Akhir-akhir ini muncul lagi dikotomi tua-muda, padahal setelah tumbangnua Orde Baru Suharto, istilah dikotomi itu sepertinya hilang dari analisa sosial-politik dan ekonomi. Pendekatan dikotomis itu terasa usang.
Pada zaman Orde Baru, pendekatan dikotomis sering digunakan dalam melihat fenomena politik – ekonomi. Dan apa saja yang menjadi gejala dalam masyarakat. Misalnya pendekatan civil-militer, ekonomi tradisional versus modern. Generasi tua dan muda. Pendeknya pendekatan dikotomis itu sesuatu yang lumrah dan populer pada masa Orde Baru.
Setelah reformasi istilah dikotomi itu seperti hilang dalam kosa kata politik. Pendekatan dikotomis sudah tidak laku dan salah.
Sekarang dengan munculnya dua anak muda, Kaesang Pangarep dan Gibran Rakabumi Raka, istilah dikotomi itu muncul kembali. Tentu saja dalam percaturan politik kekinian. Munculnya dua anak presiden yang memotong proses dalam jenjang politik membuat istilahi dikotomi terangkat lagi.
Ada kaum muda, generasi milenial dan generasi Z dihadapkan dengan generasi tua, generasi kolonial. Generasi kolonial itu sebagai olok-olok orang yang hidup pada zaman kolonial. Menandakan usia tua. Pada zaman kolonial saja sudah dewasa, artinya tergambar berapa usianya sekarang.
Generasi muda yang berkiprah tanpa melalui proses dari bawah dilakukan oleh dua putra presiden Jokowi itu dipahami sebagai representasi anak muda, yang menggunakan cara lama, cara yang sudah tua dan tidak berlaku dipakai lagi. Dengan cara memotong proses justru direpresentasikan anak muda yang berkarier dengan cara-cara orang tua. Karier yang tidak dimulai dari bawah tetapi langsung menjadi pucuk pimpinan partai politik. Kaesang Pangarep dinilai orang muda yang menggunakan cara orang tua.
Karena lahir sebagai anak presiden, maka hanya dua hari jadi anggota partai, keesok harinya ditunjuk sebagai pimpinan partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Begitu juga Gibran Rakabumi Raka, yang heboh karena keputusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan orang berusia kurang dari 40 tahun, asal aktif menjadi kepala daerah, boleh saja menjadi calon wakil presiden.
Mahkamah Konstitusi yang menyidangkan norma, bukan sidang perkara sengketa tetapi keputusannya tetap dianggap melanggar nilai kepatutan.
Maka sebagai sangsinya. hakim mahkamah konstitusi, Anwar Usman diberhentikan sebagai hakim ketua MK yang diputus oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Diberhentikannya Anwar Usman, paman dari Gibran Rakabumi Raka, dinilai memiliki konflik of interes. (konflik kepentingan).
Fenomena munculnya Gibran dan Kaesang dalam politik di Indonesia, dinilai oleh para pakar politik sebagai anak muda yang menggunakan cara-cara orang tua.
Kemunculan dua anak Jokowi itu, tidak memberikan contoh yang baik, justru membuat frustasi di kalangan orang-orang muda. Pasalnya kalau orang biasa harus berkarier dari bawah, dengan jenjang waktu yang panjang, hal itu tidak berlaku pada Gibran dan Kaesang. Munculnya kakak-beradik itu tidak lewat jalur umum tapi lewat jalur sebagai anak presiden yang mempunyai fasilitas dan kuasa.
Walaupun keputusan MK yang memberi jalan pencalonan Gibran dianggap tindakan yang melanggar etik berat, tetapi MKMK tidak bisa merubah keputusan MK.
Walaupun meloloskan Gibran dianggap melanggar etika publik.
Pro dan kontra kasus Gibran dan Kaesang Pangarep, merupakan gejala politik orang tua, kuno dan usang.
Dikotomi tua-muda sebagai istilah yang tidak mengandung beban, kini muncul lagi sebagai sebuah dikotomi negatif.
Ada guyonan, siapa yang tega melakukan pemerkosaan terhadap istilah dikotomis. Apa salahnya dikotomis hingga menjadi istilah yang negatif. Kalau istilah dikotomi teraniaya, apakah istilah dikotomi bisa diganti dengan istilah lain, indomie, misalnya.
Kelakar seperti itu muncul dengan adanya dua orang muda penjual martabak dan penjual pisang anak presiden Republik Indonesia.
Semoga kemunculan Gibran dan Kaesang Pangarep tidak menjadi fenomena negatif. Negatif karena menjalani karier politik tidak dari bawah. Menjadikan proses berpolitik tidak menarik dan sia-sia bagi generasi muda.
Penulis : Isti Nugroho