Oleh : Abdul Ghopur
Negara meritokrasi sesungguhnya merupakan negara yang dicita-citakan oleh generasi para pendiri bangsa (founding fathers). Negara meritokrasi adalah sistem politik kenegaraan yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan (talenta) yang mumpuni dan pengetahuan serta prestasi, bukan berdasarkan kelas sosial dan kekayaan materi, melainkan kekayaan intelektual. Kemajuan dalam sistem seperti ini didasarkan pada kinerja, yang dinilai melalui pengujian (uji materi) dan pencapaian empiris. Artinya, mengandaikan adanya sebuah proses panjang dalam meraih perolehan dan capaian-capaian (achievements) tersebut, yang didapat dari proses pendidikan baik formal atau pun non formal yang baik dan memadai (komprehensif). Inilah yang menjadi prinsip-prinsip dasar politik kebangsaan, kenegaraan serta kewarganegaraan kita sejak dulu.
Persoalannya kini, prinsip-prinsip meritokrasi ini tidak lagi menjadi landasan, dasar dan corak demokrasi Indonesia (terutama paska Orde Lama dan Reformasi). Meski masih mengusung tema demokrasi Pancasila, namun realitasnya demokrasi kita justru mempraktikkan demokrasi liberal dan menjauhi semangat (jika tidak ingin mengatakan meninggalkan sama-sekali) meritokrasi. Padahal sejatinya demokrasi Pancasila mendasarkan dirinya pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persamaan hak, keadilan sosial, keadaban, persatuan, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Syahdan, Pancasila adalah meritokrasi. Dan, sebagaimana kita pahami, kata “perwakilan” adalah pendelegasian orang-orang terbaik (meriter) dalam mewakili hak anggota-anggota masyarakat yang dipimpinnya.
Peristiwa Reformasi Mei 1998 sesungguhnya merupakan momentum yang sangat berharga bagi perubahan besar sistem dan tata nilai serta tatanan politik dan demokrasi Indonesia, setelah selama 32 tahun mengalami pembungkaman oleh Orde Baru (ORBA). Pertanyaannya kemudian, mengapa justru setelah dikobarkannya Reformasi Mei 1998 prinsip political merit system malah cenderung ditinggalkan perlahan? Puspa ragam jawaban atas persoalan ini, tetapi yang terpenting adalah karena problem Indonesia sesungguhnya merupakan keberlangsungan manajemen negara paska kolonial, yang tak sanggup menegakkan kedaulatan hukum, sosial, politik, ekonomi, budaya dan memberikan rasa aman serta keadilan bagi warga negara. Di dalam ketiadaan-keadilan, keamanan dan perlindungan hukum bagi individu untuk mengembangkan dirinya, masyarakat lebih nyaman berlindung di balik tribus-nya (tribalisme, premanisme, koncoisme dan sektarianisme) ketimbang warga negara.
Jika aparatur negara hanya sibuk mengamankan kekuasaan dan dapurnya sendiri, maka masyarakat akan segera berpaling ke sumber-sumber tribus-nya masing-masing sebagai upaya menemukan rasa aman. Di sini persoalan ekonomi-politik yang objektif disublimasikan ke dalam bentrokan identitias yang subjektif. Persoalan ekonomi-politik yang bersumber dari manajemen negara yang korup menyisakan kelangkaan dan ketimpangan alokasi sumberdaya di rumah-tangga kebangsaan Indonesia (Yudhie Haryono dkk, 2009).
Problem kebangsaan kita selanjutnya adalah ternyata sebagai bangsa kita belum siap menerima kemajemukan dan keragaman. Padahal, keragaman dan kemajemukan bangsa bisa menjadi kekayaan yang luar biasa jika negara mampu menjalankan fungsinya sebagai apa yang disebut Bung Hatta: “panitia kesejahteraan rakyat.” Sebab, sesungguhnya bangsa Indonesia adalah ‘konsepsi kultural’ tentang suatu komunitas yang diimajinasikan sebagai entitas dari warisan teritoral kolonialisme Belanda. Sedang negara Indonesia adalah ‘konsepsi politik’ tentang sebuah entitas yang tumbuh berdasarkan kesadaran politik untuk merdeka dari penjajahan dengan menempatkan individu ke dalam kerangka kerakyatan. Dalam kerangka ini, setiap rakyat dipertautkan dengan suatu komunitas politik dalam kedudukan yang sederajat di depan hukum, dengan operasi atas prinsip kekariban dan keadilan.
