JAKARTA – Tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sudah mulai berjalan. Kegaduhan pada tiap pelaksanaan tahapan Pemilu 2024 sudah mulai dirasakan oleh sejumlah masyarakat.
Pengamat Politik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lusius Karus menilai, kegaduhan yang terjadi pada tiap tahapan Pemilu 2024 merupakan hal lumrah. Bahkan ia menilai kegaduhan yang terjadi jelang Pemilu 2024 menjadi bagian dari sosialisasi partai politik, khususnya parpol baru..
“Hampir setiap tahapan sejak di pendaftaran partai politik kegaduhan itu sudah mulai muncul. Saya kira ini hal biasa, karena kalau tidak gaduh lalu dengan apa kemudian Pemilu 2024 itu disosialisasikan. Jadi saya pikir ini bagian dari sosialisasi khususnya bagi parpol baru,” kata Lusius Karus dalam program Diskusi Akhir Pekan Titik Temu yang digelar oleh Rumah Kebudayaan Nusantara (RKN) di Jakarta, Sabtu, 14 Januari 2023.
Lusius Karus menjelaskan, selain menjadi ajang sosialisasi Parpol Baru, kegaduhan politik yang terjadi saat ini merupakan buntut dari akan dilaksanakannya dua kali pesta demorasi pada 2024 yakni Februari 2024 untuk Pemilu Presiden dan Pemilihan Legislatif, serta pada November 2024 berlangsung pemilihak Kepala Daerah Serentak
“Saya pikir juga ini kan memang ada yang luar biasa di 2024 dalam setahun kita menghadapi dua event Pemilu jadi saya kira semangat itu juga yang membuat orang Kemudian sejak awal bersemangat menyambut tahun 2024,” ungkapnya.
Hal lain yang menbuat gaduh tahapan Pemilu 2024, lanjut Lusius Karus, adalah banyak orang yang berharap terhadap panggung 2024. Ia menjelaskan, hal tersebut terjadi ketika pihak incumben yakni presiden Joko Widodo, saat ini sudah tidak bisa lagi ikut dalam ajang pesta demokrasi ini.
“Ketika presidennya sekarang tidak bisa maju kembali, lalu banyak orang kemudian mulai berharap panggung 2024 itu menjadi miliknya. Sehingga begitu banyak orang yang punya kepentingan untuk menggaduhkan, selain dari sisi persiapan juga saya kira penyelenggaraan juga mungkin memang belum cukup terkonsolidasi sehingga banyak yang keteteran,”
Kontroversi
Sementara itu, Pengamat Politik yang juga Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti yang hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut mengatakan, kegaduhan politik saat ini memang telah terjadi. namun lanjutnya, kencangnya keriuhan tahapan Pilpres 2019 ini masih pada tahap yang dapat diprediksi.
“2014, 2019 (kegaduhan) ada kencangnya juga ya tapi itu pada sesuatu yang dapat terprediksi. Misalnya penetapan partai politik peserta pemilu itu udah bisa diduga, karena akan ada yang didiskualifikasi, macam-macam dan seterusnya. Kemudian nanti soal penetapan capres dan cawapres, penetapan caleg itu biasanya memang akan mengundang berbagai keriuhhan,” jelas Ray Rangkuti dalam diskusi yang dipandu oleh moderator Pangeran Ahmad Nurdin tersebut.
Namun demikian, jika dibandingkan dengan keriuhan yang terjadi saat ini lanjut dia, kegaduhan politik yang terjadi pada tahapan Pemilu 2024 ini sudah lebih dari sekedar riuh rendah, tetapi sudah sampai pada tahap kontroversial. Ia mencontohkan, salah satunya terjadi pada tahapan penetapan Partai Politik Peserta Pemilu.
Menurut Ray Rangkuti, KPU belum dapat memberikan penjelasan yang dapat meyakinkan publik terkait penetapan Parpol Peserta Pemilu. Menariknya, lanjut dia, karena data-data yang disampaikan ini oleh para pegiat pemilu, saya kira tidak tidak tidak bisa diabaikan begitu saja oleh KPU. Pasalnya, data tersebut dapat diambil dari para pelaksana pemilu di tingkat daerah.
“Umumnya mereka yang mengaku bahwa terjadi saat itu perintah yang ditekankan kepada KPU Kabupaten untuk merubah hasil verifikasi faktual yang sudah dilakukan, dari yang sebenarnya tidak lolos menjadi polos sehingga masuk menjadi masuk,” tegas Ray Raknguti.
Dalam acara diskusi yang disiarkan langsung melalui live radio streaming RKN Radio dan direlay oleh sejumlah radio mitra di Indonesia ini, terungkap pula sikap KPU yang menurut Ray Rangkuti berjalan sendiri. Hal itu, kata Ray Rangkuti, terlihat dari pernyataan Ketua KPU, Hasyim Asyari terkait sistem pemilihan proporsional terbuka atau tertutup.
“Kita paham niatnya untuk menahan parpol untuk bersosialiasi karena perubahan aturan dari pemilihan terbuka ke terteutup masih diproses di MK, tapi ada kesan KPU lebih berpihak kepada salah satu sistem tertentu, yang itu adalah tertutup yang umumnya ditolak oleh publik,” pungkas dia.