Malang – Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) dan Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiah (PDNA) Kabupaten Malang menyelenggarakan Dialog Kebhinekaan dengan tema “Merajut Harmonisasi Dalam Keberagaman”, yang diadakan di Aula BAU Universitas Muhammadiyah Malang, pada hari Minggu (11/08/2024), yang dihadiri oleh seluruh pimpinan dan para anggota dari PDPM dan PDNA se-Kabupaten Malang.
Hadir sebagai narasumber dalam acara ini adalah Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo, dan Nurbani Yusuf, sebagai Ketua MUI Kota Batu, serta Staf Ahli Pusat Pendidikan dan Pelatihan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Pendiri Komunitas Padhang Makhsyar, dan moderator yaitu Ibnu Rizal.
Nurbani Yusuf menyatakan bahwa Soekarno sampai kepada Puan Maharani adalah bagian dari keluarga Muhammadiyah.
“Soekarno itu murid dari K.H. Ahmad Dahlan, beliau punya nomor bangku. Ibu Fatmawati adalah bagian dari Muhammadiyah, aktivis Aisyiah, dan beliau adalah yang menjahit Sang Saka Merah Putih. Ayah dari Ibu Fatmawati adalah konsul dari Muhammadiyah di Bengkulu. Hal-hal ini hilang di kita, sehingga mudah kita mengganggap Bu Mega dan Bu Puan, misalnya, bukan bagian dari Muhammadiyah. Padahal dari kakeknya, semua bagian dari keluarga Muhammadiyah,” serunya.
Nurbani menekankan benar bahwa pemuda pemudi Muhammadiyah sudah kurang mengenal sejarah dan pengetahuan tentang Muhammadiyah.
“Tidak banyak yang tahu pemuka Muhammadiyah, banyak yang hilang, dianggap malah menjadi mitos. Ki Bagus Hadikusumo, yang mengikut serta dalam pembentukan Pancasila, hilang dan dilupakan. Itu seharusnya diingat terus menerus, baik tokohnya dan jasa-jasanya.”
Dia pun mengusulkan, untuk para pemuda-pemudi Muhammadiyah, untuk berbicara dan berdialog dengan generasi sebelumnya, untuk menjalin pengetahuan dan persahabatan.
“Hal yang saya usulkan kepada teman-teman semua:datang pada PDMN dan PDNA yang lama, sehingga tidak ada gap. Mendekatkan hati, dan pemikiran semua, sehingga tidak lagi ada misinformasi dan disinformasi,” tutupnya.
Benny, sapaan akrab Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP, menyatakan Muhammadiyah adalah inspirasi Gerakan muda yang mencerahkan.
“Bung Karno, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, bagian dari Muhammadiyah. Ibu Fatmawati jelas bagian dari Muhammadiyah. Muhammadiyah dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda lainnya. Gerakan Muhammadiyah, di Indonesia Timur, seperti Jayapura dan Kupang, misalnya, memberikan inspirasi di dunia Pendidikan.”
Benny melanjutkan, Gerakan Pendidikan seperti ini sesuai dengan pengamalan nilai Pancasila sila kelima.
“Keadilan sosial. Itu diwujudkan dengan juga pemerataan dalam dunia Pendidikan. Kenapa? Agar mental manusia terjajah itu dihapuskan. Sumber daya alam dan manusia dijajah dengan mentalitas seperti ini, akhirnya membawa kesengsaraan, kesenjangan sosial, kemiskinan.”
“Sekarang ini, kita harus melawan apa yang disebut sebagai ideologi popularisme. Popularisme menghancurkan demokrasi; calon-calon boneka, calon-calon tunggal keluar, masyarakat dengan algoritma diarahkan untuk menjadi satu suara tanpa ada suara kritis dan dialetika untuk kebaikkan Bersama, akhirnya Pancasila menjadi retorika saja. Nilai keadilan sosial menjadi angan-angan saja,” tuturnya.
Pakar komunikasi politik ini menyatakan bahwa para pemuda harus dapat bergerak menjadi suara-suara yang berani menyatakan jika ada yang salah.
“Sedihnya kita saat ini, para pemuda banyak yang tidak lulus SMP. Tanpa pengetahuan dan Pendidikan, demokrasi Pancasila dibajak oleh oligarki yang terkait dengan kapital. Akhirnya? Mental manusia terjajah terus dilestarikan,” tegasnya.
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP ini pun mengajak pemuda untuk melakukan refleksi.
“Menyambut perayaan kemerdekaan ke-79 Republik Indonesia ini, mari kita Kembali pada visi para founding fathers kita, Kembali menyelenggarakan kehidupan berbangsa bernegara sesuai tujuan negara di Pembukaan UUD 1945. Jadilah manusia merdeka seutuhnya. Gunakan media sosial untuk menyuarakan untuk menghancurkan mentalitas manusia terjajah ini. Belajar sejarah dengan baik, mengerti cara berpikir para pendiri dan tokoh negara kita. Jadilah petarung, bukan pecundang,” tutupnya.