Oleh: Abdul Ghopur
Sesungguhnya, bangsa Indonesia adalah ‘konsepsi kultural’ tentang suatu komunitas yang diimajinasikan sebagai entitas dari warisan teritoral jajahan Belanda. Sedang negara Indonesia adalah ‘konsepsi politik’ tentang sebuah entitas yang tumbuh berdasarkan kesadaran politik untuk merdeka dengan meletakkan individu ke dalam kerangka kerakyatan. Dalam kerangka ini, setiap rakyat dipertautkan dengan suatu komunitas politik dalam kedudukan yang sederajat di depan hukum, dengan operasi atas prinsip kekariban dan keadilan, termasuk keadilan dan kesetaraan ekonomi (Abdul Ghopur, From Tribal To Nation, www.tribunrakyat.com, 9/1/2023).
Inilah prinsip-prinsip kebangsaan, kenegaraan serta kewarganegaraan yang harus menjadi dasar tata-kelola pemerintahan yang demokratis. Yakni pemerintahan yang mampu menegakkan kedaulatan hukum, memberikan keamanan dan keadilan bagi warga negara siang-malam. Di samping kesetaraan politik serta menegakkan keadilan, keamanan dan perlindungan hukum, membangun kesetaraan dan penguatan kapasitas ekonomi bagi individu untuk mengembangkan dirinya adalah fungsi dan tugas pokok pemerintah yang (mengaku) demokratis. Ingat, tidak cukup hanya kesetaraan politik namun kesetaran dan penguatan kapasitas ekonomi bagi tiap individu warga negara dan bangsa. Ini layak diperhatikan agar orang tidak lebih nyaman berlindung di balik warga-tribus (tribalisme, premanisme, koncoisme dan sektarianisme) ketimbang warga-negara.
Pemerintahan dan pemerintah serta aparatur negara yang demokratis tidak sibuk mengamankan kekuasaan dan dapurnya sendiri alias tidak korup. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka individu akan segera berpaling ke sumber-sumber tribus sebagai upaya menemukan rasa aman. Di sini persoalan ekonomi-politik yang objektif disublimasikan ke dalam bentrokan identitias yang subjektif. Inilah persoalan ekonomi-politik yang bersumber dari manajemen negara yang korup menyisakan kelangkaan dan ketimpangan alokasi sumberdaya di rumah tangga kebangsaan.
Keadaan di atas akan semakin parah dengan penerapan agenda-agenda ekonomi kapitalisme neoliberal sebagai penyebab terjadinya krisis ekonomi yang sangat dalam di pelbagai lini. Dimana opini dunia sedang mengarah pada upaya koreksi terhadap tatanan ekonomi-politik internasional yang didominasi oleh kekuatan pasar. Kekuatan yang sangat tidak adil dan melahirkan ketimpangan.
Munculnya wacana ekonomi kerakyatan, ekonomi konstitusi atau pun ekonomi Pancasila pada Pemilu 2009 merupakan sesuatu yang patut diapresiasi. Salah-satu yang melatarbelakanginya adalah situasi krisis ekonomi yang telah dan sedang kita hadapi saat ini. Sebagai sebuah gagasan, ekonomi kerakyatan identik dengan keberpihakan terhadap rakyat kecil, walau sepenuhnya tidak menjelaskan pengertian yang sesungguhnya. Secara historis, gagasan ekonomi kerakyatan pada mulanya dibangun dari kesadaran untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat yang terkucilkan di bawah kolonialisme. Perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat harus terus dilanjutkan dengan mengubah struktur ekonomi Indonesia dari sebuah perekonomian yang berwatak kolonial menjadi sebuah perekonomian berwatak nasional.
Sebagaimana dikemukakan Bung Karno, yang dimaksud dengan ekonomi nasional adalah sebuah perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta rakyat banyak dalam penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah air. Bung Hatta mempertegas pentingnya penyelenggaraan ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi sebagai jalan dalam mewujudkan keadilan sosial di Indonesia. Sebagaimana ditulisnya, “demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesa ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia” (Hatta, 1960).
