Nasional

RUU Masyarakat Adat Jadi Kunci Sukseskan Konservasi Pasca COP16

Jakarta – Pasca Konferensi Dunia Keanekaragaman Hayati (COP16) yang berlangsung pada 1 November 2024 di Cali, Kolombia, urgensi pengesahan RUU Masyarakat Adat di Indonesia semakin mendesak. Pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat menjadi kunci untuk memastikan keterlibatan mereka dalam implementasi Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF). Tanpa RUU Masyarakat Adat, kontribusi Masyarakat Adat dalam konservasi berkelanjutan dan inklusif akan terus terhambat.

Hal ini disampaikan oleh Cindy Julianty, Program Manager Working Group Indigenous Peoples’ and Community Conserved Areas and Territories Indonesia (WGII) dalam diskusi publik bertajuk “Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat dalam Merespon Kebijakan Konservasi Pasca COP16” yang diselenggarakan di Rumah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jakarta, Rabu (4/12). Selain Cindy Julianty, turut hadir juga Bimantara Adjie (Perkumpulan HuMa), Teo Reffelsen (WALHI Eksekutif Nasional), Rukmini Paata Toheke (Dinamisator Regional Sulawesi JPH AKKM), Mufti Fathul Barri (FWI), Tommy Indyan (AMAN) sebagai narasumber dan Salma Zakiyah (MADANI Berkelanjutan) sebagai moderator.

Cindy Julianty juga menekankan pentingnya keterlibatan Masyarakat Adat dalam mencapai target perlindungan keanekaragaman hayati global. “Konservasi tidak bisa hanya sekadar membicarakan pelestarian lingkungan. Konservasi juga berarti pengakuan hak tenurial di wilayah Masyarakat Adat,” ujar Cindy.

Ia menyebutkan bahwa database wilayah adat mencatat 22,5 juta hektare wilayah adat yang berpotensi untuk dikonservasi. “Praktik-praktik konservasi dari bawah ini dapat mendorong kontribusi Indonesia untuk mencapai target keanekaragaman hayati global,” tambahnya.

Bimantara Adjie Wardhana, Divisi Advokasi Hukum Rakyat Perkumpulan HuMa menambahkan, meskipun Masyarakat Adat memiliki posisi strategis dalam Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) tepatnya pada Target 16 dan Target 17 implementasi kebijakan seringkali gagal melibatkan mereka secara aktif dan inklusif.

“Partisipasi aktif dan bermakna Masyarakat Adat seringkali diabaikan dalam implementasi kebijakan biodiversitas di Indonesia, misalnya dalam proses penyusunan IBSAP. Padahal, IBSAP adalah kunci dari pengarusutamaan biodiversitas di Indonesia,” ujarnya.

Sementara itu, Teo Reffelsen, Manajer Hukum dan Pembelaan WALHI Eksekutif Nasional mengkritik proses pembentukan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) yang dinilai mengabaikan partisipasi bermakna.

“Banyak fakta lapangan yang diajukan oleh koalisi diabaikan tanpa alasan jelas dari DPR,” kata Teo. Ia juga mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi sejak 2012 telah mengamanatkan pemerintah untuk membentuk peraturan terkait Masyarakat Adat, namun hingga kini belum terealisasi.

“Sayangnya dalam gugatan AMAN, Pengadilan Tata Usaha Negara gagal menilai prinsip-prinsip judicial order yang ada di beberapa putusan MK terkait urgensi UU Masyarakat Adat, sehingga dari segi legislasi dan kebijakan, masyarakat adat di nomor duakan. Tidak heran kita lihat situasi Masyarakat Adat yang berada dalam dan dekat dengan kawasan hutan semakin buruk dan memprihatinkan,” tutupnya.

Rukmini Paata Toheke, Dinamisator Regional Sulawesi Jaringan Pemangku Hak Areal Konservasi Kelola Masyarakat (JPH AKKM), menjelaskan bahwa Masyarakat Adat Ngata Toro telah lama mempraktikkan konservasi berbasis kearifan lokal. Upaya ini dilakukan diantaranya dengan mendokumentasikan hukum adat, mengelola tempat-tempat yang dapat dikelola dan sekolah adat.

“Kami memiliki filosofi tiga tungku kehidupan, Taluhi Takuhua, dimana masyarakat menjaga hubungan baik dengan pencipta bumi yang telah memberikan isinya dengan sesama manusia serta alam. Ketika kita merusak alam, maka kita merusak kehidupan. Ini menjadi landasan kami untuk menjaga kearifan leluhur. Ini menjadi kebanggaan kami sebagai Masyarakat Adat. Namun, negara kurang menghargai upaya kami,” tegasnya.

Senada dengan itu, Mufti Fathul Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI), menyebut bahwa 80% keanekaragaman hayati dunia berada di wilayah Masyarakat Adat. Namun, UU KSDAHE di Indonesia justru mengecilkan peran mereka.

“Paradigma konservasi kita belum bergeser, padahal Masyarakat Adat terbukti menjadi aktor utama dalam menjaga biodiversitas,” ungkapnya.

Tommy Indyan dari Direktorat Advokasi kebijakan Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menegaskan bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah langkah penting untuk melindungi hak-hak Masyarakat Adat. Ia menekankan perlunya definisi yang jelas, mekanisme pendaftaran yang sederhana, dan pengakuan hak-hak perempuan, pemuda, serta anak-anak adat dalam RUU Masyarakat Adat.

“RUU yang ideal harus berbasis pada prinsip HAM dan mencakup mekanisme pemulihan hak, penyelesaian konflik, serta penguatan hak atas identitas budaya dan wilayah adat,” tuturnya.

Pengesahan RUU Masyarakat Adat tidak hanya memberikan perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat, tetapi juga memperkuat peran mereka dalam mencapai target KM-GBF secara inklusif. Langkah ini menjadi krusial untuk memastikan keberlanjutan konservasi dan keanekaragaman hayati di Indonesia.

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat terdiri dari YLBHI, HuMa, Seknas WALHI, KPA, KEMITRAAN, ICEL, Debt Watch, PEREMPUAN AMAN, Yayasan PUSAKA, Kaoem Telapak, Yayasan Madani Berkelanjutan, BRWA, JKPP, merDesa Institute, RMI, EPISTEMA, Greenpeace Indonesia, Lakpesdam NU, KIARA, LOKATARU, Forest Watch Indonesia (FWI), Sawit Watch, PPMAN, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Yayasan Jurnal Perempuan (YPJ), Forum Masyarakat Adat Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Format-P), Kalyanamitra, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), SATUNAMA, Protection International Indonesia, KKC Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Working Group ICCAs Indonesia, AMAN, Samdhana, EcoAdat.

Most Popular

Babenya adalah baca berita nya dari beragam situs berita populer; akses cepat, ringan dan hemat kuota internet.

Portal Terpercaya.

Copyright © 2016 BaBenya.com.

To Top