Nasional

Semangat Ketuhanan Dalam Demokrasi Pancasila

Oleh: Abdul Ghopur

Demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang diwarnai serta dijiwai oleh semangat dan nilai-nilai Pancasila, terutama semangat “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Bahkan, semangat “Ketuhanan Yang Maha Esa” ini pernah dirumuskan dan disampaikan pula oleh Presiden Soeharto pada pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1967 antara lain mengatakan: (“Demokrasi Pancasila” berarti demokrasi serta kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila lainnya. Hal ini berarti bahwa menggunakan hak-hak demokrasi selalu disertai dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan agama masing-masing, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan martabat dan harkat manusia, menjamin dan mempersatukan bangsa, dan harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial. “Demokrasi Pancasila” berpangkal tolak dari paham kekeluargaan dan gotong royong).

Artinya, “Demokrasi Pancasila” dengan demikian pula adalah “Demokrasi Kerakyatan” yang berdasarkan dan dibimbing oleh pengakuan dan berserah diri sepenuhnya akan “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang terwujud dalam kesadaran keagamaan yang tinggi yang mempunyai beberapa konsekuensi. Konsekuensi yang pertama ialah bahwa dalam kehidupan bernegara pengingkaran terhadap “Ketuhanan Yang Maha Esa,” paham ateisme dan sekulerisme adalah tertolak. Konsekuensi kedua ialah bahwa ditolak pula adanya propaganda ateisme dan anti-agama dalam masyarakat. Selanjutnya pengakuan akan “Ketuhanan Yang Maha Esa” ini mempunyai kaitan dengan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, yaitu bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara harus diwujudkan dan dipelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, dan cita-cita moral rakyat yang luhur mengandung implikasi toleransi, juga di dalam kesadaran kegamaan yang berkebudayaan Indonesia.

Perlu diingat bahwa sila-sila dari Pancasila juga merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan di mana tiap sila mengandung empat sila lainnya. Oleh sebab itu, yang dimaksud dengan “Demokrasi Pancasila” ialah demokrasi yang mencakup lima sila Pancasila, yakni, demokrasi yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang dijiwai atau dilandasi semangat “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Hal ini berarti bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara wajib diusahakan dan dijaminkan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara, kesempatan yang sama dalam mengembangankan kesadaran beragama bagi masing-masing golongan (agama dan kepercayaan), dengan semangat saling menghargai dan menghormati satu sama lain sebagai “kemanusiaan yand adil dan beradab.”

Sila “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,” marupakann watak kerakyatan bangsa Indonesia dalam “Demokrasi Pancasila,” yang memandang manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki kesadaran keagamaan dan kesadaran akan norma-norma, khususnya norma keadilan. Jadi kerakyatan yang diintegrasikan dengan kemanusiaan yang adil berarti menghendaki terwujudnya norma dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara. Keadilan di sini ialah kesadaran berdasarkan “Ketuhnan Yang Maha Esa.”

Sila “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan” merupakan perumusan yang singkat dari “Demokrasi Pancasila.” “Demokrasi Pancasila” meliputi bukan hanya demokrasi politik, melainkan juga demokrasi ekonomi, demokrasi sosial-budaya, dan demokrasi pertahanan-keamanan (lihat, Pembangunan Politik Dalam Negeri Indonesia, H. Amirmachmud, 1986).

Kata “kerakyatan” dalam sila di atas dengan demikian berarti bahwa pemerintah bersama-sama rakyat mengambil keputusan tentang kebijaksanaan dan kebijakan negara. Kerakyatan yang dituntut dan dituntun Pancasila adalah kerakyatan yang tidak langsung, yaitu kerakyatan melalui “perwakilan.” Dalam perwakilan ini dilakukan musyawarah untuk memutuskan tindakan bernegara. Musyawarah itu menuju ke mufakat, yang dimaksudkan untuk menghindarkan mayorkrasi yaitu diktator mayoritas atau penindasan minoritas. Musyawarah itu harus melindungi dan memperhitungkan hidup minoritas yang mewujudkan bagian esensial pula dari masyarakat negara. Catatan yang dimaksud minoritas tak melulu terkait etnisitas, bisa juga kelompok minoritas yang tersisih dalam pembangunan ekonomi bangsa, meski jumlahnya mayoritas.

