Bandung – Guru Besar Fakultas Hukum Unpad Bandung Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa,SH., M.H menilai ketentuan tentang ambang batas pengajuan calon Presiden (Presidential Threshold) merupakan kebijakan hukum terbuka (opened fegal policy).
Sehingga pengaturannya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang.
“Dalam konteks pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, kebijakan hukum (legal policy) untuk tetap menggunakan ketentuan dan mekanisme Presidential Threshold bertujuan untuk menguatkan ataupun memperkokoh Sistem Pemerintahan Presidensiil yang digariskan dalam UUD 1945 dengan sistem kepartaian Multipartai sederhana,” tegas I Gde Pantja, hari ini.
Menurutnya, dalam konteks Sistem Pemerintahan Presidensiil, sebagaimana diketahui bahwa struktur UUD 1945 memberikan pengaturan yang dominan terhadap lembaga kepresidenan, baik jumlah pasal maupun kekuasaannya. Pilihan founding fathers pada Sistem Pemerintahan Presidensiil didasarkan pada kehendak untuk menjamin suatu kekuasaan pemerintahan (eksekutif) yang kuat dan stabil di bawah Presiden sebagai kepaia kekuasaan eksekutif ataupun kepala pemerintahan (Chief of Executive / Chief of Government).
“Kekuasaan pemerintahan (eksekutif) yang kuat dan stabil, bukan dalam arti bahwa kekuasaan Presiden sebagai kepala kekuasaan eksekutif / kepala pemerintahan menjadi absolut, tetapi lebih berkonotasi efektif di dalam menjalankan kekuasaannya dan tidak mudah dijatuhkan dalam masa jabatannya, kecuali dengan pranata impeachment (vide Pasal 7 A UUD 1945),” bebernya.
Dengan demikian, kata dia, secara konseptual dapat dibenarkan apabila ada jaring-jaring yang akan menjamin stabilitas penyelenggaraan pemerintahan, tetapi jaring-jaring itu harus tetap memungkinkan Presiden diberhentikan dari jabatannya, walaupun tidak mudah dijalankan.
“Adanya jaminan stabilitas penyelenggaraan pemerintahan memungkinkan dan memastikan Presiden selama memangku jabatannya dapat mewujudkan program-programnya sebagaimana dijanjikan pada saat kampanye,” tuturnya.
Masih kata dia, salah satu jaring yang dapat menjamin stabilitas penyelenggaraan pemerintahan (di bawah Sistem Pemerintahan Presidensiil) adalah dengan menerapkan ketentuan tentang ambang batas pengajuan calon Presiden (Presidential Threshold) yang bertujuan untuk mewujudkan sistem kepartaian Multi Partai sederhana.
“Penyederhanaan jumlah partai politik melalui ketentuan dan mekanisme Presidential Threshold (sebagai cara yang demokratis) merupakan kebutuhan bagi berjalan efektifnya Sistem Pemerintahan Presidensiil,” sebutnya.
Sebab, lanjutnya, apabila Presiden terpilih ternyata tidak didukung oleh partai politik yang memperoleh kursi mayoritas di DPR, tentu dapat dipastikan akan menyulitkan Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan. Dengan ketentuan dan mekanisme Presidential Threshold pula akan mendorong partai-partai yang memiliki flatform, visi atau idiologi yang sama ataupun serupa berkoalisi dalam mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden.
“Bila kemudian ternyata bahwa partai-partai yang bergabung ataupun berkoalisi tersebut berhasil dalam kontestasi pilpres, maka ke depan diharapkan akan lahir koalisi permanen sehingga dalam jangka panjang diharapkan akan terjadi penyederhanaan partai secara alamiah tanpa melalui “paksaan’,” tuturnya.
Dengan demikian, tambah I Gde Pantja, terkait dengan adanya keinginan pihak-pihak yang menghendaki agar Presidential Threshold 0 %, maka akan jauh lebih bijak, manakala mindset dan alasan-alasan yang mendasarinya diletakan dalam kerangka kepentingan nasional.
“Yaitu menguatkan ataupun memperkokoh bangunan Sistem Pemerintahaan Presidensiil dengan Sistem Multi Partai sederhana agar penyelenggaraan pemerintahan ke depan menjadi (kian) efektif untuk menyongsong Indonesia Emas Tahun 2045,” pungkasnya.