JAKARTA – Penasehat Dharma Wanita Persatuan Kementerian Agama (Kemenag) RI, Eny Retno Yaqut mengatakan bahwa Peringatan Hari Disabilitas Internasional menunjukan komitmen bersama terhadap keberpihakan, penerimaan, penghormatan, serta penghargaan terhadap penyandang disabilitas.
Hal tersebut disampaikan Eny dalam dalam Peringatan Hari Disabilitas Internasional 2022 yang digelar Kementerian Agama dengan tema “Berinovasi Bangkitkan Pendidikan Inklusif” di Jakarta pada Senin (5/12/2022).
Turut hadir dalam acara yang digelar secara luring dan daring itu, yakni Ketua DWP RI Franka Makarim, Staf Khusus Presiden RI Angkie Yudistia, Anggota Komisi Nasional Disabilitas (KND) Fatimah Asri Mutmainah, dan Dirjen Pendidikan Islam Kemenag M. Ali Ramdhani.
“Hari ini kita semua bersama dunia internasional memperingati Hari Disabilitas Internasional yang menunjukan komitmen kita bersama terhadap keberpihakan, penerimaan, penghormatan, dan penghargaan kita kepada penyandang disabilitas,” kata Eny.
Menurutnya, penerimaan, penghormatan serta penghargaan terhadap penyandang disabilitas bukan semata keharusan konstitusi negara, tapi juga kewajiban semua pihak dalam misi keagamaan dan kemanusiaan.
“Mereka lahir memiliki hak dan merupakan kewajiban bagi kita semua dalam pemenuhannya. Kita harus bisa menerima keberadaanya, memberikan penghormatan sebagai manusia utuh dan penghargaan dengan memberikan fasilitas, akomodasi yang layak bagi tumbuh kembangnya,” ujarnya.
“Hal ini bukan semata keharusan konstitusi negara, tapi juga kewajiban kita bersama dalam misi keagamaan dan kemanusiaan,” sambung wanita yang juga menjabat sebagai Bunda Inklusif Kemenag itu.
Terkait pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas ini, Eny mengungkapkan bahwa berbagai upaya dilakukan Kementerian Agama RI dengan sungguh-sungguh untuk memberikan layanan kepada para penyandang disabilitas. Salah satunya adalah lewat pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Pendidikan Islam Inklusif.
Dijelaskannya, Pokja ini bertugas mengkoordinasikan semua program yang ada di masing-masing direktorat untuk penanganan penyediaan akomodasi yang layak dan fasilitasi penyandang disabilitas dalam bidang pendidikan, baik di tingkat madrasah, perguruan tinggi keagamaan negeri, maupun di pondok pesantren.
“Dibarengi dengan pembuatan kebijakan inklusi yang dituangkan dalam berbagai produk kebijakan yang diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang akomodasi yang layak bagi peserta didik penyandang disabilitas, berbagai aturan teknis yang akan disesuaikan implementasinya, serta penyusunan roadmap di setiap direktorat, baik madrasah, pondok pesantren, PAI, juga perguruan tinggi sudah tersusun,” ungkapnya.
Lebih jauh, Eny menyampaikan bahwa dalam menciptakan lingkungan yang inklusif bagi penyandang disabilitas, dibutuhkan partisipasi dan sinergi semua pihak.
“Kita harus bekerja bersama-sama, berkolaborasi, bersinergi secara inovatif untuk menggerakkan pendidikan inklusif ini hingga dapat tercipta ekosistem pendidikan inklusif yang diharapkan,” ucap dia.
“Inclusive education ecosystem ini merupakan sebuah konsep yang menekankan kolaborasi dan koneksi antar stakeholder pendidikan, pimpinan sekolah, guru, orang tua, dan profesional serta pemegang kebijakan dalam menyediakan dukungan kepada peserta didik untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas,” jelas Eny.
Senada dengan Eny Retno Yaqut, Staf Khusus Presiden RI Angkie Yudistia menekankan tentang pentingnya sinergitas semua pihak dalam pembangunan inklusif disabilitas yang optimal.
“Penyandang disabilitas di seluruh Indonesia yang memiliki jumlah 22 juta jiwa berdasarkan data BPS 2020, ini cukup tinggi sekali dan kita membutuhkan anak dengan disabilitas ini untuk tumbuh dengan potensi yang dimiliki,” ujar Angkie.
“Untuk meningkatkan potensi dan kualitas penyandang disabilitas diperlukan support system dan ekosistem yang jelas dari hulu ke hilir. Bukan hal yang mudah, tapi kami butuh sinergi bersama dan kolaborasi, inilah yang kita sebut pentahelix collaboration untuk sama-sama mewujudkan Indonesia inklusi yang ramah terhadap anak disabilitas,” ungkapnya.
Angkie menjelaskan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mengesahkan sembilan peraturan turunan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sejak 2019 hingga 2020.
Hal tersebut, menurut Angkie, merupakan wujud komitmen penuh Presiden Jokowi untuk menjalankan amanat UU tentang Penyandang Disabilitas itu.
“Pemerintah melalui kepemimpinan Bapak Presiden Jokowi, beliau telah mengesahkan 7 Peraturan Pemerintah (PP) dan 2 Peraturan Presiden (Perpres) di mana peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai komitmen beliau untuk penyandang disabilitas,” jelas Angkie.
“Jadi pemerintah juga terus berinovasi beradaptasi sesuai dengan kebutuhan dari penyandang disabilitas,” terangnya.
Sementara itu, Ketua DWP Pusat Franka Makarim dalam sambutannya mengajak setiap lembaga untuk berkomitmen dalam mewujudkan sistem pendidikan yang inklusif khususnya untuk anak berkebutuhan khusus.
“Selama ini kita sudah melihat banyak praktik baik untuk pendidikan inklusi di mana anak berkebutuhan khusus mendapatkan layanan pendidikan dan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhannya. Tidak hanya kita harus mengingat apa yang harus kita lakukan, tetapi juga merayakan yang sudah kita upayakan bersama,” katanya.
Lebih lanjut, Franka menyatakan bahwa pendidikan inklusi sejatinya bukan hanya tentang sistem, tapi juga perwujudan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan bagi penyandang disabilitas di sekolah.
“Sekolah harus mampu memberikan pembelajaran yang optimal bagi seluruh peserta didik terlepas latar belakang dan kondisi kebutuhan yang mereka butuhkan,”
ucap dia.
Dalam kesempatan tersebut, Franka juga menghimbau kepada seluruh pengurus DWP dari setiap lembaga dan kementerian, pemerintahan daerah dan instansi terkait agar mencari tahu lebih banyak lagi program inklusif yang bisa didukung secara nyata di kelembagaan masing-masing.
“Kita perlu memberikan edukasi kepada masyarakat luas, menanamkan pemahaman bahwa anak berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan memerdekakan mereka untuk mengembangkan bakat dan potensinya,” tuturnya.
Franka mengatakan, kemerdekaan dalam proses belajar untuk anak-anak yang bebas dari kekerasan dan diskriminasi adalah syarat utama agar mereka yang berkebutuhan khusus tumbuh menjadi pelajar Pancasila yang kreatif, mandiri, dan mampu berkontribusi untuk lingkungan dan negara.
“Mari kita bangkitkan pendidikan inklusi yang memerdekakan demi terwujudnya mimpi anak bangsa dan cita-cita merdeka belajar bersama,” pungkas Franka.