Oleh: Abdul Ghopur
Agama ketika mati, ia terlahir kembali. Nyawanya 1 triliun. Sebab, ia diwariskan, diajarkan dan dihidupi serta menghidupi manusia. Bagai angin, ia dapat bergerak, hidup, ”memvirusi” manusia di mana saja dan kapan saja. Tetapi juga seperti tumbuhan, ia dapat mati kapan saja dan di mana saja. Manusia berutang budi pada keberadaannya. Jika ada penganut keagamaan berani bunuh diri dan meledakkan bom, maka tesis “atas nama iman, atas nama teks” dan “berperang demi Tuhan, berperang demi agama sedang mengalami faktualisasinya! Inilah potret mutakhir dua (2) dekade belakangan (sejak peristiwa bom Bali, 2002) kita menyaksikan bom dan ancaman terorisme tak berkesudahan di Indonesia. Peristiwa bom bunuh diri di Astana Anyar, kota Bandung baru-baru ini (Rabu, 7/12/22) adalah buktinya.
Peristiwa yang mengakibatkan sembilan (9) orang luka-luka dan dua orang tewas (pelaku dan satu orang polisi), diidentifikasi dilakukan oleh pemuda 34 tahun bernama Agus Sujatno (AS) alias Agus Muslim, mantan narapidana terorisme. Hal ini didasarkan hasil pemeriksaan sidik jari dan face recognition atas jenazah terduga pelaku. Berdasarkan catatan kepolisian, terduga pelaku pernah ditangkap terkait kasus terorisme “bom panci” di Cicendo, 2017. AS kemudian diadili dan dijatuhi hukuman penjara empat (4) tahun di lembaga pemasyarakatan (LP) Nusa Kambangan (penjara kelas berat). AS yang diduga terafiliasi dengan kelompok Jama’ah Ansharut Daulah (JAD) Bandung sendiri baru bebas September 2021. Artinya, baru satu (1) tahun AS menghirup udara bebas.
Masih berdasarkan catatan kepolisian, kebebasan AS tidak serta-merta lenggang-kangkung, tapi Ia masih terus dibuntuti tim Polri. Kapolri Sigit Listyanto menyatakan AS masuk dalam kategori “kelompok yang masih merah.” Sehingga, proses deradikalisasinya sangat membutuhkan teknik dan strategi yang berbeda (karena AS masih susah diajak bicara/cenderung pendiam dan menghindar). Ada yang menggelitik pikiran saya pada peristiwa tersebut, kendaraan (motor roda dua) yang digunakan AS ditempeli secarik kertas di muka depan motornya, bertuliskan: “KUHP = HUKUM SYIRIK/KAFIR” serta “PERANGI PARA PENEGAK HUKUM SETAN.” AS sepertinya ingin memberi pesan bahwa produk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan para penegak hukum di Indonesia adalah anti syari’at alias kafir.
AS merupakan contoh kasus perilaku fundamentalisme berdasarkan ajaran tertentu, yang mengajar-amalkan eksklusifitas beragama. Sebuah zaman yang menandakan lahirnya kekuatan “fundamentalisme agama” (dalam tanda kutip) guna melawan ketidak-adilan sosial, ekonomi, politik, budaya, agama bahkan neo-kapitalisme dan neo-liberalisme. Tentu fundamentalisme-terorisme berdasarkan agama harus dikecam (ditinggalkan), fundamentalisme-terorisme berbasis demokrasi prosedural—yang didesain melahirkan korupsi di pelbagai lini sehingga melahirkan perlawanan dan kekejaman yang sama—juga harus dikutuk ramai-ramai. Dari fenomena tersebut pertanyaannya adalah, efektifkah perlawanan atas nama Tuhan dan atas nama agama? Manusiawikah memberangus fundamentalisme-terorisme berbasis agama dengan fundamentalisme-terorisme berbasis demokrasi?
Menurut para analis, pakar politik, pers dan dalam pengertian yang paling sederhana, mereka yang berani melawan Kapitalis Amerika adalah para fundamentalis, radikalis, dan teroris. Tetapi, siapakah para begundal penganut fundamentalisme itu? Fundamentalisme sering dimaknai sebagai perilaku keagamaan berdasarkan normative approach (penghayatan normatif) yang skriptural (berdasar teks semata) tanpa melihat persoalan-persoalan substansial lainnya (misal: sejarah, peradaban, iptek). Perilaku normative approach ini kemudian melahirkan sibling rivalry yaitu permusuhan antar saudara kandung (maksudnya, Abrahamic Religions—Yahudi, Kristen, dan Islam) dengan mengedepankan sikap truth claim, merasa paling benar dengan menyalah-menyesatkan agama dan pemeluk kepercayaan lainnya.
Lahirnya kelompok radikalis-ekstrimis yang selalu mengedepankan kekerasan dalam beragama seperti Negara Islam Irak-Syiria (NIIS)/Islamic State on Iraq and Syiria (ISIS) misalnya, yang mengatasnamakan (claim) agama (Islam) yang paling kaffah (tulen, suci, murni) adalah perwujudan dari penghayatan normatif beragama (jika tidak ingin mengatakan menjual agama demi kepentingan polititis-pragmatis). Yaitu orang-orang yang mengimani agama dari segi teks saja, bukan konteks atau sabab-musabab (asbaabunnuzul) diturunkannya suatu ayat (Al Qur’an.)
