Oleh: Abdul Ghopur
Indonesia merupakan negara besar yang terdiri dari beragam etnis, suku, ras, bahasa, agama dan budaya. Spesifikasi dan keunikan Indonesia tersebut merupakan kekayaan bangsa yang patut dibanggakan dan disyukuri, serta harus dijaga sekuat-kuatnya. Oleh sebab itu setiap warga negara–bangsa Indonesia wajib mengelola dan menjaga kemajemukan tersebut agar mendatangkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai, harmonis serta sejahtera–berkeadilan.
Sebagai bangsa yang multi etnis, ras, suku, budaya, bahasa dan agama, ternayata jika kita bicara jujur, kita masih belum bisa menghilangkan atau paling tidak meminimalkan apa yang disebut dengan barrier of psychology (batas psikologis/prasangka) terhadap sesama anak bangsa. Itulah yang kerap memunculkan konflik bernuansa SARA (istilah Orba) di negeri ini baik secara vertikal maupun horizontal. Inilah persoalan mendasar bangsa kita sampai hari ini, yakni merosotnya nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme dan semangat kemajemukan (pluralitas) sebagai bangsa yang multikultural yang telah berdiri selama 77 tahun.
Padahal, ribuan tahun silam sebelum kata Indonesia ter-eja dan merdeka; dan menjadi republik, bangsa ini memang sudah berdiri sebagai sebuah bangsa dengan puspa ragam, corak dan warna dari pelbagai gugusan Nusantara. Meski pun berberba-beda tetapi sesungguhnya tetap satu jua atau Bhinneka Tunggal Ika, inilah semboyan bangsa ini.
Semboyan (sesanti) Bhinneka Tunggal Ika diungkapkan pertama kali oleh Mpu Tantular, penganut Budha Tantrayana, Pujangga Agung kerajaan Majapahit, pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (sekitar: 1350-1389). Sesanti tersebut terdapat dalam karyanya yang berjudul: Kakawin Sutasoma, Pupuh (Bab) 139, Bait ke 5, yang berbunyi: “Bhinna Ika Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrva” yang artiya: “Berbeda-beda itu satu itu, tak ada pengabdian/kebenaran yang mendua.” Semboyan Bhinneka Tunggal Ika mengacu bahasa Sanskrit/Sansekerta. Semboyan ini hampir mirip dengan dengan semboyannya bangsa Amerika Serikat yang berbunyi: “ePluribus Unum” yang maknanya: perbedaan dalam persatuan (Unity in Diversity). Diungkap empat (4) abad setelah Mpu Tantular mengemukakan sesanti Bhinna Ika Tunggal Ika, tepatnya pada abad ke XVIII. Sesanti atau moto ini adalah Frasa yang berasal dari bahasa Jawa Kuno dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu.” Jika diterjemahkan per-kata, kata bhinneka berarti “beraneka ragam” atau berbeda-beda. Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti “macam” dan menjadi pembentuk kata “aneka” dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti “satu.” Kata ika berarti “itu”.
Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan “Beraneka Satu Itu,” yang bermakna meski pun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetaplah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa, daerah, ras, suku bangsa, agama, kepercayaan dan lain-lain.
Isi Kakawin Sutasoma berisi antara lain wejangan tentang cara mengatasi segala bentuk perbedaan agama (antara Shiwa/Hindu dan Budha) waktu itu yang dirasakan sangat rentan terhadap kemungkinan terjadinya konflik horizontal pada masa kerajaan Majapahit. Semoboyan atau sesanti ini dijadikan prinsip dasar perikehidupan dalam pemerintahan/kerajaan Majapahit guna mengantisipasi konflik yang mungkin timbul akibat adanya keaneka-ragaman budaya dan juga agama yang dipeluk rakyat Majapahit saat itu. Juga untuk menciptakan kedamaian dan keselarasan (harmoni) dalam perbedaan kehidupan beragama ketika itu, yakni Hindu dan Budha (meskipun berbeda agama tetapi mereka tetap satu dalam pengabdian).
Konon, Budha dan Shiwa merupakan dua dzat yang berbeda (Rwāneka Dhātu Winuwus Buddha Wiswa). Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? (Bhinnêki Rakwa Ring Apan Kena Parwanosen?). Sebab, kebenaran Jina (Budha) dan Shiwa adalah tunggal (Mangka Ng Jinatwa Kalawan Śiwatatwa Tunggal). Berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang mendua (Bhinna Ika Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrva).
Demikianlah suatu keselarasan atau harmoni lewat semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dibangun sebagai pandangan hidup bersama rakyat Majapahit dalam mengarungi kehidupan dan pola relasi (hubungan) antar-sesamanya. Meskipun agama mereka berbeda tetapi kerukunan antar umat beragama tetap dijaga. Sehingga, keamanan, ketenteraman, dan kedamaian rakyat Majapahit dapat tercipta demi keutuhan dan kejayaan kerajaan Majapahit.
