Oleh: Abdul Ghopur
Sesungguhnya, bangsa Indonesia adalah ‘konsepsi kultural’ tentang suatu komunitas yang diimajinasikan sebagai entitas dari (konon) warisan teritoral jajahan Belanda. Sedang negara Indonesia adalah ‘konsepsi politik’ tentang sebuah entitas yang tumbuh berdasarkan kesadaran politik bersama untuk merdeka dengan meletakkan individu ke dalam kerangka kerakyatan. Dalam kerangka ini, setiap rakyat dipertautkan dengan suatu komunitas politik lain dalam kedudukan yang sederajat di depan hukum, dengan operasi atas prinsip kekariban, keadilan serta kemanusiaan.
Kita tahu bahwa nalar, ego dan semangat keindonesiaan bukanlah sebuah warisan yang ditemukan atau pun datang tiba-tiba. Tidak pula merupakan kesadaran sakral dan primordial. Dalam bahasa Edward W Said (1994), sejarah manusia (Indonesia) adalah konstruksi ideologis yang didasarkan pada satu kombinasi yang ganjil antara “yang empiris” dan “yang imajinatif.” Yang empiris berupa manusia dan tanah, sedang yang imajinatif adalah pikiran dan cita-cita bersama (sebagaimana dikutip M. Yudhie Haryono, 2009).
Nalar, rasa, dan karya sebagai bangsa Indonesia dengan demikian adalah hasil dari pergulatan emosional, intelektual dan ideologis yang diciptakan, dibangun, dan diperjuangkan bersama-sama bertahun-tahun. Sebab, sebelum tereja sebagai Indonesia, masyarakat Indonesia lahir dan tumbuh dalam komunitas lokal yang masing-masing memiliki identitas, tradisi, bahasa, ruh dan pemimpin yang berasal dari kalangan mereka sendiri. Mereka telah menyejarah sebagai produk budaya yang terkait dengan sistem kekuasaan yang bersifat eksternal maupun internal yang melalui “imaji” dan “empirisnya” berbicara dunia di sekitarnya. Baru, setelah kemerdekaan maka daerah tadi dilabeli nama baru dengan tulisan “propinsi/kabupaten” dan diberi “jiwa dan ruh” baru yang bernama “jiwa-ruh keindonesiaan.” Persoalannya, apakah kehadiran jiwa-ruh keindonesiaan itu mengganti jiwa-ruh kedaerahan menjadi kenasionalan (from tribal to nation); apakah terjadi “perkawinan” atau “pelenyapan,” terjadi “pertikaian” yang tak kunjung selesai atau justru roman perkawanan yang harmonis?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi penting sebab, salah satu fungsi dari kebangsaan “Indonesia” adalah untuk membantu kita membangun makna tentang diri; untuk menjelaskan dari mana kita berasal dan mengapa tradisi-tradisi kita begitu menyejarah, istimewa dan khas. Sedang secara politik, sejarah proklamasi kemerdekaan pada tangal 17 Agustus 1945 merupakan administrasi “akad nikah.” Satu perjanjian “suci” antar― berbagai gugus Nusantara menuju persatuan-kesatuan menjadi keluarga besar Indonesia. Dus, peristiwa itu adalah kontrak sosial dalam teori politik modern, dan kontrak historical block dalam teori perjuangan antara sosok bernama “negara republik” dengan sosok “putri daerah.”
Pernikahan agung antara republik dan putri daerah menjadi jembatan emas dan antara, yang dijadikan pintu gerbang menuju “cita-cita kolektif” antar― berbagai gugus yang berbeda. Terciptalah cita-cita substansi sebagaimana tercantum dalam mukadimah UUD 1945’: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Karena alasan persamaan senasib-sepenanggungan tersebut maka, harta, harapan, cita-cita , jiwa, raga, darah dan air mata serta sumber daya yang dimiliki daerah telah diberikan sepenuhnya pada Republik Indonesia.
Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Waljama’ah (ASWAJA),
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB),
Founder Indonesia Young Leaders Forum;
Inisiator Yayasan Kedai Ide Pancasila
(menulis banyak buku dan artikel)
Disclaimer: (makalah ini merupakan pendapat peribadi, orang lain dapat saja berpendapat berbeda)
Referensi:
Dari berbagai serpihan sumber.