bersih (tidak korup/KKN) adil, sejahtera dan merata. Langkah yang dikaitkan juga pada perbaikan, penguatan dan penanaman nilai-nilai nasionalisme bangsa, baik jangka pendek, menengah dan panjang (long term goal).
Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah melaksanakan langkah-langkah tersebut? Semua pertanyaan ini sesungguhnya merujuk pada tujuan organisasi NU, yaitu menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah-Annahdliyah (moderasi Islam) di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu juga merujuk pada usaha organisasi NU, yakni pertama, di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan. Kedua, di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kebangsaan, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas. Ketiga, di bidang sosial-budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai ke-Islaman dan kemanusiaan. Keempat, di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat. Kelima, membangun lebih banyak lagi pusat-pusat kesehatan seperti rumah sakit dan klinik-klinik kesehatan seperti yang sudah dijalankan selama ini, serta mengembangkan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi Nahdliyin-Nahdliyat serta masyarakat luas.
Tentunya, menjadi harapan besar bagi warga NU khususnya dan seluruh masyarakat-warga bangsa pada umumnya, di kepemimpinan orang muda seperti Gus Yahya ini mampu menghasilkan ide dan gagasan serta terobosan besar nilai-nilai kebangsaan yang bertumpu pada kultur dan naturnya Indonesia yang bersumber dari ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah-Annahdliyah. Menghasilkan “Pemimpin” yang luar biasa, yang mengayomi umat dan visioner. Pemimpin milik umat dan punya keberpihakkan yang jelas pada kaum intelektual muda NU. Sebab, ada indikasi bahwa selama lebih kurang satu dekade ini semangat (ghirah) intelektualisme (diskusi, kajian, menulis, membaca) di PBNU kurang diminati lagi. Padahal, sejatinya NU berdiri diawali dari basis-basis pemikiran (intelektual) (baca: Taswirul Afkar). Serta sinyalemen bahwa bangsa Indonesia dewasa ini makin tercerabut dari akar tradisinya. Tercerabut dari jati dirinya sebagai bangsa yang bermusyawarah dan bergotong-royong. Dus, langkah-langkah ini tidak bisa diemban dan dilaksanakan oleh model kepemimpinan yang biasa-biasa saja, harus yang luar biasa. Sebab, tantangan kebangsaan dan NU ke depan juga luar biasa!
Penulis adalah Intelektual Muda NU;
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB),
Inisiator Yayasan Kedai Ide Pancasila
(banyak menulis buku dan artikel)