Jakarta – Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menggelar diskusi bertajuk “Pancasila dan Demokrasi di Indonesia: Menyelami Pemikiran Prof. A. Syafii Maarif”, 29 Juni 2022.
Turut hadir pada agenda diskusi tersebut diantaranya adalah Prof. Azyumardi Azra Ketua Dewan Pers, Prof. Franz Magnis Suseno Guru Besar Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Ulil Abshar Abdalla Ketua Lakpesdam PBNU,
Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin Tenaga Ahli Utama, Kantor Staf Presiden RI.
Sementara Keynote Speech yaitu Harry Tjan Silalahi Ketua Pembina Yayasan CSIS, Prof. Haedar Nashir Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan dipandu Moderator D. Nicky Fahrizal Peneliti, Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS.
Direktur Eksekutif CSIS, Dokter Yoserizal Damri menjelaskan bahwa agenda diskusi tersebut dalam rangka juga menyelami kembali pemikiran-pemikiran dari Buya Syafi’i Ma’arif.
“Demokrasi lebih menunjang pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial di dalam jangka yang lebih panjang, demokrasi juga memberikan memberikan lingkungan yang lebih verbal terhadap tercapainya kesejahteraan sosial bagi semua sesuai dengan sila Kelima yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” ungkap Yoserizal Damri.
Selanjutnya, Harry Tjan Silalahi menyampaikan secara daring melalui zoom online bahwa Pancasila yang dijadikan dasar negara, dasar tidak hanya beban ekonomi dan kesejahteraan tapi Dasar adalah menjadi pengikat dan pembawa perkembangan suatu bangsa.
“Kalau kita di Sabang sampai Merauke itu semua mendasarkan diri pada Pancasila tidak memilarkan diri pada Pancasila tapi mendasarkan diri pada Pancasila,” ucap Harry.
Kemudian dia bisa berkembang baik dan akan menjadi suatu dasar yang baik untuk bangsa ini kalau taat pada apa yang ditaruh didalam Pancasila.
Sementara itu, Haedar Nashir yang sedang berada di Yogyakarta menyampaikan secara daring bahwa satu yang menjadi kekhawatiran Buya Safi’i Maarif adalah mengamalkan Sila Kelima yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
“Buya Syafi’i Ma’arif selalu mengajak kita untuk membumikan Pancasila dalam kehidupan kebangsaan termasuk di dalam kehidupan bernegara yang diperankan oleh para elite bangsa sesuai dengan pesan tentang pentingnya jiwa kenegarawanan yang selalu disuarakan oleh Buya Syafi’i,” tuturnya.
Sesungguhnya, kata Haedar, Buya juga menghendaki para pemimpin negara dari pusat sampai daerah untuk mempraktekkan Pancasila dalam mindset dalam alam pikiran yang visioner sekaligus juga konsisten di atas nilai-nilai dasar Pancasila.
“Sampai beliau juga sempat mengkritik bahwa pemimpin yang visinya terbatas yang dia istilahkan tidak lebih luas dari halaman rumahnya yang sempit maka diperlukan bahwa Pancasila dan demokrasi sejatinya akan hidup subur dan meluas dalam kehidupan kebangsaan manakala para elite bangsa,” sambungnya.
Masih kata dia, para pemimpin negara diberbagai tempat mengamalkan Pancasila dalam sketsa yang besar dalam spektrum pemikiran yang luas agar semua elemen masyarakat tidak terjebak pada verbalisasi Pancasila dan demokrasi yang seolah-olah sudah ber Pancasila sudah berdemokrasi lewat berbagai jargon demokrasi dan Pancasila tetapi sejatinya karena kita tidak menghayati makna-makna terdalam dari Pancasila dan demokrasi itu. Lalu Pancasila dan demokrasi tidak kita praktekkan dalam hidup.
“Yang kedua yang sering terjadi adalah paradoks yakni kita bicara demokrasi kita bicara Pancasila tetapi praktek kita berbangsa-bernegara itu bertentangan dengan sila-sila Pancasila dan juga bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi,” jelasnya.
Menurut Haedar, di dalam konsep Pancasila nilai Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab persatuan Indonesia kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan sebagaimana selalu Buya tekan kentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Perlu kita checklist, apakah ke-5 sila lima nilai dasar itu sudah menginternalisasi didalam jiwa alam pikiran dan tindakan para elit dan warga bangsa dalam berbangsa bernegara lebih jauh lagi menginstitusionalisasi melembaga dalam seluruh kelembagaan dan juga kekuatan-kekuatan masyarakat,” sambung Haedar.
“Nah proses ini memerlukan waktu pemikiran-pemikiran ulang dari kita semua tentang bagaimana memaknai lima dasar nilai Pancasila itu. Agar bisa kita internalisasikan dan kita institusionalisasikan sehingga menjadi praktek hidup kita berbangsa dan bernegara,” ujarnya lagi.
