Jakarta – Hubungan Antar Agama dan Kemasyarakatan Paroki Serpong Santa Monika mengadakan dialog dengan tema “Menuju Pribadi 100% Katolik 100% Indonesia Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Bersama” di Aula Lantai 8 Atmajaya BSD, Tangerang Selatan, Sabtu (26/08/2023).
Hadir dalam acara tersebut sebagai narasumber, Antonius Suryadi (Ketua Komisi Hubungan Antar Agama dan Kemasyarakatan Keuskupan Agung Jakarta), Antonius Benny Susetyo (Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP), dan Mahatma Chrysna (Manajer Riset Strategis Litbang Kompas), dengan moderator Andreas Maryoto (Wartawan Senior Harian KOMPAS). Acara ini diikuti oleh kurang lebih 100 orang.
Benny, sapaan akrab Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP tersebut, mmemaparkan, jika ingin Indonesia menjadi negara maju, masyarakat harus menyadari Indonesia harus kuat dan berdaulat dahulu.
“Kalau kita mau menjadi negara maju, visi Indonesia yang ditegaskan Soekarno untuk menjadi berdaulat. Kalau kita tidak kuat, tidak memiliki kepribadian dan kompetisi di persaingan global, ya kita jadi tertinggal. Bagaimana kita untuk menjadi kuat? Demokrasi harus baik, dan pemimpinnya bisa merawat keragaman. Kalau tidak, kita bisa seperti negara-negara di Arab, atau Afrika, yang bertikai satu sama lain,” jelasnya lagi.
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP menyuarakan agar masyarakat menjadi masyarakat yang cerdas.
“Masyarakat harus cerdas dalam memilih. Demokrasi mampu membawa keberhasilan kalau sadar mencari pemimpin yang rekam jejaknya bagus, prestasinya bagus saat memimpin, bukan mengekor saja, dan pemimpin yang memiliki kedekatan dengan rakyat dan mampu menjaga keragaman dan kemajemukan. Peimpin itu harus bisa memelihara Pancasila. Itu yang harusnya dipilih,” tegasnya.
Dia pun meneruskan bahwa Pancasila harus menjadi ideolog bangsa.
“Ideologi bangsa artinya ideologi hidup, terwujud dalam gotong royong, kerja sama, misalnya, sehingga Pancasila menjadi jiwa bangsa ini. Karena dengan begitu, tidak terjadi bentrokan atau perbedaan tajam, dan dapat membangun persaudaraan sejati; Pancasila juga menjadi ideologi yang bekerja. Ideologi hidup dan ideologi bekerja, itu aktualisasi Pancasila bagi Indonesia,” tuturnya.
“Pancasila ini juga tercermin di pemimpinnya: pemimpin harus punya nilai keuatamaan, arate. Bijaksana, tulus, berani, memiliki karakter, memiliki kebijaksanaan dan jiwa kemanusiaan serta totalitas untuk rakyat. Pemimpin harus punya, bukan hanya pengetahuan, tetapi etos, semangat kerja dan optimisme, serta dekat dengan rakyat,” katanya.
Pakar komunikasi politik ini juga mengajak peserta untuk menyebarkan pengetahuan menjadi pemilih yang cerdas ini kepada khayalak luas.
“Pakai media sosial, rebut ruang-ruang publik. Edukasi semua untuk memiliki literasi kebangsaan, kecerdasan dan penggunaan media. Kalau tidak, kita mudah dipengaruhi oleh hoaks dan persepsi. Kita jadi berpikir satu dimensi saja.”
Benny menyasar pada beberapa sebutan yang bersifat degradasi kepada orang-orang, dan diutarakan sebagai sebuah kritik.
“Coba, panggilan petugas partai. Lah, semua orang yang masuk partai dan punya partai pasti petugas partai, kepentingannya ke partai ada. Orang pun lupa bahwa pemimpin itu harusnya menjadi pelayan, menjadi ‘petugas’, karena esensialnya pemimpin adalah melayani siapapun yang dipimpinnya. Itu demokrasi,” imbuhnya.
“Orang-orang yang menyatakan mengkritisi, tapi tanpa argumen, malah nyinyir. Kritik itu seharusnya membawa perubahan dan memberi solusi, bukan menjelekkan saja.”
Di penghujung acara, budayawan itu menegaskan kembali bahwa masyarakat harus menjadi pemilih yang cerdas dan kritis.
“Kalau kita gagal, tidak jadi cerdas dan kritis dan memilih tanpa melihat-lihat dahulu, ya kita gagal. Harapan saya, jadilah pemilih yang kritis, dan rebut ruang publik untuk menyebarkan kekritisan dan kecerdasan tersebut. Terkhusus untuk tahun pemilu 2024 besok: Pilihlah pemimpin, baik daerah maupun pusat, yang dosanya paling kecil,” tutupnya.