Jakarta – Pengamat Politik dari Universitas Pelita Harapan, DR. Emrus Sihombing berpendapat, posisi Anis Baswedan Calon Presiden (Capres) dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem), saat ini, berada di ujung tanduk atau bisa tidak jadi maju sebagai Capres. Hal ini mengacu kepada pendapat Mantan Ketua Umum Nasdem, Rio Capella, kondisi partai koalisi pendukung Anis sebagian bermasalah. Rio mengibaratkan memasak menggunakan tiga tungku atau kompor dimana salah dua kompornya bermasalah maka masakan tidak akan matang.
Demikian disampaikan dalam acara diskusi Titik Temu yang diselenggarakan Rumah Kebudayaan Nusantara (RKN) Media di Jakarta, Sabtu (7/9). Acara yang dipandu Hardy Hermawan juga menghadirkan Danang Widoyoko dari Transparasi Internasional Indonesia, selain Emrus dan Rio Capella.
Dalam pengamatan Emrus, ada kemungkinan PKB melakukan evaluasi juga. “Kita lihat sekarang, kan, kader partai Nasdem itu ada dua tingkat menteri yang sedang berurusan dengan hukum,kasus korupsi. Ada yang sudah tersangka. Ada yang, sebetulnya, sudah tersangka. Nah bagaimanapun persepsi publik terhadap partai itu pasti tidak baik. Bisa jadi PKB pindah koalisi, ” kata Emrus.
Menurut Rio, peristiwa tertangkapnya menteri dari NasDem seperti pada Syahrul Yasin Limpo tidaklah mengagetkan. Sebab partai pasti sudah tau apa yang dilakukan kadernya. Itu sebab dian ditunjuk jadi menteri. Ada kepentingan partai dalam penunjukan tersebut.
“Kalau kita baca media, itu kan ada tiga klaster dalam kasus Yasin Limpo ini. Yaitu pemerasan dalam jabatan, penerimaan gratifikasi, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Degan pengalaman dia pernah sebagai bupati, gubernur sampai menteri seharusnya tau permainan ini. Jadi kalau kemudian sekarang main bagaimana dengan masa lalu? Bisa dikatakan, dia sudah pengalaman,” jelas Rio Capella.
Dengan adanya jual beli jabatan, menurut Rio, menandakan dalam kementerian itu tidak ada sistem yang memberikan kesempatan para aparatur sipil negara (ASN) untuk menunjukkan karirnya, menunjukkan prestasinya untuk dinilai pantas menduduki jabatan-jabatan tertentu. Akibatnya, mana yang sektor lebih besar, diangkatlah menduduki sebuah jabatan “basah” dan sebagainya. Cara yang dilakukan Limpo merusak sistem.
“Sistem dalam partai pun juga menjadi pertanyaan. Syahrul ini tiba-tiba masuk Nasdem, berapa bulan langsung ditunjuk jadi menteri. Dia tidak pernah merasakan bagaimana roh atau benang merah bikin partai enak. Bikin partai ini tujuan apa,itu, kan, tidak dia alami,” kata Rio.
Sementara menurut Danang Widoyoko, kasus korupsi seperti terjadi pada Syahrul Limpo ini merupakan persoalan klasik di Indonesia. Seharusnya ini menjadi pekerjaan rumah (PR) semua orang. Tapi semua itu belum akan selesai, terutama pada politisi karena terkait pendanaan partai politik. Karena partai dibiayai oleh kader maka tidak mengherankan jika kader kemudian cari uang dengan caranya. Terutama pada jabatan-jabatan yang cukup tinggi seperti menteri yang kemudian menjadi sumber pendanaan atau sumber kegiatan.
“Selama ini kan “image”-nya, seperti di NasDem dibiayai oleh pemiliknya. Oleh Bang Surya Paloh, dikenal sebagai pengusaha yang sangat kaya-raya sehingga kemudian cukup uang mendanai banyak kegiatan partai. Tetapi dari cerita Bang Rio dan kasus menterinya orang pun meyakini, sebetulnya, sebagian pendanaan itu di support oleh para kadernya yang menduduki tempat-tempat strategi. Nah ini yang saya kira menjadi PR baik kita semua sepanjang sebagian pendanaan partai tidak dibenahi. Jadi usulan negara harus mendanai parpol harus didukung. Tapi anehnya Nadem justru menolak. Boleh jadi karena takut diaudit,” kata Danang yang pernah mencermati partai-partai di Jerman.
“Begitu didanai negara sepenuhnya bohirnya kehilangan peran karena pejabat negaranya harus diperiksa terus,” tambahnya.