Sistem politik Indonesia pasca-Reformasi tak melarang anak atau menantu dari seorang presiden, menteri, kepala daerah, atau politikus untuk mengikuti jejak langkah orangtuanya. Namun, apakah itu sesuai tujuan reformasi?
Dalam filosofi Jawa ada nasihat bagi para penguasa yang berbunyi, ”kuoso nggendong lali” (kuasa memanggul lupa). Inti ajaran tersebut adalah ”ketika kekuasaan didapat, maka kekuasaan yang dimiliki bisa membuat yang berkuasa menjadi lupa”.
Lupa dalam hal ini bisa lupa asal- usul, lupa teman, lupa keluarga, lupa kolega, lupa pada proses awal kekuasaan didapat, lupa pada kegunaan kekuasaan itu untuk apa, lupa pada hakikat kekuasaan bermakna untuk apa. Bisa juga lupa cara berterima kasih. Lupa menempatkan diri dan lupa pada sangkan paraning dumadi (manusia asalnya dari mana dan akan kembali ke mana).
Ajaran filsafat Jawa tersebut masih relevan hingga saat ini karena para penguasa negeri yang bernama Indonesia ini sering lupa bahwa dalam konsepsi Indonesia modern, Indonesia berbentuk republik dan bukan kerajaan.
Jika pada diri seorang raja, khususnya yang memiliki kekuasaan absolut, berlaku the king can do no wrong (raja tidak berbuat salah), maka dalam sistem presidensial, kekuasaan seorang presiden dibatasi oleh undang-undang dasar, undang-undang, ataupun peraturan lainnya. Presiden tidak dalam posisi the president can do no wrong.
Menurut konsepsi kekuasaan dalam kebudayaan Jawa (The Idea of Power in Javanese Culture, Ben Anderson), kekuasaan didapat dari Tuhan melalui wahyu. Kekuasaan itu nyata, tunggal, tetap, dan tak terbagi-bagi. Ada kesatuan antara rakyat dan penguasa (manunggaling kawula gusti).
Salah satu tujuan reformasi adalah mencegah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tumbuh dan berkembang kembali seperti pada era Orde Baru.
Sebaliknya, pada gagasan kekuasaan dalam Indonesia modern, yang berlaku adalah bahwa kekuasaan itu abstrak. Kekuasaan didapat karena ada interaksi sosial antara rakyat dan penguasa.
Pengajar mata kuliah Sistem Politik Indonesia Lama di FISIP Universitas Indonesia akhir 1970-an, Soemarsaid Moertono, mengajarkan kepada kami, mahasiswanya, bahwa kekuasaan pada kebudayaan Jawa itu amatlah magis-religius. Konsepsi kekuasaan berasal dari Tuhan membenarkan dan memperkokoh kuasa raja dan mempertegas posisi raja dalam berhadapan dengan rakyat.
Pada konsepsi Indonesia baru/modern, kekuasaan itu terbagi-bagi antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jadi, ada check and balances antara eksekutif dan legislatif serta kekuasaan yudikatif yang menjaga tatanan kekuasaan di negeri ini. Persamaan pada dua konsepsi ini (Jawa dan Indonesia Baru) adalah bahwa seorang penguasa haruslah bijaksana dalam membuat keputusan.
Pengambilan keputusan tidaklah atas dasar sabda pandita ratu (ucapan penguasa adalah hukum), tertutup, terbatas, dan atas dasar bisikan-bisikan terhadap penguasa seperti pada konsepsi court-politics dalam sistem di Eropa sebelum masa pencerahan.
Semua kebijakan harus sesuai dengan aturan hukum yang ada.
Yudisialisasi politik
Calon hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru saja terpilih di Komisi III DPR, Arsul Sani, menegaskan, betapa pedulinya ia pada kecenderungan MK yang terlalu jauh melakukan judicialization of politics (yudisialisasi politik) dengan cara mengambil kewenangan rumpun kekuasaan lain seperti legislatif. Kecenderungan itu telah terjadi dalam lima tahun terakhir (Kompas, 27/9/2023).
Kini MK juga sedang mendapatkan tekanan politik dari berbagai kekuatan politik agar mengubah batas usia calon presiden/calon wakil presiden (capres/ cawapres) dari 40 tahun menjadi 35 tahun. Politisasi MK atau yudisialisasi politik MK ini juga ditentang oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, yang juga pernah menjadi hakim MK. Bagi Mahfud, itu adalah ranah DPR dan pemerintah, bukan ranah MK.
Perubahan batas usia itu akan menentukan putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, dapat menjadi cawapres dari capres Prabowo Subianto.
