Jakarta – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) membawa implikasi positif yang signifikan terhadap masa depan demokrasi Indonesia (Putusan MK No. 62/PUU-XXII/2024). Dengan penghapusan aturan ini, ruang kompetisi politik menjadi lebih inklusif dan memberikan peluang lebih besar bagi partai politik, termasuk partai kecil dan baru, untuk mengajukan calon presiden tanpa harus memenuhi syarat persentase perolehan kursi di parlemen. Hal ini diharapkan dapat memperkaya pilihan masyarakat, meningkatkan representasi politik, dan mendorong lahirnya pemimpin yang lebih beragam.
Namun, untuk memastikan putusan ini berdampak nyata dan sesuai dengan tujuan demokrasi, diperlukan penyesuaian eksplisit dalam revisi undang-undang Pemilu tersebut, hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Adinda Tenriangke Muchtar yang mengatakan “Diperlukannya revisi Undang-Undang Pemilu ataupun aturan teknis turunan lainnya yang tepat dimana memiliki regulasi yang jelas dan tegas. Regulasi yang jelas dan tegas sangat penting untuk memastikan efektivitas implementasi dan menciptakan persaingan politik yang sehat, Hal ini mencakup pengaturan teknis pencalonan, tata cara pendaftaran, dan pengawasan agar seluruh proses berlangsung adil, transparan, akuntabel, dan sesuai dengan esensi putusan MK, termasuk bagaimana menjaga agar partai peserta pemilu tidak membludak. Dengan begitu, tidak ada ruang multitafsir yang dapat dimanfaatkan untuk mengaburkan semangat reformasi dalam demokrasi Indonesia”.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 62/PUU-XXII/2024 memberikan lima rambu bagi pembentuk undang-undang dalam mengatur pencalonan presiden yang lebih inklusif dan kompetitif. Pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mencalonkan pasangan calon. Kedua, pencalonan tidak didasarkan pada persentase perolehan suara atau kursi secara nasional. Ketiga, aturan harus memastikan tidak ada dominasi partai tertentu dan memberikan beragam pilihan bagi pemilih. Keempat, partai yang tidak mencalonkan paslon presiden tidak boleh ikut pemilu berikutnya. Kelima, pengaturan lebih lanjut harus melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna. Kelima rambu ini bertujuan menciptakan sistem pemilu yang lebih adil, terbuka, dan representatif.
Pada panduan aturan keempat yang berisi melarang partai politik yang tidak mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk ikut serta dalam pemilu berikutnya memiliki dampak positif dalam mendorong partai politik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pencalonan dan mempersiapkan kader-kader yang kompeten sehingga partai politik dituntut untuk lebih responsif terhadap dinamika politik dan kebutuhan demokrasi, serta mendorong reformasi internal agar mereka dapat menghadirkan calon yang lebih berkualitas. Selain itu, pemilu juga menjadi lebih efisien karena hanya partai-partai yang benar-benar berkomitmen dalam proses pencalonan yang akan terlibat, mengurangi potensi fragmentasi politik yang berlebihan.
Dibalik dampak negatif tersebut, menurut Adinda, terutama bagi partai kecil yang sering kali menghadapi keterbatasan sumber daya. Tanpa perlindungan yang memadai, aturan ini dapat memperburuk ketimpangan politik, karena partai-partai kecil lebih rentan terhadap kooptasi oleh partai besar atau koalisi dominan yang sudah mapan.
“Perlunya perlindungan kepada partai kecil, salah satunya melalui insentif yang mendorong terciptanya koalisi yang sehat dan penguatan kapasitas partai agar tetap kompetitif,” ujarnya.
Adinda menambahkan, revisi ini harus menjadi momentum yang lebih dari sekadar memenuhi formalitas hukum. Revisi ini juga menjadi kesempatan untuk mengokohkan institusi politik lewat reformasi internal kelembagaan parpol, dan memperkuat kepercayaan publik terhadap demokrasi. DPR dan pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa proses legislasi ini tidak hanya prosedural, tetapi juga mencerminkan semangat demokrasi yang substansial, yang berorientasi pada keberlanjutan dan kualitas sistem politik Indonesia.