Papua – Jelang pemanggilan ke tiga oleh KPK terhadap gubernur Papua Lukas Enembe makin menuai banyak respon publik dari berbagai pihak. Diketahui pihak Lukas Enembe dan keluarga masih juga mangkir dari panggilan kedua KPK pada Senin 26 September 2022.
Pada kasus dugaan korupsi yang dialami gubernur Papua ini, publik Papua makin diramaikan lagi dengan tepat Minggu 9 Oktober 2022 lalu, Lukas Enembe dikukuhkan sebagai pemimpin besar atau Kepala Suku Besar di Tanah Papua. Pengukuhan ini dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Dewan Adat Papua (DAP).
Diketahui DAP merupakan lembaga representatif perwakilan masyarakat Adat dari setiap ke tujuh wilayah Adat di Tanah Papua, antara lain Domberai, Bomberai, Saireri, Mepago, Lapago, Mamta dan Ha’Anim. Hal ini menimbulkan reaksi dari berbagai anak Suku OAP di ke enam Wilayah Adat yang lain, selain Wilayah Adat Lapago Suku di mana Lukas Enembe berasal.
Merasa nama Suku dan wilayah adatnya terkesan ikut dipolitisir dalam dugaan kasus Lukas Enembe, Ketua Umum DPP SGM-P Arie Ferdinand Waropen memberikan respon tegas “Saya mau sampaikan di sini berkaitan dengan dugaan kasus yang dialami pak gubernur Papua adalah murni kasus pelanggaran hukum pemerintah/negara. Sehingga sebagai bagian kental dari generasi muda anak Adat asli wilayah Adat Saireri, saya mengimbau agar kepada semua generasi muda Papua hari ini dari wilayah Adatnya masing-masing kita harus jeli dalam melihat letak pokok persoalan, jangan sampai kita hanyut dan dipolitisir. Sebab ini tahun politik dan juga Hukum Adat punya cara tersendiri untuk melakukan seleksi Alam terhadap kehidupan di atas Tanah Papua.” jelas Ketum DPP SGM-P.
Kasus dugaan gratifikasi suap 1M yang menimpa gubernur Papua ini sebenarnya menurut prosedural KPK adalah yang bersangkutan wajib hadir ke KPK untuk diperiksa memberikan keterangan terkait beberapa data transaksi yang dianggap mencurigakan dan telah dikantongi KPK. Namun alasan ketidakhadiran Lukas Enembe dan juga keluarga karena yang bersangkutan sedang sakit.
Diketahui mulai sejak 14 September 2022 penetapan gubernur Papua Lukas Enembe sebagai tersangka korupsi, ada sejumlah hampir seribuan massa pendukungnya menduduki area Kediamannya di Koya Distrik Muara Tami Jayapura Papua.
Ketua lembaga SGM-Papua pun menyayangkan sikap gubernur Papua dan keluarga serta kuasa hukum yang tidak proaktif memberikan penjelasan kepada massa pendukung untuk tidak mencampuri atau menghalang-halangi proses pemeriksaan dari KPK.
“Sebagai warga negara, juga kader senior partai dan aparatur sipil negara yang cukup lama mengabdi seharusnya mampu memberikan contoh yang baik bagi generasi muda Papua hari ini. Kemudian sekelompok orang yg mengatasnamakan DAP ini atas Dasar Kebenaran apa oknum yang saat ini menjadi tersangka korupsi bisa dikukuhkan sebagai kepala Suku Besar Tanah Papua? Bagaimana mungkin perilaku negatif seperti itu akan dinilai oleh publik luas kepada kita sebagai anak Adat? Apalagi seolah-olah keterwakilan pengukuhan dari Oknum-oknum DAP yg saya bisa bilang indikasi pembelaan seperti itu sangat mencoreng nama baik, martabat harga diri saya dan kami selaku anak Adat Asli Saireri.” jelasnya.
Menurut Ketum SGM-P dalam penyesaikan dugaan kasus Lukas Enembe, kita harus bisa membedakan mana kasus dalam tatanan hukum Adat dan mana yang ada pada ranah hukum pemerintahan negara. Sehingga tidak dicampuradukan, karena masing-masing punya prosedural dan sanksi yang berbeda.
“Sekali lagi saya tegaskan sebagai generasi muda anak Adat Saireri Kami tidak termasuk dari kelompok DAP yang melakukan pembelaan berupa pengukuhan gubernur Papua Lukas Enembe sebagai kepala suku besar Tanah Papua yang statusnya saat juga sebagai tersangka korupsi. Kalau mau bicara Hukum Adat tidak ada ceritanya anda dari Suku Adat wilayah lain lalu diangkat dan untuk memimpin saya dan masyarakat suku di Wilayah Adat saya, itu namanya tidak tahu Adat atau melecehkan Adat saya. Karena Kepala Suku Besar Masyarakat Adat hanya berasal dan dipilih dari setiap figur Marga Keret yang mewariskan estafet Kepemimpinan dalam masing-masing Wilayah Adatnya, tidak dari luar. Jangan Ciderai Nilai-Norma Adat dan Stop pakai Adat sebagai pelarian politik!” tegas Arie.
Arie menjelaskan, jika mampu berbuat pelanggaran/kesalahan dalam menjalankan tugas maka harus bisa berani bertanggung jawab. Itu merupakan bagian dari menjaga citra nama baik martabat Suku Adatnya. Jangan terkesan sudah salah lalu politisir semua orang termasuk mengatasnamakan Suku Adat untuk melakukan pembelaan yang tidak wajar.