Jakarta – Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo, menyatakan bahwa Pancasila adalah jawaban dari semua permasalahan yang terjadi di Indonesia.
Hal itu dia ungkapkan dalam acara Peluncuran dan Bedah Buku ‘Iman Dalam Tantangan’ Karya Franz Magnis-Suseno, di Kompas Institute, hari Jumat (27/10/2023). Hadir dalam acara ini, Franz Magnis-Suseno sebagai penulis, dengan pembicara-pembicara yaitu Fitzgerald Kennedy Sitorus (ahli filsafat dan pengajar), Maria Margaretha Hartiningwih (Wartawan Senior Harian Kompas), Feby Indirani (penulis dan sastrawan), serta Bhikkhu Dhammasubho Mahāthera.
Benny, sapaan akrabnya, menyatakan bahwa buku ‘Iman Dalam Tantangan’ ini mempertanyakan sesuatu yang penting.
“Romo Magnis membuka hati kita semua, para pembaca, kepada orang-orang, untuk memiliki kesadaran: ‘saya ada dimana?’. Buku ini secara reflektif betul mempertanyakan eksitensi kita di dunia ini,” tuturnya.
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP ini pun menyampaikan bahwa buku ini memberikan juga tantangan bagi pembaca.
“Kita ditantang, bukan hanya sekedar mencari eksistensi diri dan menyatakan bahwa ‘Kita ada disini’, tetapi kita harus juga bisa menyatakan, ‘kita berbuat apa’.”
Menurutnya, hal ini juga menjawab pertanyaan relevansi Pancasila di kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
“Ada beberapa tantangan di dunia ini yang disampaikan dalam buku, contohnya demokrasi, kapitalisme, Artificial Intellegence (AI), fundamentalisme. Saya pikir, Pancasila adalah jawaban menghadapi tantangan-tantangan ini,” jawabnya.
Pakar komunikasi politik ini meneruskan bahwa selanjutnya pertanyaan adalah bagaimana Pancasila benar bisa menjawab tantangan-tantangan ini.
“Pancasila tidak bisa lagi hanya ada diatas sana, menjadi sebuah hafalan, hanya mengatur norma-norma tertulis dan yuridis. Kita tidak bisa lagi memperlakukan Pancasila sebagai hafalan seperti dahulu, ada P4 dengan semua butir-butirnya; Pancasila tidak bisa lagi menjadi dogmatis.”
“Pancasila harus menjadi acuan moralitas publik Indonesia, bukan lagi acuan moralitas pribadi dan personal. Bagaimana, kemudian, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial, benar dilakukan oleh bangsa Indonesia, dan tersebut sekaligus menjawab tantangan-tantangan yang disampaikan di buku ini,” jelasnya.
Dia pun menyerukan bahwa buku ini seharusnya juga dibaca oleh para elit politik.
“Selain teman-teman disini, para elit politik harusnya membaca buku ini, supaya mereka memiliki hati yang terbuka agar Pancasila benar bisa dan mampu membangun peradaban. Elit politik dapat kemudian mendorong bahwa Pancasila bukan hanya sekedar hafalan, tetapi menjadi nafas dan tata cara kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.”
Benny pun menutup pernyataannya dengan sebuah seruan.
“Pancasila tidak lagi sebagai sesuatu yang normatif, hafalan, dogmatif. Jika terus seperti ini, Pancasila jadinya tidak memiliki arti lagi. Pancasila harus menjadi ideologi hidup dan ideologi yang bekerja, sehingga semua lapisan masyarakat, bahkan generasi milenial dan generasi Z, bisa mewujudkan Pancasila, dan Pancasila menjadi jawaban dari permasalahan Indonesia,” tutupnya.