Papua – Pada proses penyelenggaraan birokrasi, pemerintahan di wilayah Papua dan Papua Barat memilik wewenang khusus yang dimuat dalam platform OTSUS Papua. Hal serupa juga berlaku di DIY dan provinsi Aceh. Bila mengacu pada UU No 21 Tahun 2001, bahwa secara mendasar kehadiran OTSUS adalah untuk “Melindungi, Menjunjung Harkat Martabat” dan “Hak Dasar” Orang Asli Papua (OAP).
Belakangan ini OTSUS Papua menjadi polemik di perbincangan publik, khususnya di Papua pasca agenda Pansus per April 2021 kemarin. Jika melihat dari pada tujuan dan substansi Pansus OTSUS, secara garis besar adalah untuk perbaikan dalam peningkatan pemanfaatan OTSUS di Papua/Papua Barat.
Melihat senyapnya tuksi DPR dan MRP terhadap maraknya isu indikasi korupsi di Papua termasuk kasus gubernur Papua Lukas Enembe, Arie Ferdinand, Ketum DPP SGM-Papua angkat suara.
“Saya kira ketika kita sepakat bahwa momentum Pansus OTSUS kemarin adalah untuk perbaikan dalam pengelolaan dan pemanfaatannya, maka pasca agenda Pansus hari ini harusnya regulasi pengelolaan wewenang/kebijakan wajib lebih jelas. Yang mau disoroti dan dipertanyakan di sini adalah, adakah format regulasi yang dihasilkan agenda Pansus untuk mensiasati persoalan penyelewengan atau kesewenang-wenangan pejabat daerah (OAP) dalam pengelolaan OTSUS di Papua/Papua Barat?” jelasnya.
“Jika belum maka hal ini harus segera diatur dalam UU OTSUS sampai pada turunan regulasinya. Bagian ini juga menjadi penting karena dalam upaya perbaikan tidak hanya penambahan rupiah saja yang dioptimalkan, tetapi orang-orang yang akan mengelola ini wajib dikontrol.” imbuhnya.
Idealnya, pada saat Pansus OTSUS 2021 kemarin, wajib disusun dan dipublis transparan terkait instrumen lembaga baik Pemerintah, DPR, ataupun MRP serta lembaga ethok lainnya yang disepakati bersama untuk mengontrol realisasi kebijakan OTSUS Papua/Papua Barat. Agar diatur juga terkait sanksi yang diberikan kepada pejabat daerah (OAP) yang melanggar atau menyelewengkan wewenang/kebijakan dan anggaran.
Bila ada inovasi regulasi terkait sanksi dalam penyelewengan pengelolaan OTSUS baik Wewenang/Kebijakan maupun anggaran, maka kita bisa perlahan-lahan membentuk karakter pejabat OAP yang anti Korup dan tidak sewenang-wenang dalam Otoritas OTSUS.
“Kalau kita mau komparasi Otoritas wewenang OTSUS pada kasus pak gubernur Papua yang marak saat ini, seharusnya KPK wajib ikut ‘Menjunjung Harkat Martabat’ Orang Asli Papua dengan tidak memberikan perlakuan yang berbeda (berlarut) terhadap penanganan dugaan kasus korupsi tersebut. Yang mana dilakukan seorang pejabat daerah yang juga sebagai Orang Asli Papua. Karena ini akan semakin mencoreng ‘Harkat Martabat Orang Asli Papua’.” jelas dia.
“KPK juga wajib segera memberikan rasa keadilan terhadap rakyat Papua sebagai bagian dari Hak Dasar Orang Asli Papua yang ingin mengetahui sejauh mana Hak-hak kami sebagai rakyat Papua yang diselewengkan selama ini oleh pejabat daerah.” tegas Arie Ferdinand.
Menurutnya, hal ini agar harapan tujuan OTSUS sesuai UU No 21 Tahun 2001 dapat terwujud, maka bagian ini tidak hanya dijalankan oleh OAP sendiri tetapi oleh kita semua dalam konteks bernegara.
Sehingga negara perlu memberikan Kepastian Hukum dengan pembuktian benar ataupun salah pada dugaan kasus korupsi gubernur Papua untuk mewujudkan rasa Keadilan bagi seluruh rakyat Orang Asli Papua. Hal ini juga akan menjaga Citra dan Marwah KPK dan kinerja pada pemerintahan era presiden Joko Widodo di mata publik nasional.
“Karena dalam ranah otoritas OTSUS, kami Rakyat Papua ber-Hak mendapatkan Keadilan atas dugaan kasus korupsi gubernur LE dan juga sebagai warga negara, kami rakyat Papua ber-Tanggung jawab menjunjung tinggi serta menjalankan amanah PANCA-SILA yaitu realisasi dari Sila Ke-2 untuk mewujudkan Sila Ke-5.” tutup Ketum SGM-P ini.