Enam abad sesudah dicetuskannya Bhinna Ika Tunggal Ika oleh Mpu Tantular, semboyan ini akhirnya resmi ditetapkan sebagai sesanti/semboyan Negara Republik Indonesia pada tahun 1951, melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.66 Tahun 1951 (Muhammad Yamin mengusulkan Bhinneka Tunggal Ika dijadikan semoboyan atau sesanti bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia). Kata “Bhinna Ika” lalu dirangkai-padu menjadi satu susunan kata “Bhinneka.” Dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai sesanti terdapat dan melekat pada Lambang Garuda Pancasila (berada di bawah dua kaki burung Garuda yang cakar tajamnya mencengkeram kuat-erat semboyan itu). Pada amandemen yang kedua UUD 1945, 18 Agustus 2000, Bhinneka Tunggal Ika tetap dikukuhkan sebagai semboyan Negara Republik Indonesia, yang tercantum dalam BAB XV tentang BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN, pasal 36A UUD 1945 yang berbunyi: “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Bhinneka Tunggal Ika sangatlah penting bagi bangsa Indonesia yang sangat majemuk dalam segala hal (agama, budaya, etnis, suku, adat-istiadat, ras, bahasa dan lain-lain), tidak hanya dalam semboyan tetapi dalam makna dan praktik kehidupan sehari-hari berbangsa-bernegara. Urgensi (makna penting) Bhinneka Tunggal Ika ini bertujuan untuk “menyatukan” bangsa Indonesia yang majemuk. Mengatur dan menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menghormati dan mengharmoniskan (menyelaraskan) pola relasi (hubungan) perbedaan-perbedaan di dalam segala kemajemukan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Nilai-nilai yang terkandung dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika ternyata sangat positif bagi semangat (spirit) solidaritas, produktifitas, tanggungjawab, kepedulian, keadilan, kejujuran, kepercayaan, toleransi dan gotong-royong sesama anak bangsa. Dan, diantara nilai-nilai tersebut secara esensial ada tiga (3) nilai yang menonjol secara prinsip bagi Indonesia yang sangat majemuk ini, yakni sikap atau nilai-nilai: Keadilan, Toleransi, dan Gotong-royong.
Sikap adil atau nilai keadilan yaitu mengedepankan suatu sikap keseimbangan (tawazun) dalam segala aspek kehidupan berbangsa-bernegara. Diantaranya adil dalam bidang sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya termasuk kesetaraan derajat. Sikap adil juga menyeimbangkan antara hak dan kewajiban sebagai warga bangsa, menghormati dan bijaksana antar-sesamanya. Tidak mengambil hak orang lain yang bukan haknya (tidak serakah atas kue pembangunan). Memberikan hak kepada orang yang berhak. Tidak terjadi ketimpangan dalam hidup berbangsa-bernegara. Sikap adil juga berarti menyadari diri dan mengatahui posisinya masing-masing di bangsa ini (sadar diri-sadar posisi). Yang minoritas menghormati hak yang mayoritas, yang mayoritas menghargai hak yang minoritas.
Sikap toleran atau nilai toleransi (tasamuh) yaitu sikap yang berintikan penghargaan terhadap perbedaan pandangan, rasa dan kemajemukan identitas budaya masyarakat. Mau memahami orang lain sehingga komunikasi dapat berlangsung dengan baik. Keharmonisan sikap dalam kelompok masyarakat, sopan-santun, rendah hati, rela berkorban dan pemurah. Intinya, menghargai keberadaan orang lain dengan segala kelebihan dan kekurangan yang melekat pada dirinya, di luar diri kita (membayangkan diri sendiri menjadi atau berada pada diri orang lain).
Sikap gotong-royong ialah suatu sikap membantu pihak yang lemah atau terlemahkan dan terpinggirkan (mustada’affin) oleh pihak yang kuat, agar punya daya-upaya dan agar sama-sama mencapai sebuah tujuan mulia bersama. Dengan kata lain sikap ini mengandaikan adanya persatuan, kerjasama, partisipasi, kekompakan, dan saling bahu-membahu (saling membantu) atau saling tolong-menolong. Sebab, kita tidak dapat hidup sendiri untuk memenuhi kebutuhan kita dan memerlukan pertolongan orang lain. Initinya, duduk sama rendah, diri sama tinggi atau ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Semua persoalan bangsa di-tanggung-renteng bersama agar menjadi enteng. Itulah sikap atau nilai gotong-royong yang merupakan suatu perkataan tulen Indonesia dan jiwa bangsa serta sudah menjadi warisan budaya bangsa.
Semua nilai-nilai baik yang terkandung di dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika hanya dapat terwujud apabila seluruh tumpah darah Indonesia ini mempraktikkannya mulai dari diri sendiri, mulai dari alam pikirannya. Selanjutnya menularkannya ke lingkungan di luar dirinya ke lingkungan keluarga, lalu ke lingkungan yang lebih besar dan luas lagi yakni negara.
Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Waljama’ah (ASWAJA),
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB),
Founder Indonesia Young Leaders Forum;
Inisiator Yayasan Kedai Ide Pancasila
(menulis banyak buku dan artikel)
Disclaimer: (makalah ini merupakan pendapat peribadi, orang lain dapat saja berpendapat berbeda)
Referensi:
Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U. 2009. Kakawin Dēśa Warnnana uthawi Nāgara Kṛtāgama, Masa Keemasan Majapahit.. Jakarta. PT Kompas Media Nusantara. PT Gramedia.
Dan dari berbagai serpihan sumber.