JAKARTA — Pembahasan internal perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, Mabes TNI mengajukan usulan agar prajurit aktif bisa lebih banyak menduduki jabatan di kementerian/lembaga.
Disebutkan dalam Pasal 47 Ayat 2 UU TNI bahwa prajurit aktif TNI bisa menduduki jabatan di sepuluh kementerian dan lembaga. Dalam usulan revisi UU TNI, prajurit aktif TNI diharapkan bisa duduk di 18 kementerian lembaga, ditambah kementerian lain yang membutuhkan.
Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Laksamana Muda Kresno Bintoro, Selasa (9/5/2023), mengatakan, Mabes TNI sedang menyiapkan posisi atau sikap terkait revisi UU TNI. Dikonfirmasi Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Laksamana Muda, Julius Widjojono, juga membenarkan bahwa saat ini sedang dilakukan pembahasan internal. Namun, pembahasan tersebut belum tuntas.
”Baru dibahas secara internal Babinkum (Badan Pembinaan Hukum TNI), belum ada persetujuan Panglima TNI,” kata Julius.
Usulan TNI tersebut, menurut Julius, berlandaskan kenyataan bahwa banyak prajurit aktif TNI yang memiliki wawasan tentang kepentingan nasional serta keahlian yang dibutuhkan oleh kementerian dan lembaga. Berbagai pembinaan fisik yang dialami prajurit TNI sejak muda membuat tenaganya masih bisa dimanfaatkan kementerian dan lembaga.
Ia menjelaskan bahwa kehadiran prajurit aktif itu akan memberikan kontribusi yang membuat kinerja kementerian dan lembaga lebih baik.
”Prajurit TNI aktif yang masuk kementerian/lembaga adalah mereka yang memang punya keahlian yang dibutuhkan. Jadi, tidak sekadar memasukkan prajurit aktif TNI ke jabatan-jabatan sipil,” kata Julius.
Dalam dokumen presentasi seperti yang dilansir dari Kompas, terlihat ada tambahan delapan kementerian lembaga di mana prajurit aktif bisa duduk menjabat, dari sebelumnya hanya 10 kementerian/lembaga. Prajurit aktif juga bisa masuk ke kementerian atau lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit TNI sesuai kebijakan Presiden.
Tambahan kedelapan kementerian/lembaga itu adalah Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Staf Kepresidenan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP), Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kejaksaan Agung (Kejagung), serta opsi terbuka untuk kementerian lain.
”Kalau dilihat, Pasal 47 poin 2 itu sebenarnya juga untuk menjadi landasan hukum kehadiran TNI di BNPB, BNPT, Bakamla, dan BNPP. Pasalnya, waktu UU TNI dibuat tahun 2004, badan-badan ini belum ada. Jadi tidak banyak yang baru,” kata Julius.
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf memberi respons terkait hal ini. Menurutnya, ketika revisi UU TNI memberikan lebih banyak ruang untuk TNI menduduki jabatan di instansi sipil kementerian dan lembaga, hal itu membuat Dwi Fungsi ABRI kembali lagi. Di sisi lain, menempatkan militer di luar fungsinya sebagai alat pertahanan negara juga akan memperlemah profesionalisme militer itu sendiri.
”Profesionalisme dibangun dengan cara meletakkan dia (militer) dalam fungsi aslinya sebagai alat pertahanan negara dan bukan menempatkannya dalam fungsi dan jabatan sipil lain yang bukan kompetensinya,” kata Al Araf.
Al Araf mengingatkan, di masa lalu dengan dasar doktrin Dwi Fungsi ABRI, militer di masa itu terlibat dalam politik praktis dan salah satunya dapat menduduki jabatan sipil di kementerian, DPR, dan kepala daerah. Doktor di bidang hukum ini berpendapat, perluasan jabatan dalam draf revisi UU TNI itu akan dapat membuka ruang baru bagi TNI untuk berpolitik.
”Ini jadi kemunduran jalannya reformasi dan proses demokrasi di Indonesia yang telah menempatkan militer sebagai alat pertahanan negara,” katanya.
Ia mengatakan, di negara demokrasi, fungsi dan tugas utama militer adalah sebagai alat pertahanan negara. Militer dididik, dilatih, dan dipersiapan untuk perang. Militer tidak dirancang untuk menduduki jabatan-jabatan sipil yang tanpa batas itu sebagaimana tertuang dalam draf rencana revisi UU TNI.
Menanggapi anggapan bahwa Dwi Fungsi ABRI bisa kembali lagi, Julius mengajukan pertanyaan sebaliknya.
”Apakah selama ini kehadiran TNI di lembaga dan badan itu membuat dwi fungsi kembali?” kata Julius.
Dengan spektrum ancaman juga tidak lagi secara militer, tetapi juga banyak yang nirmiliter. Julius kembali menegaskan bahwa Prajurit TNI sejak awal dilatih untuk cepat tanggap dan memiliki kedisplinan organisasi yang baik.
Ia mencontohkan seperti dalam penanganan Covid-19 yang lalu, peran aktif para prajurit TNI sangat signifikan dalam upaya penanggulangnya. Banyak juga TNI hadir di rumah sakit untuk pengobatan Covid-19, seperti di Wisma Atlet, juga dalam sosialisasi dan pelaksanaan vaksinasi.
”Ini tidak bisa dinilai sebagai Dwi Fungsi seperti zaman Orba dulu, tetapi hubungan sipil-militer yang lebih maju,” tandas Julius.