Identitas dan bahasa politik fundamentalisian amat kuat dimiliki oleh para aktivis penegak masyarakat teks dan kelompok-kelompok sosial yang mendukungnya. Dalam Islam, misalnya, ada semangat keberislaman rigid yang dihayati oleh mereka dan dikuatkan, atau dibentuk, lewat doktrin kaffah, yakni keutuhan untuk menjaga dan memasuki agama (Islam) dengan sebenar-benarnya. Penegakan syariat Islam (misalnya) adalah suatu kewajiban bagi mereka. Keyakinan ini di Indonesia sebagai kasus studi, diperkuat oleh adanya kenyataan historis kebangsaan akan perjalanan Piagam Jakarta yang selalu ‘tersandung’ dalam lembaran kehidupan politik bangsa sehingga meninggalkan noda hitam dalam memori kolektif mereka hingga menuntut ‘pembersihan-realisasinya’ secara cepat-tepat.
Meskipun, Indonesia dihuni oleh banyak orang Islam sehingga layak disebut moslem nation, dan sebagian mereka setuju dengan ide penegakan syariat Islam oleh konstitusi negara, namun tidak berarti mereka benar-benar mau melaksanakannya. Dengan memperhatikan perubahan sosiologis dan pengalaman politis bangsa ini, keinginan itu tampaknya memang hanya didukung oleh kelompok-kelompok tertentu. Tetapi, kelompok-kelompok ini seperti angin, sekelebat, hampir kuat, hampir nyata, dan ditakdirkan untuk diingat oleh siapa saja. Sayangnya, Ia hadir untuk dipeluk dan ditinggalkan kembali; untuk dibuang dan dipungut ulang serta untuk diimani dan dibongkar balik agar warna kehidupan laksa pelangi. Karena itu membuat kedamaian dalam kelompok-kelompok fundamentalisme ini seperti memburu angin dalam kelebatnya malam. Bisa dirasa tetapi maha sulit direalisasikan.
Karena itu, kita wajib mengajak semua lapisan untuk mencermati perkembangan masyarakat beragama di masa depan. Semua elemen bangsa wajib bersatu, bersama –bergandengan tangan melawan terorisme, untuk menciptakan harmoni kehidupan yang lebih waras di masa depan. Sebab terorisme-fundamentalisme atas nama demokrasi dan atas nama agama akan (selalu) menjadi arus besar di masa depan. Konflik-konflik dan persaingan antar dua kekuatan besar tersebut akan selalu laten dan mengemuka. Terutama sekali bila para pemimpin, ilmuwan dan elit masyarakat terjebak pada nafsu untuk berkuasa dengan mengesampingkan nafsu kemanusiaan universal. Sehingga, tugas, program dan upaya deradikalisasi menjadi tidak semakin mudah. Sebab, paham radikalisme-fundamentalisme pada akhirnya tak lain adalah skenario yang ditulis ulang, diputar ulang dalam rangkaian melingkar yang berkelok bagai labirin tak berujung (centripetal dan centrifugal) tak berhingga dalam multi wajah, kompleks dan puspa ragam. Disusun ulang dari percakapan-percakapan dan pikiran-pikiran dari orang per orang dan diselundupkan ke sel-sel pikiran orang lain di sekitarnya. Ia membentuk ikatan dan batas, solidaritas dan kewajiban, ingatan dan cita-cita, kawan dan lawan, serta imaji dan harapan.
Dus, iman dan romantisme pada teks penting tetapi penciptaan teks baru jauh lebih penting. Iman pada demokrasi penting tetapi jauh lebih penting adalah penciptaan serta realisasi dari pesan dasar kemanusiaan yang berupa kesejahteraan. Agama, demokrasi dan kesejahteraan hidup adalah trisula yang saling bersaing, karenanya menjadi pesan dan pekerjaan yang harus segera dipahami dengan waras agar tidak timpang.
Para ilmuwan, agamawan, dan kelompok-kelompok studi berkewajiban menghadirkan teori-teori baru yang mampu memotret kehidupan masyarakat dari jantungnya langsung dalam upaya deradikalisasi dan pencegahan tindak pidana terorisme. Tugas maha berat ini tentu tidak bisa hanya dibebankan kepada TNI/Polri, BIN, BNPT, BIP, Lemhanas serta ormas-ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyyah apalagi Kominfo. Tugas mulia ini meski pun sangat berat, perlu kita emban sama-sama tanpa ada pihak yang merasa paling kompeten apalagi merasa paling hebat karena dilindungi payung hukum. Perlu dicatat, jumlah terduga pelaku tindak pidana terorisme pada tahun 2020 mencapai 232 orang. Sedangkan pada tahun 2021 mencapai 364 orang. Artinya ada peningkatan jumlah yang signifikan. Apakah kita ingin mengatakan bahwa kinerja aparat pemerintah meningkat (karena sudah menangkap ratusan orang terduga pelaku tindak pidana terorisme)?
Di satu sisi, mungkin yes. Tapi di sisi lain, dengan banyaknya orang terduga pelaku tindak pidana terorisme yang ditangkap, menunjukkan upaya deradikalisasi kedodoran. Artinya, program deradikalisasi perlu perpanjangan tangan yang lebih panjang (tangan pemerintah terlalu pendek), berkesinambungan (sustainability), jangka pendek-menengah-panjang. Perlu ada disposisi kerja-kerja deradikalisasi kepada seluruh elemen bangsa (kelompok-kelompok kajian perlu dilibatkan) demi upaya bersama melawan terorisme![]
Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Waljama’ah (ASWAJA),
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB);
Inisiator Yayasan Kedai Ide Pancasila
(menulis banyak buku dan artikel)
Disclaimer: (makalah ini merupakan pendapat peribadi, orang lain dapat saja berpendapat berbeda)