Dari sekedar ingin merubah nasib rakyat, gagasan ini berkembang menjadi konsep dasar sistem perekonomian Indonesia yang dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan jalannya roda perekonomian. Perkataan founding fathers di atas selain meneguhkan apa yang tertulis dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 33, sangat jelas memberi petunjuk bahwa pelaksanaan agenda ekonomi kerakyatan merupakan bagian utama dari cita-cita kemerdekaan. Oleh sebab itu, pelaksanaan agenda ekonomi kerakyatan membutuhkan tuntunan dari sebuah ideologi ekonomi yang jelas berpihak pada kepentingan rakyat banyak, yang mampu mengangkat harkat dan martabat rakyat dengan jalan kesejahteraan. Bukan ideologi ekonomi yang menyerahkan urusan publik dan kesejahteraan rakyat pada budi baik investor asing dan segelintir pemilik modal.
Pelaksanaan ekonomi kerakyatan membutuhkan komitmen yang kuat untuk melepaskan diri dari ketergantungan ekonomi pada pihak luar dan membangun kemandirian dalam memenuhi kebutuhan sendiri. Dalam rangka itu, agar reformasi sosial melalui penyelenggaraan demokrasi ekonomi tidak hanya berhenti pada tingkat konsep, sejumlah agenda kongkret harus segera diangkat ke permukaan. Dalam garis besarnya terdapat beberapa operasionalisasi praktek demokrasi ekonomi yang perlu mendapat perhatian. Rekomendasi ini adalah inti politik demokrasi ekonomi dan merupakan titik masuk untuk menyelenggarakan demokrasi ekonomi dalam jangka panjang.
Yakni pertama, penghapusan utang luar negeri lama yang tergolong sebagai utang najis atau utang kriminal, dan penghentian pembuatan utang luar negeri baru untuk mengurangi tekanan terhadap neraca pembayaran dan untuk menggerakkan roda perekonomian nasional. Kedua, peningkatan disiplin pengelolaan keuangan negara dengan tujuan untuk memerangi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam segala dimensi dan bentuknya. Ketiga, penciptaan lingkungan berusaha yang kondusif terutama untuk menjamin terselenggaranya mekanisme alokasi secara berkepastian dan berkeadilan. Keempat, peningkatan alokasi sumber-sumber penerimaan negara dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Kelima, pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasar para pekerja serta peningkatan partisipasi para pekerja dalam penyelenggaraan perusahaan. Keenam, pembatasan penguasaan lahan dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada para petani penggarap. Ketujuh, pembaharuan Undang-Undang Koperasi dan pembentukan koperasi-koperasi sejati dalam berbagai bidang usaha dan kegiatan. Kedelapan, pengalokasian hak penguasaan hutan (HPH) untuk rakyat. Kesembilan, optimalisasi peranan negara dalam pengelolaan aset strategis dan cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Kesepuluh, mengoptimalkan fungsi intermediasi dan redistribusi perbankan nasional dan memberdayakan lembaga-lembaga pembiayaan alternatif (keuangan mikro). Kesebelas, rekonstruksi (re-set up) kerangka makro dan indikator-indikator kemajuan riil rakyat Indonesia yang sesuai dengan kerangka demokrasi ekonomi.
Sebelas langkah kongkret di atas adalah perwujudan dari penghormatan hak asasi manusia, penegakkan supremasi hukum, dan memastikan proses demokrasi politik dan ekonomi yang memungkinkan bagi terciptanya partisipasi masyarakat secara luas dalam menentukan nasib mereka sendiri. Ini hanya dapat dicapai dengan mengubah struktur dasar dari mental, pola piker serta tata-kelola pemerintahan yang bergerak maju ke arah pemerintahan yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (yang asli). Perubahan mendasar tidak hanya dari sistem kekuasaan dan hukum, tetapi juga budaya dari masyarakat itu sendiri!
Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Waljama’ah (ASWAJA),
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB);
Inisiator Yayasan Kedai Ide Pancasila (menulis banyak buku dan artikel)
Disclaimer: (makalah ini merupakan pendapat peribadi, orang lain dapat saja berpendapat berbeda).