Pendiri NII Crisis Center Ken Setiawan mengapresiasi tindakan Densus 88 Antiteror Polri menembak pria tersangka teroris bernama Sunardi yang berprofesi sebagai dokter di Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (9/3/2022).
Bila ada opini yang mendukung pelaku terorisme, perlu diselidiki track recordnya, bisa jadi mereka yang membela itu berafiliasi juga dengan jaringan terorisme.
Dikatakan Ken, tindakan tersebut pasti sudah melalui prosedur yang sesuai bukan spontanitas. Sebab, terduga teroris berusaha kabur dan melakukan perlawanan dengan menabrakan mobilnya ke arah mobil petugas.
“Jadi wajar apabila dilakukan tindakan terukur. Biasanya untuk kasus seperti ini Densus 88 sudah punya bukti yang mencukupi,” kata Ken.
Kalau di Arab Saudi, Pelaku terorisme itu bukan ditembak, tapi dipenggal, bahkan Arab Saudi pernah penggal 37 orang karena terorisme dalam sehari. Diantara 37 itu ada yang dipenggal lalu disalibkan.
Di Arab Saudi eksekusi mati terhadap pelaku terorisme itu lazim dilakukan dengan cara dipenggal. Sementara penyaliban hanya dilakukan terhadap terpidana yang dinilai melakukan kejahatan sangat serius. Tambah Ken.
Dijelaskannya, dalam mencegah aksi terorisme dilakukan sebuah ‘pencegahan keras’ sesuai UU 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun, menurutnya, kekurangan UU tersebut hanya ditujukan untuk oknum yang sudah dipastikan terlibat dalam tindakan terorisme.
Di Indonesia Densus 88 itu sangat toleransi, kalau belum memenuhi unsur alat bukti tindak pidana terorisme paling hanya dimonitor.
“Kalau masih berupa ‘pemahaman’ negara Islam atau negara khilafah ini memang belum bisa ditindak. Makanya kami mendorong pemerintah segera membuat regulasi untuk melarang semua paham ideologi yang bertentangan dengan Pancasila supaya mereka bisa ditindak,” ujarnya.
Menyoroti soal eksistensi HASI di Indonesia, dikabarkan organisasi ini sudah ada sejak 2011. Ken menyebut, HASI bisa terus beroperasi selama belasan tahun disebabkan permasalahan tadi. Yang mana tidak ada tindakan terhadap suatu organisasi yang belum melakukan aksi dan masih bersifat “pemahaman”.
Tetapi, walaupun terkonfirmasi memiliki pemahaman radikalisme, yang ditindak secara hukum paling hanya organisasinya, seperti HTI, FPI dll, sementara, orang-orang yang di dalamnya masih “dibiarkan” dan kembali membuat kelompok-kelompok baru.
“Ini persoalan di negara demokrasi, karena kita harus mencari bukti-bukti. Masalahnya ketika organisasinya ditindak, orangnya masih bebas tapi ideologinya tidak dilarang,” jelasnya.
“Makanya harus ada regulasinya untuk melarang semua paham yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. “Kalau tidak mereka akan terus berlindung atas nama demokrasi dan kebebasan berpendapat,” sambung Ken.
Selain itu, Ken menegaskan terorisme merupakan oknum yang tidak merepresentasikan agama tertentu.
“Karena sejatinya, tidak ada agama yang mengajarkan terorisme. Mereka oknum yang beragama kebetulan di negara kita dengan mayoritas Islam, seolah olah Islam radikal.”, tegasnya.
Radikalisme dan terorisme justru telah membuat fitnah buat kita yang beragama karena tidak ada agama satupun yang membenarkan aksi terorisme.
“Sejatinya radikalisme dan terorisme itu musuh agama dan musuh negara.”, tutup Ken.