Dia mengingatkan pesan Bung Karno mengisahkan tentang sila Ketuhanan yang berkata dalam pidatonya yang sama-sama kita kenal bukan hanya bangsa Indonesia yang bertuhan tetapi negara pun harus bertuhan.
“Pesan ini saya pikir penting disatu pihak bahwa negara tidak boleh dalam konteks Pancasila menjadi negara sekuler Indonesia, tidak boleh menjadi negara sekuler dan juga itu tidak boleh menjadi negara agama. Tetapi mencari format yang mengimplementasikan Ketuhanan yang maha esa dalam kehidupan berbangsa-bernegara itu memerlukan pemikiran-pemikiran atau juga reaktualisasi pemikiran yang mendalam dan luas serta kontekstual bagi Indonesia hari ini dan kedepan supaya kita tidak menghabiskan waktu dalam perdebatan-perdebatan yang tidak pernah selesai,” paparnya.
Begitu juga dengan nilai sila kemanusiaan yang adil beradab dan persatuan Indonesia. Saat ini keadaban kemanusiaan dalam konteks ham Bagaimana ham di Indonesia itu juga punya interkoneksi dengan nilai-nilai agama Pancasila dan kebudayaan luhur bangsa sehingga antara universalisme yang sesungguhnya universalisme itu sering juga dibatasi oleh praktek pengalaman dari bangsa-bangsa besar lalu mesti dipraktekkan dalam kehidupan bangsa-bangsa lain yang punya nilai yang berbeda ini penting juga menjadi bahan diskusi.
“Persatuan Indonesia terutama dalam konteks politik dan demokrasi saya yakin demokrasi Indonesia yang telah dinilai oleh bangsa-bangsa lain sudah cukup maju secara prosedural bahkan menjadi negara paling demokrasi ketiga setelah Amerika dan India,” jelasnya.
Dijelaskannya, demokrasi punya tujuan untuk dan memiliki koneksi pada ikhtiar mempersatukan bangsa. Persatuan Indonesia jangan sampai demokrasi politik yang begitu luas dan bebas justru juga merusak persatuan Indonesia keterbelahan politik dan ideologi yang terjadi dalam satu dekade terakhir ini ini merupakan sebuah peringatan buat kita bahwa demokrasi tidak hanya untuk demokrasi.
“Demokrasi juga perlu mempertimbangkan persatuan Indonesia juga argumen-argumen kita tentang pluralisme,” katanya.
Bhinneka Tunggal Ika itu sebagai satu kesatuan bukan sesuatu yang terpisah Ayo kita merayakan kebhinekaan tetapi pada saat yang sama kita harus merayakan keetikaan atau Tunggal Ika sehingga kebhinekaan itu satu interkoneksi dengan Tunggal Ika, Tunggal Ika juga satu koneksi dengan satu kesatuan dengan kebhinekaan merajut kebhinekaan di dalam konteks persatuan dan persatuan kesatuan dalam konflik dan kearifan dan konstruksi pemikiran para tokoh bangsa dan para pemikir bangsa yang mesti juga selain Ilmu juga kearifan.
“Ketika kita merayakan satu hal kemudian mengabaikan hal lain akan selalu menjadi masalah. Disinilah pentingnya moderasi di dalam memaknai kehidupan kebangsaan dan nilai-nilai bangsa kita sendiri juga sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,” katanya.
Dulu para pendiri bangsa kita itu menghayati betul dialektika atau dinamika antar kebebasan dengan konsensus di antara konflik dan integrasi sehingga formulasi ini menurut saya menjadi bagian dari kearifan para pendiri bangsa kerakyatan dalam makna demokrasi itu punya korelasi punya keterkaitan dan punya jiwa juga dalam konteks musyawarah.
“Bagaimana kita sekarang memaknai demokrasi dan memfungsikan demokrasi kita Indonesia hari ini bukannya dalam konsep isu demokrasi prosedural dan substansial tetapi juga dalam konteks ini adalah bagaimana mengkaitkan kerakyatan sebagai sebuah proses demokrasi dari rakyat untuk rakyat itu juga terkait dengan hidupnya musyawarah dalam proses politik Indonesia,” sebutnya.
“Jujur dalam konteks ini kita nyaris kehilangan perspektif dan jiwa musyawarah dalam kehidupan kebangsaan, bahkan ketika demokrasi siapa kuat Siapa menang baik dalam bentuk koalisi maupun mungkin praktek maka apapun yang akan menjadi keputusan politik akan menimbulkan kontroversi dan tidak bisa diterima oleh banyak orang sehingga marilah kita rawat dan jaga Pancasila.” pungkasnya.