Dus, kita diwarisi pemimpin negara bangsa paska kolonial yang “pendendam” dan mengidap sindrom mediokrasi, Yaitu tindakan pemujaan (berlebihan) terhadap kedangkalan dan hal-hal yang remeh-temeh. Pemujaan terhadap sesuatu yang tidak menggunakan akal budi (common sense) hasil dari pergulatan pikiran dan pengembaraan batin yang mendalam. Umumnya, bangsa yang pernah dijajah (dalam waktu lama) akan mengidap dua penyakit akut sekaligus. Yaitu, para pemimpin negara-nya akan mengidap penyakit mitos state dan materialism state. Ciri utama Mitos state ada empat yakni, pertama, pembudayaan tradisi skripturalisme (dalam pengertian negatif), maksudnya yaitu para pemimpin lebih suka mengedapankan catatan atau laporan anak buah (yang bermental asal bapak senang/ABS/yes man) ketimbang akal sehat. Meletakkan intelektualitas pada skrip yang tak valid, lebih percaya teks ketimbang konteks, lebih mempercayai antek daripada intelek.
Dus, hidup dalam fase skripturalisme pada akhirnya menyerahkan akal pada laporan, menitipkan dan mempercayakan masa depan pada masa lalu. Kedua, tradisi eskatologis, artinya, ketika negara mendapat bahaya dan bencana, para aparatus negara hanya dapat menjelaskan bahwa itu semua berasal dari Tuhan. Lewat nyanyian, doa dan fatwa, para ulama dan artis diajak ikut mengampanyekan “Tuhan mulai bosan” bersahabat dengan kita, tanpa pernah ditemukan siapa penanggungjawab yang harus mengatasi bahaya dan bencana tersebut. Ketiga, Sikap melankolis, artinya, aparatus negara lebih suka kampanye dan bicara tanpa banyak bekerja. Seakan-akan dengan mengiklankan diri di media, seluruh persoalan negara sudah teratasi. Keempat, sikap romantis, artinya, jika ada tuntutan untuk segera menyelesaikan problem-problem negara, para aparatus negara meminta waktu yang panjang dan tak berkesudahan sambil melempar tanggungjawab serta mengatakan bahwa “kesalahan itu” bukan hanya darinya, melainkan juga merupakan warisan rezim masa lalu. Timbullah adagium lempar batu sembunyi tangan.
Sedangkan karakter materialism state, yakni para pemimpin negara lebih suka bermewah-mewahan dan bergelimang harta (materi), namun, di saat yang sama rakyat hidup serba kekurangan dan sangat menderita lahir-batin. Karakter dasar dari negara material adalah “meminta rakyat banyak berkorban” yang diimbangi dengan gaya hidup “high class” para aparatus negara. Kenaikan gaji legislatif dan eksekutif yang sangat mencolok disertai “banyaknya orang mati mengantre bantuan langsung pemerintah” adalah buktinya. Pada fase negara material ini yang dikembangkan baru gagasan individualisme, unitarian, simbolik dan profanitas. Yang sakral, kerumunan dan abstrak memang telah berkurang dan diganti dengan hal-hal baru yang lebih efisien-subtansial. Problemnya, fase negara material ini tidak dibarengi dengan pembangunan karakter dan etos kerja. Padahal pembangunan karakter (character building) adalah prasyarat bagi pembangunan negara secara menyeluruh (nation-state building). Itu artinya, tanpa karakter yang kuat niscaya etos kerja dan martabat negara tidak akan hadir di keseharian kita. Ketika etos kerja melemah maka sinetron kita hanya diisi dengan cerita-cerita tentang cinta, perselingkuhan bahkan setan. Sinetron kita hanya diisi dengan episode “lawakan” serta ucapan Tuhan yang diulang-ulang dan ritual ibadah yang berlebihan.
Oleh karenanya hidup dalam suatu bangsa yang besar dengan keragaman bahasa, budaya, suku, etnis, ras, adat-istiadat dan agama, kita harus memahami betul corak kehidupan politik dan demokrasi Indonesia dalam bingkai dan paradigma meritokrasi. Intinya, adalah menyadari bahwa politik sebagai suatu karsa untuk menegakkan moralitas dan rasionalitas publik yang bertanggungjawab. Sebab, tindakan berpolitik, menurut Hannah Arendt (1973), merupakan salah satu human condition yang berbasis aksi bersama dalam memperjuangkan kepentingan secara berkeadaban (civic). “Menjadi warga politik,” tulis Arendt, berarti hidup di dalam suatu polis, tempat dimana segala sesuatu diselesaikan lewat argumentasi, persuasi, bahkan radikal-revolusioner yang unviolence. Ketika budaya meritokrasi tidak ditradisikan maka korupsi menjadi jawaban, dan pada gilirannya negara hanya akan menjadi apa yang dikatan Karl Heinrich Marx (1818-1883) dalam artikelnya yang berjudul “On the State Question” kerumunan ular buas yang memangsa pawangnya sendiri. Mengerikan!
Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Waljama’ah,
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa;
salah-satu Inisiator Kedai Ide Pancasila.