Bali – Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), melalui Direktorat Pengkajian Implementasi Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP), menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertemakan Program Implementasi Pembinaan Ideologi Pancasila dan Pengkajian Pembinaan Ideologi Pancasila di Provinsi Bali. Kegiatan ini diselenggarakan selama dua hari sebagai satu rangkaian, dimulai dari hari Rabu (01/03/2023) sampai Kamis (02/03/2023). Acara ini diadakan juga sebagai persiapan penerapan buku bahan ajar pendidikan Pancasila di tingkat PAUD sampai SMA yang direncanakan dijalankan pada tahun ajaran 2023/2024.
Pada FGD tersebut, hadir Wisnu Bawa Tenaya (Sekretaris Dewan Pengarah BPIP), Antonius Benny Susetyo (Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP), Irene Camelyn Sinaga (Direktur Pengkajian Implementasi PIP BPIP), Ngatawi Al-Zastrow (Budayawan), Idris Hemay (Direktur CSRC), Gabungan Pengajar Mata Ajar Kewarganegaraan, serta perwakilan dari Pemerintah Daerah Provinsi Bali, terutama dari Dinas Pendidikan Provinsi Bali, serta jajaran pejabat dan staf, baik dari BPIP dan Pemda Bali.
Wisnu menyampaikan, dalam sambutannya, bahwa Bali dapat menjadi tempat contoh inklusivitas. Hal ini dia sampaikan terkait kegiatan pada hari Rabu, yaitu melakukan kunjungan ke Desa Bengkala, Buleleng, Bali, dimana beberapa masyarakatnya memiliki kebutuhan khusus, dan masyarakat yang hidup berdampingan serta beradaptasi dengan keadaan tersebut.
“Desa Bengkala dapat menjadi tempat belajar bagaimana bangsa Indonesia hidup bersama-sama, walau berbeda, baik dari segi SARA ataupun juga kemampuan panca indera. Nilai-nilai yang ditemukan dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua untuk hidup harmonis,” jelasnya.
Dia pun juga menyatakan bahwa BPIP memiliki agenda untuk melaksanakan ekosistem Pancasila.
“Pancasila dalam tindakan. Bukan hanya sekedar perbedaan agama, ras, dan suku bangsa, tetapi juga perbedaan yang lainnya. Hal ini dibuktikan dengan kehadiran Desa Bengkala dan nilai-nilai yang dihidupkan disana.”
Benny, sapaan akrab salah satu rohaniwan katolik tersebut, menyatakan bahwa seluruh manusia yang mengimani Pancasila berarti mencintai manusia dan sesamanya tanpa terkecuali.
“Orang yang mencintai Tuhan, mengimani nilai ketuhanan Pancasila, memanusiakan manusia, mengakui bahwa semua manusia adalah ciptaan Tuhan YME yang luhur. Itulah yang harusnya menjadi nilai dasar setiap manusia Indonesia,” kata Benny.
Salah satu pendiri Setarra Institute ini menyampaikan bahwa persoalan bangsa Indonesia soal pengertian Pancasila memang ada.
“Pancasila sekedar menjadi slogan. Era reformasi, dimana pendidikan Pancasila dihapus karena kita terlalu concern dengan perubahan politik, transisi politik. Intoleransi muncul. Reformasi membuka informasi, tetapi menggerogoti Pancasila, seolah-olah Pancasila produk rezim.”
Benny pun memberikan garis bawah mengenai satu aspek dalam pendidikan.
“Anak-anak harus diajarkan sejarah. Semua sejarah, sejarah pembentukan Pancasila dari pendirian Boedi Oetomo, Sumpah Pemuda, sampai ditetapkannya Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945, harus dijelaskan agar dimengerti anak-anak, sehingga mereka mengenal Pancasila, bukan sekedar dihafalkan,” tandasnya.
“Satu hal yang juga harus digarisbawahi: Pancasila dimiliki oleh bangsa Indonesia, lahir dari bangsa Indonesia, dan tidak mengenal dominasi mayoritas minoritas. Inilah yang disadari bapak-bapak bangsa ini; inilah sumber persatuan bangsa Indonesia. Ajar anak-anak mengenai kesakralan ini.”
Mengenai tantangan pengaplikasian Pancasila untuk anak-anak saat ini, pakar komunikasi politik ini menunjuk pada tantangan globalisasi.
“Politik global saat ini mengubah total tatanan hidup kita. Pancasila seharusnya menjadi filter, kesadaran, bagi setiap insan manusia di Indonesia. Siswa, anak, harus disadarkan dan diperkenalkan. Ruang digital harus dipakai sebaik-baiknya untuk mengenalkan dan melakukan implementasi Pancasila di Indonesia,” imbuhnya.
“Kita semua harus keluar dari lingkaran kenyamanan kita, dan peduli. Cari metodologi yang efektif agar anak-anak tidak dibebani sejarah masa lalu yang gelap, tetapi masa depan seperti fajar menyingsing. Bukan Pancasila sebagai kesalahan rezim, tetapi Pancasila sebagai inti kehidupan bangsa Indonesia,” tutupnya.
Ngatawi menyatakan bahwa niai-nilai yang diimplementasikan di Desa Bengkala harus bisa dilakukan di Indonesia.
“Nilai-nilai yang muncul disana itu nilai Pancasila: ketuhanan, kemanusiaan, gotong royong, dan keadilan. Pendidikan yang tidak membedakan mereka yang berkebutuhan khusus atau tidak, masyarakat berkebutuhan khusus mendapatkan hak yang sama, bahkan ada bahasa isyarat lokal untuk memudahkan semua masyarakat berkomunikasi. Ini nilai Pancasila, ini yang harus diajarkan kepada anak-anak,” katanya.
Idris Hemay menyampaikan bahwa yang dilakukan di Desa Bengkala adalah sebuah pemenuhan nilai Pancasila.
“Dan nilai itu adalah nilai pemenuhan keadilan sosial, terutama sila kedua dan sila kelima. Lagi, pendidikan seperti ini harus dipublikasikan sehingga seluruh bangsa Indonesia tahu dan bisa mengimplementasikannya di daerah masing-masing.”
Dan sebagai penutup, Fajar Apriani sebagai perwakilan Dinas Pendidikan Pemerintah Daerah Provinsi Bali, menyatakan bahwa sistem pendidikan yang diterapkan di Bali akan terus mendukung penanaman dan pengimplementasian Pancasila.
“Untuk juga mendukung penerapan buku teks utama pendidikan Pancasila, kami menyelenggarakan Program Nyapa Guru dan Siswa untuk sosialisasi dalam bentuk podcast, berkoordinasi untuk pembuatan media pembelajaran interaktif bagi guru Kewarganegaraan, dan melaksanakan sosialisasi secara masif di seluruh wilayah provinsi Bali,” ujarnya.