JAKARTA – Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia (SI) menolak dengan tegas kembalinya Dwi fungsi TNI melalui perubahan revisi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2024 tentang TNI (UU TNI). Menurut BEM SI, pembahasan revisi UU TNI adalah langkah yang keliru.
“Revisi UU TNI menunjukkan bahwa DPR RI sebagai pengusul revisi UU TNI ini telah gagal dalam menjaga demokrasi sebab berusaha menghidupkan dwifungsi TNI sekaligus telah mengantarkan Indonesia ke depan pintu gerbang otoritarianisme dan militerisme baru. Kembalinya dwifungsi ABRI/TNI yang jelas-jelas terbukti di masa lalu telah merusak tata kelola demokrasi dan meminggirkan hak asasi manusia (HAM),” ujar Koordinator Pusat BEM SI Kerakyatan 2024, Satria Naufal Putra Ansar dalam keterangannya, Rabu (10/7/2024).
Diketahui, kekuasaan otoritarian Orde Baru yang menindas rakyat dapat kuat dan bertahan hingga 32 tahun salah satunya dikarenakan sokongan penuh ABRI melalui peran sosial-politiknya yakni dwifungsi. Dengan dalih Dwifungsi, ABRI pada saat itu menduduki hampir seluruh sendi bernegara Indonesia. Oleh karena itu, pada Reformasi 1998 salah satu sasaran reformasi yang utama adalah penghapusan Dwifungsi ABRI. Amanat penghapusan Dwifungsi ini tercermin dari Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri dan amandemen ke-2 Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945.
Satria mengatakan, saat ini terdapat usaha untuk menghidupkan kembali dwifungsi TNI sejak TAP MPR yang menghapus dwifungsi ditetapkan, 24 tahun lalu. Hal ini dapat dilihat dalam Rancangan Revisi UU TNI terutama Pasal 47 ayat (2) yang membuka peluang bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan di berbagai kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian.
“Ketentuan ini, berpotensi mengancam prinsip supremasi sipil yang telah diperjuangkan sejak era reformasi. TNI aktif diberikan peluang untuk menempati pos-pos sipil melalui penambahan frasa ‘serta kementerian atau lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden’ dalam Pasal 47 ayat (2) RUU TNI,” ungkap Satria.
Satria menegaskan penambahan frasa tersebut sangat berbahaya karena dapat memberi ruang bagi TNI untuk menempati instansi yang tidak dibatasi hanya pada 10 kementerian dan instansi seperti yang diatur dalam UU TNI. Dengan perubahan ini, kementerian dan lembaga yang tidak memiliki kaitan dengan pertahanan dapat diduduki oleh perwira aktif melalui kebijakan presiden kedepannya, seperti Kementerian Agama, Kementerian Desa, Kementerian Pendidikan dan sebagainya.
“Meskipun RUU ini mengatur bahwa penempatan prajurit aktif harus didasarkan atas permintaan dari pimpinan lembaga terkait, ketentuan ini tetap membuka celah bagi intervensi militer dalam ranah sipil. Potensi konflik kepentingan dan loyalitas ganda menjadi ancaman yang serius, terutama dalam situasi-situasi kritis yang membutuhkan objektivitas dan independensi dalam pengambilan keputusan,” jelas dia.
Selain itu, kata Satria, BEM SI menilai revisi UU TNI juga mengabaikan fakta bahwa penempatan prajurit aktif dalam posisi-posisi strategis di lembaga sipil dapat menghambat karier dan mengurangi motivasi pegawai negeri sipil. Hal ini berpotensi menciptakan friksi dan ketegangan dalam lingkungan kerja, serta menurunkan moral dan kinerja aparatur sipil negara secara keseluruhan.
“Lebih jauh lagi, kebijakan ini dapat dipandang sebagai bentuk “militerisasi” birokrasi yang bertentangan dengan semangat demokratisasi dan profesionalisasi aparatur sipil negara,” kata dia.
Disebutkan juga penempatan TNI aktif dalam jabatan sipil juga memiliki dampak lain terkait penegakan hukum, terutama terkait dengan yurisdiksi penuntutan atas tindak pidana, termasuk korupsi. Pasalnya, kata Satria, belum adanya revisi terhadap UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Menurut UU ini, perwira TNI yang terlibat dalam tindak pidana, baik itu militer maupun umum, harus diadili di peradilan militer.
“Situasi ini dapat menghambat proses penegakan hukum terhadap perwira TNI yang menjabat dalam posisi sipil saat terlibat dalam tindak pidana,” tutur dia.
Apalagi, kata dia, pada tahun 2023, menurut data dari Babinkum TNI, tercatat sebanyak 2.569 prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil. Menurut dia, dengan meluasnya kesempatan TNI untuk menduduki kementerian atau instansi sipil, akan semakin banyak TNI aktif yang menduduki kementerian atau instansi sipil yang pada akhirnya akan mengancam supremasi sipil di Indonesia.
Karena itu, kata Satria, pihaknya akan terus menyampaikan suara kritis untuk menolak revisi UU TNI serta akan turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi. Selain itu, kata dia, BEM SI mendesak DPR RI agar menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentara Nasional Indonesia.
“Kami juga mengutuk keras segala tindakan yang tidak sesuai dengan cita-cita reformasi dan upaya membangkitkan kembali dwifungsi ABRI serta mendesak Pemerintah dan DPR melibatkan masyarakat secara bermakna dalam seluruh pembuatan Undang-Undang,” pungkas Satria.