Surabaya – Beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami dinamika yang mengkhawatirkan terkait kondisi demokrasinya. Fenomena-fenomena seperti peningkatan otoritarianisme, minimnya penegakan hak asasi manusia, dan rendahnya kebebasan berpendapat menjadi sorotan utama. Dalam konteks ini, kekhawatiran muncul khususnya terhadap lemahnya pengawasan terhadap institusi-institusi demokrasi, dan kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi semakin membuktikan terjadinya regresi demokrasi di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan Salah satu fenomena kontroversial keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan terkait batas usia Capres dan Cawapres di bawah 40 tahun.
Pengabulan gugatan tersebut menimbulkan perdebatan intens di masyarakat tentang implikasi keputusan tersebut terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Dalam upaya memahami dan mengatasi tantangan ini, Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, mengambil langkah proaktif dengan menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Regresi Demokrasi di Indonesia?”. Kegiatan yang diselenggarakan pada Kamis 23 November 2023 di Fakultas Ilmu Politik Universitas Airlangga ini bertujuan untuk menyusun pandangan komprehensif dan berkelanjutan mengenai permasalahan yang sedang dihadapi demokrasi di tanah air, dengan fokus pada aspek-aspek hukum dan kebijakan.
Sebagai pembicara dalam seminar ini, Staff Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo. Dalam paparannya menggambarkan kondisi demokrasi Indonesia sebagai sedang dalam situasi “dibajak.” Benny menyoroti perubahan dramatis dalam moralitas publik dan etika sejak kasus Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, demokrasi telah menjadi alat semata-mata untuk memuluskan jalan segelintir orang ke tampuk kekuasaan.
“Dalam proses tersebut, demokrasi dianggap telah diingkari. Etika dan nurani, yang seharusnya menjadi kepatuhan bersama dalam proses berbangsa dan bernegara, kini tidak lagi diutamakan.” tegasnya.
Ia melihat konstitusi terpinggirkan demi pengkultusan figur tertentu. Benny melihat demokrasi pun berubah menjadi arena kontes semata.
“Demokrasi, yang seharusnya menjadi wadah untuk menjalankan prinsip-prinsip keadilan dan keutamaan, berubah menjadi arena kontes kepopuleran.” ungkapnya.
Dalam Diskusi Kebangsaan yang dihadiri oleh lebih dari 100 orang civitas akademika Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Doktor Ilmu Politik ini menjelaskan lebih lanjut dan tajam mengenai efek dari penyalahgunaan proses berdemokrasi. Menurutnya, penyalahgunaan ini menghambat perkembangan demokrasi yang sehat.
“Penyalahgunaan ini juga mereduksi persaingan politik yang seharusnya bersifat sehat menjadi kontes kepopuleran dan menjauhkan politik dari nilai-nilai Pancasila.” kata dia.
Lebih lanjut, Benny menegaskan bahwa masyarakat harus semakin sadar dan memahami bahwa proses berdemokrasi melalui pemilu merupakan titik krusial bagi perkembangan bangsa dan negara. Mahasiswa, sebagai pilar intelektual organik, diharapkan mampu menganalisis segala fenomena demokrasi dan politik untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Benny menutup paparannya dalam Seminar yang juga dihadiri oleh Airlangga Pribadi Kusman dan Luky Djuniardi Djani sebagai pembicara ini dengan menekankan bahwa mahasiswa sebagai agen perubahan harus mampu menciptakan diskusi dan dialektika mengenai isu-isu krusial ini. Dengan merujuk pada kata-kata Wiji Thukul, ia menekankan pentingnya mahasiswa menjadi “bunga yang merobohkan tembok penyelewengan demokrasi.”
“Diskusi dan dialektika diharapkan tidak hanya memperkaya sudut pandang, tetapi juga membuat masyarakat tetap sadar tentang bagaimana seharusnya proses berdemokrasi dilaksanakan di negeri ini dan apa dampak buruk dari kontes kepopuleran serta penyalahgunaan demokrasi bagi negara ini.” pungkasnya.