Ajakan agar Gibran mau menjadi cawapres Prabowo juga datang dari Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra.
Yusril adalah saksi mata lengsernya Presiden Soeharto. Ia mantan Menteri Sekretaris Negara, dan juga mantan asisten Prof Osman Raliby pada mata kuliah Studia Politika di FISIP UI. Jadi, sejatinya Yusril paham mengapa banyak tekanan politik pada Presiden Soeharto sejak 11 Maret 1998 sampai lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
MK adalah institusi yang dibentuk pasca-Reformasi. Tugas utamanya adalah mengkaji (review) apakah undang-undang yang dibuat DPR dan pemerintah bertentangan dengan undang-undang dasar atau tidak. MK juga bertugas mengadili sengketa pemilu jika ada keberatan dari para peserta pemilihan umum, baik pada pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah, maupun pemilihan legislatif. MK adalah palang pintu terakhir yang menjaga agar tidak ada pasal di dalam sebuah undang-undang yang akan merusak jalannya demokrasi kita.
MK adalah palang pintu terakhir yang menjaga agar tidak ada pasal di dalam sebuah undang-undang yang akan merusak jalannya demokrasi kita.
Mencegah KKN
Salah satu tujuan reformasi adalah mencegah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tumbuh dan berkembang kembali seperti pada era Orde Baru.
Sistem politik Indonesia pasca-Reformasi tak melarang anak atau menantu dari seorang presiden, menteri, kepala daerah, atau politikus untuk mengikuti jejak langkah orangtuanya asalkan tak melanggar hukum yang berlaku.
Saat ini ada indikasi adanya kekuatan- kekuatan politik atau bahkan penguasa yang berusaha sekuat tenaga agar MK cepat mengeluarkan fatwa mengenai perubahan batas usia capres/cawapres tersebut. Jika ini terjadi, kekuatan-kekuatan politik itu bisa dianggap menumbuhsuburkan KKN kembali untuk membangun dinasti politik.
Kalau ini terjadi, ini sama saja dengan memutar langkah politik menjauh dari demokrasi yang sedang kita bangun. Padahal, sejak Mei 1998 kita sepakat bahwa langkah menuju demokrasi kita sudah sampai pada the point of no return.
Pemilu serentak 2024 adalah pemilu ke-13 sejak Republik Indonesia berdiri atau pemilu keenam sejak Reformasi.
Dalam kalkulasi Lemhannas, kita akan menjadi negara dengan demokrasi yang mapan setelah pemilu kesembilan pasca-Reformasi. Ini berarti bahwa tinggal tiga kali pemilu lagi, sistem demokrasi yang mapan tersebut akan tercapai, yakni pada Pemilu 2029, Pemilu 2034, dan Pemilu 2039.
”Soft-landing”
Banyak hasil yang telah dicapai oleh Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Pembangunan infrastruktur dari Sabang sampai ke Merauke, dari Miangas sampai ke Pulau Rote, telah dijalankan dengan baik. Legasi ini akan semakin terasa secara politik jika Presiden Joko Widodo mengakhiri jabatannya pada 20 Oktober 2024 secara soft-landing.
Jika Presiden Jokowi atau para pendukungnya memaksakan agar Gibran menjadi cawapres, itu bukan saja pengarbitan politik dan bukan akselerasi regenerasi kepemimpinan nasional, melainkan juga bisa dituduh telah melakukan nepotisme dan dinasti politik melalui rekayasa hukum dan politik.
Selama ini Gibran selalu mengatakan dirinya masih belum siap dan masih belajar untuk menjadi pemimpin, melalui posisinya sebagai Wali Kota Surakarta. Dia harus berani mengatakan tidak pada proses pemaksaan politik yang kini sedang direkayasa tersebut.
Jika tidak, Presiden Jokowi akan dipandang sebagai ”penguasa yang lupa pada dedication of life wasiat Bung Karno” bahwa dirinya akan menggunakan kekuasaannya untuk kemajuan bangsa dan negaranya, bukan untuk keuntungan kelompoknya, apalagi kepentingan politik dan ekonomi keluarganya.
Predikat Jokowi sebagai kader terbaik dari PDI-P juga akan sirna dengan sendirinya.
Bagi Gibran sendiri, lebih baik pematangan politiknya berjalan secara alamiah walau harus menunggu lima tahun lagi. Jika ia tergiur pada tawaran politik untuk jadi cawapres (siapa pun) dalam Pemilu 2024, berarti dia telah lancung ke ujian dan sulit bagi dirinya untuk dipercaya lagi oleh rakyat Indonesia.
Oleh : Ikrar Nusa Bhakti, Tenaga Profesional Bidang Politik Lemhannas RI