(sebagai bahan refleksi singkat kebangsaan)
Oleh: Abdul Ghopur
Betapa sebuah bangsa membutuhkan mitos atau mitologi kebesaran dan kejayaan bangsanya. Hampir tiada satu bangsa di mana pun di dunia yang tidak memiliki mitos kebesaran bangsanya dan ketinggian kebudayaannya. Beberapa negara yang memiliki (konon) mitologi tinggi dan peradaban tua misalnya: Yunani –disebut sebagai negeri seribu dewa, Jerman – mengklaim ras Aria (ras terbaik di dunia), Mesir –mengklaim memiliki peradaban tua (ribuan tahun), Cina –mengklaim juga berperadaban tua ribuan tahun (memiliki kalender yang tua umurnya). Begitu pula dengan India –negeri Bharata-Anak Benua yang kesemuanya itu bararti dan mengindikasikan negara-negara tersebut memiliki kebudayaan yang adi luhung di segala bidang: adat-istiadat, tradisi, sistem ekonomi, hukum, sosial, agama, bahasa, kesenian, pendidikan, pertanian-perternakan, kedokteran, ilmu perbintangan, bahkan kelautan dan kemiliteran.
Dalam bidang navigasi kelautan misalnya, Inggris mengklaim memiliki sistem navigasi kelautan yang terbaik di dunia. Padahal, berabab-abad silam bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa bahari (malah ada nyanyian; nenek moyangku seorang pelaut) dan jauh sebelum Inggris memiliki sistem navigasi kelautan, Indonesia berabad yang silam di jaman kerajaan Sriwijaya dan puncaknya di masa kerajaan Majapahit sudah memilikinya dan yang terbaik di dunia. Bahkan ukiran atau pahatan berlatar kapal laut bisa kita lihat berada atau terukir di relif candi Borobudur. Sedangkan candi tersebut, sebagaimana kita ketahui bersama, sudah terbangun berabad-abad silam, tepatnya pertengahan abad ke 8 di masa Dinasti/wangsa Syailendra –Kerajaan Mataram Kuno (ada pula yang menyatakan dibangun di masa sebelum Syailendra, yakni wangsa Sanjaya).
Kemudian, dalam bidang kebudayaan dan seni ukir itu misalnya, ukiran kayu Jepara, Jawa Tengah merupakan salah satu ukiran terbaik di dunia. Bahkan, ukiran kayu Jepara itu menjadi ukiran-ukiran di Sinagog-Sinagog di Yahudi –Israel (bahkan di sana ada jalan yang bernama Java Street/Jalan Jawa). Konon Jawa merupakan nenek moyangnya orang-orang Yahudi. Sehingga, wajar jikalau ada kecurigaan bahwa sesungguhnya ada gerakan secara sistematis untuk mencerabut kebesaran kebudayaan bangsa ini dari akar tradisinya oleh kekuatan imperialisme asing (Barat). Sehingga, bangsa ini kehilangan mitos atau mitologinya, kehilangan kepercayaan dirinya sebagai bangsa besar atau minimal bangsa yang pernah besar dengan segala kebesarannya di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bahkan, secara letak geografi, Indonesia adalah negara di Asia Tenggara yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Sebagai negeri Zamrud Khatulistiwa, sehingga Indonesia banyak dilintasi perdagangan dunia yang sangat menguntungkan. Indonesia juga merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari ribuan pulau dengan luas wilayahnya mencapai ±1,905 juta km². Dengan populasi sekitar sebesar 260 juta jiwa pada tahun 2013 (Biro Pusat Statistik, bps.go.id) (sekarang sudah ±270 juta), Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, sekitar 230 juta meskipun secara resmi bukanlah negara Islam (http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia).
Kepulauan Indonesia menjadi wilayah perdagangan penting dunia, setidaknya sejak abad ke-7, yaitu ketika Kerajaan Sriwijaya di Palembang menjalin hubungan agama dan perdagangan dengan Tiongkok dan India. Kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha telah tumbuh pada awal abad Masehi, diikuti para pedagang yang membawa agama Islam, serta berbagai kekuatan Eropa yang saling bertempur untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah Maluku semasa era penjelajahan samudra. Selain memiliki populasi padat dan wilayah yang luas, Indonesia memiliki wilayah alam yang mendukung tingkat keanekaragaman hayati (rempah-rempah dll.) dan hewani terbesar kedua di dunia.
