Menurut Ir. Sri Mulyono wayang laksana sumber air yang ditimbang tak ada keringnya. Umur manusia terlalu pendek untuk mempelajari dan mendalami wayang secara keseluruhan. Wayang bisa berlaku sebagai cermin bagi manusia. Yang dilihat bukan semata-mata kaca cerminya tetapi karakter manusia dan kejiwaannya.
Di dalam buku wayang dan karakter manusia, kita bisa mempelajari manusia sebagaimana yang terjadi pada kehidupan wayang.
Dalang memang sudah mengerti arah dari kehidupan tokoh wayang. Siapa yang akan menjadi raja Amarta atau siapa yang akan menjadi raja Astina Pura. Sebelum dalang melakonkan cerita wayang, dalang tersebut sudah tahu awal dan akhir ceritanya.
Berbeda dengan pilihan presiden di Indonesia. Siapa yang tahu, bakal terpilih sebagai presiden dan wakil presiden 2024. Walaupun beberapa lembaga survei mengunggulkan pasangan Prabowo – Gibran, tapi para pendukung AMIN percaya bahwa jagoannya akan memenangkan satu putaran. Itulah absurditas sebagai pendukung fanatik. Keyakinannya melebihi keyakinannya pada agama yang dipeluknya.
Siapa yang akan menjadi Betara Guru dalam Pilpres 2024 adalah pertanyaan yang saya analogikan dengan cerita wayang.
Betara Guru, penguasa kayangan junggring Saloka, penguasa jagat maya dan penguasa dunia siluman, menjadi penguasa karena “cawe-cawe” ayahnya Sang Hyang Tunggal.
Putra Sang Hyang Tunggal , tiga orang. Pertama bernama Antaga, kedua bernama Ismaya yang bungsu bernama Manikmaya.
Antaga sebagai putra sulung merasa dialah yang berhak memimpin dunia para dewa. Karena sebagai pribadi yang tegas juga bijaksana. Pemimpin harus punya sikap tegas dan bijaksana, serta adil para marta. Dan punya kehendak kuat dan berusaha sangat keras memakmurkan rakyatnya.
Hanya Antaga yang memiliki sifat-sifat seperti itu. Kedua adiknya dinilainya tidak mempunyai sikap dan keahlian menyejahterakan rakyatnya.
Penilaian Antaga, tentu saja disangkal oleh kedua adiknya, Manikmaya dan Ismaya. Dua orang itulah yang lebih pantas memimpin kayangan, dunianya para dewa.
Dari pada tiga bersaudara berebut kekuasaan, maka Batara Sang Hyang Tunggal, ikut cawe-cawe agar suksesi berjalan lancar.
Dibuatlah sayembara, siapa yang bisa menelan gunung Mahasamun, itulah yang akan memimpin tiga dunia. Dunia para dewa, manusia dan dunia siluman.
Setelah sayembara digelar, Antaga dan Ismaya berebut menelan gunung Mahasamun, namun keduanya celaka. Mulut kedua kakak beradik itu robek. Walaupun Astaga mulutnya lebih lebar dari pada mulut Ismaya. Keduanya dinyatakan gagal. Karena Antaga dan Ismaya, setelah menelan gunung Mahasemu itu berubah wujud. Yang pada mulanya seorang laki-laki gagah dan tampan, jadi manusia yang buruk rupa. Tinggi Antaga menjadi tidak normal. Dengan badan pendek, mata melotot dan mulut ndower, Antaga berubah badannya, begitu juga Ismaya.
Dengan kerakusan Antaga dan Ismaya menelan gunung, maka Sang Hyang Tunggal memerintahkan Antaga turun ke bumi, untuk menemani manusia yang memiliki hati serakah. Antaga ditugasi menyadarkan manusia jahat kembali baik. Setelah ditugaskan di dunia, oleh ayahnya Antaga diganti namanya menjadi Togog Tejomantri.
Sedang Ismaya diganti menjadi Semar Badranaya. Togog dan Semar turun ke bumi untuk menjaga keseimbangan antara yang baik dan yang buruk.
Togog menjaga para raksasa, buta yang punya watak serakah, rakus dan suka membuat kekacauan. Semar menjaga para kesatria, yang menyukai hidup harmonis. Tenang dan tentram.
Setelah Ismaya dan Antaga turun ke bumi, Manikmaya dinobatkan oleh Sang Hyang Tunggal memimpin kerajaan para dewa, manusia dan makhluk yang tidak kasad mata. Tugas Manikmaya memimpin tiga dunia tersebut. Oleh Sang Hyang Tunggal Manikmaya diganti namanya menjadi Batara Guru.
Dari tiga Capres di Indonesia, siapa yang bakal menang? Apakah Prabowo Gibran bisa dipersepsikan sebagai Batara Guru. Atau pasangan Gama atau Amin yang kelak menjadi Batara Guru.
Setelah kedua kandidat lainnya tidak dibantu oleh tangan Jokowi, bisakah mereka bisa memenangkan kompetisi pilpres.
Kalau kekuasaan yang nyata dari Jokowi masih kuat, dan masih memiliki ligitimasi yang kuat, bakal sangat mudah memenangkan jagoannya. Pengaruh
pemerintahannya masih sampai pada bulan Oktober, maka sumber daya dan dananya masih efektif digunakan.
Tidak heran kalau cawe-cawe Jokowi untuk kemenangan putranya Gibran Rabumi Raka, menjadi Cawapresnya Prabowo Subianto, terasa dalam kehidupan politik akhir – – akhir ini. Pasangan Prabowo – Gibran, akan menguasai darat, laut dan udara kalau menang.
Pasangan Probowo dan Gibran akan menjadi Betara Guru. Tentu saja kalau analogi dunia pewayangan ini terkoneksi dengan dunia manusia yang hidup di Indonesia. Wayang dan karakter manusia bisa menjadi potret diri dalam kehidupan manusia.
Perbedaannya dalam dunia pewayangan, ceritanya sudah kita ketehui. Perjalanannya menjadi penuntun manusia. Agar sebagai manusia yang baik, kita bisa berkaca pada tokoh-tokoh wayang.
Kata cawe-cawe, sekarang dalam dunia politik di Indonesia, betul-betul dirasakannya memihak satu pasangan, yakni Prabowo – Gibran. Terlihat di Pematang Siantar, poster Ganjar Pronowo diturunkan. Kenapa? Sedang poster atau baliho Kaesang Pangarep bersama Jokowi banyak terpasang di jalan-jalan ibukota.
Obyektifitas dipertanyakan dalam pemilu yang judir. Jujur dan adil. Sepertinya jalannya pemilu akan baik, terselenggara dengan lancar, tetapi kalau kelak yang menang bukan jagoannya presiden, maka kerusuhan terbayang di depan mata.
Kita tidak ingin rakyat rugi dalam hajatan lima tahunan. Rakyat tidak mau diadu dan menjadi pihak yang merugi dalam hajatan itu. Rakyat ingin hidup tenang, ada makan dan mendapatkan suasana sejuk. Terserah siapa yang menjadi Betara Guru dalam pilihan presiden 2024.
Penulis : Isti Nugroho