Dengan sederet anugerah dari Yang Maha Kuasa itulah Indonesia juga merupakan negara yang sangat “menjanjikan” dan akan selalu jadi incaran “penjajahan” oleh banyak negara Eropa dan juga Asia. Itu disebabkan pula Indonesia sejak zaman dahulu merupakan negara yang kaya akan hasil alamnya yang melimpah, hingga membuat negara-negara Eropa tergiur untuk menjajah dan bermaksud menguasai sumber daya alamnya untuk pembangunan dan memperkaya negaranya.
Dengan sistem kolonialisasi dan imperialisme bangsa-bangsa Eropa terutama Belanda di negeri ini yang berabad-abad lamanya, telah menanamkan mental inlander (orang pedalaman, dusun, budak-hina-dina) atau feodalisme kepada bangsa ini. Ditanamkannya perasaan atau mental sebagai bangsa budak (bangsa kuli) dengan Belanda sebagai tuannya, menjadikan bangsa ini bermental abmtenar dan ‘penjilat’ –pendendam. Dendam terhadap kekuasaan dan kesejahteraan sebagai bangsa yang pernah dijajah (pasca kolonial). Yang pada gilirannya melahirkan para pemimpin bangsa yang feodal-pendendam dan berwatak menjajah pula. Menjajah siapa saja, bahkan menjajah bangsanya sendiri yang menghalangi hasrat kuasa dan kelanggengan kekuasaannya (sungguh ironis).
Pertanyaannya kemudian, kenapa mitos atau mitologi menjadi penting bagi sebuah bangsa? Jawabannya, dengan mitos maka sebuah bangsa akan memiliki kepercayaan dirinya yang tinggi, untuk berdiri tegak–sejajar–sederajad dengan bangsa-bangsa dan negara-negara lain di dunia. Sebab mitos pada gilirannya akan memunculkan etos dan membangunkan karakter bangsa. Padahal, pembangunan karakter (character building) adalah prasyarat bagi pembangunan negara secara menyeluruh (nation-state building). Itu artinya, tanpa karakter yang kuat niscaya etos kerja dan martabat negara tidak akan “hadir” di keseharian bangsa. Ketika etos kerja melemah maka sinetron kita diisi dengan cerita tentang setan, kemewahan semu, kehidupan yang hedonisme-instan dan episode “lawakan” serta uacapan Tuhan yang diulang-ulang, ritual ibadah yang berlebihan. Ketika kerja tidak dibudayakan maka korupsi menjadi jawaban. (ngeri yah?!)
Tentu saja semua problem di atas harus segera diselesaikan, sebab dengan surplus kekayaan bangsa Indonesia di semua bidang kehidupan yang sebenarnya melimpah ruah, kita masih sengsara karena kemiskinan dan penjajahan oleh bangsa sendiri. Baik miskin kultural, struktural, kapital maupun intelektual bahkan spiritual. Suatu kemiskinan akibat bukan hanya nasib dan nalar yang belum matang tetapi juga karena miskin sejarah dan mitologi bangsanya.
Padahal, para penggerak nasionalisme Indonesia modern juga para pendiri bangsa ini selalu menjadikan kebesaran kerajaan Sriwijaya dan Majapahit sebagai rujukan, termasuk mereka yang terlibat Gerakan Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20, sebagai contoh/suri tauladan gemilang masa lalu Indonesia atau Nusantara. Majapahit kadang dijadikan acuan batas politik negara Republik Indonesia saat ini. Hal ini dimaksudkan sungguh-sungguh untuk menggugah, mambangunkan, bahkan membangkitkan semangat kebangsaan kita sebagai bangsa yang besar dengan segala kebesarannya. Agar kita tidak menjadi bangsa peminder, bangsa inlander; bangsa yang senang dan menganggap bahwa bangsa lain lebih habat dan istimewa ketimbang bangsanya sendiri, bangsanya kuli, dan agar tidak paria hidup di negeri yang merdeka!
Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Waljama’ah (ASWAJA),
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB),
Founder Indonesia Young Leaders Forum
Inisiator Yayasan Kedai Ide Pancasila
(menulis banyak buku dan artikel)
Disclaimer: (makalah ini merupakan pendapat peribadi, orang lain dapat saja berpendapat berbeda)
Referensi:
Ahmad Dahlan, PhD. 2014. Sejarah Melayu. Jakarta: PT. Gramedia.
Dan dari berbagai sumber lain.