Meskipun pengertian “perwakilan” dewasa ini justru menjadi rancu pemaknaannya karena sistim politik kita dewasa ini juga mengenal istilah pemilihan langsung akibat dari kebebasan demokrasi pasca Reformasi 1998. Artinya, jika kita mengacu pada sistem “Demokrasi Pancasila” yang murni (genuine) digagas oleh para pendiri bangsa, memang suara rakyat banyak diwakilkan melalui lembaga atau badan perwakilan rakyat sesuai dengan sila ke 4 Pancasila. Tetapi, sulit ditangkal kekhawatiran bahwa hak dan kehendak atau suara rakyat diselewengkan oleh badan atau dewan perwakilan rakyat hasil dari Pemilu dan demokrasi yang liberal ini. Atau dengan kata lain, situasi bangsa saat ini sedang mengalami apa yang disebut sebagai pseudo democracy (demokrasi semu). Yakni, suatu sistim politik yang mengklaim dirinya demokratis, namun pada kenyataannya terkungkung oleh praktik-praktik yang mengekang kebebasan dan keadilan politik.

Adapun semangat kerakyatan yang diintegrasikan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, ialah kerakyatan yang memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, di mana di dalamnya mengandung semangat toleransi yang tinggi. Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti pula memiliki keluwesan dalam pergaulan hidup. Jadi kemanusiaan yang adil dan beradab ini juga memiliki aspek internasionalnya, yang dapat dipahami melalui rumusan “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Dengan demikian, demokrasi dan kebangsaan Indonesia bukan kebangsaan yang sempit dan tertutup, melainkan demokrasi dan kebangsaan yang luas dan terbuka dalam arena pergaulan dengan bangsa-bangsa yang lain.

Di samping itu “Demokrasi Pancasila” memiliki semangat persatuan Indonesia, maka “Demokrasi Pancasila” menghendaki integrasi dari bangsa dan tumpah darah Indonesia bahkan dalam semua selisih paham dan konflik, di samping menuntut juga identitas nasional sebagai bangsa yang merdeka, bersatu, adil dan berdaulat. Kepribadian nasional dalam pergaulan antarbangsa menurut hukum internasional dan stabilitas nasional merupakan syarat mutlak bagi pembangunan (demokrasi) bangsa dan negara menuju terciptanya ketahanan nasional.

Hal ini berarti bahwa betapa pun kita berbeda dalam soal-soal politik, sosial, ekonomi, budaya dan agama, kita wajib memiliki semangat toleransi yang tinggi demi memelihara integritas, identitas, kepribadian, dan stabilitas nasional. Sila “Persatuan Indonesia” membangkitkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air atau patriotisme (tidak selalu dengan cara-cara militerisme), tetapai sekali lagi, bukan kebangsaan dalam artian yang sempit dan tertutup, malainkan kebangsaan terbuka bagi dan berhubungan dalam pergaulan internasional. Dengan adanya persatuan Indonesia ini jelas ditolak atau tidak dikehendaki kosmopolitanisme, yang bermaksud meniadakan, terutama identitas dan kepribadian nasional.

Pada akhirnya “Demokrasi Pancasila” terintegrasi dengan sila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” yang berarti “Demokrasi Pancasila” diwarnai oleh tuntutan keadilan sosial yang mencakup hal-hal sebagai berikut: 1) Setiap warga negara tidak hanya dibebani kewajiban-kewajiban saja, tetapi juga diakui hak-haknya. 2) Mengakui hak kesamaan dalam perbedaan, hak pribadi dalam kekeluargaan, hak pembayaran yang layak bagi jasa resmi atau swasta. 3) Mengakui hak organisasi politik, ekonomi termasuk industri dan sosial dalam batas-batas tertentu. 4) Mengakui hak warga negara dalam bidang usaha memajukan kebudayaan (kesenian, ilmu dan teknik), pembangunan masyarakat dan ekonomi. 5) Menolak etatisme dalam segala bidang oleh karena mematikan daya cipta, nalar dan karsa serta menghalangi terciptanya justitia creativa atau keadilan mencipta, yaitu memberikan kepada masing-masing hak kebebasan untuk menciptakan sesuai dengan daya ciptanya (kreatifitasnya) dalam bidang kebudayaan, serta justitia protectiva atau keadilan perlindungan, yaitu memberikan kepada masing-masing hak perlindungan. Kekuasaan yang ada di tangan manusia dan dikenakan terhadap sesama manusia harus dibatasi dan diawasi.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa “Demokrasi Pancasila” berarti kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, di mana keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya diakui, ditata dan dijamin atas dasar gagasan atau ide dasar kenegaraan Pancasila. Di samping itu, Demokrasi Pancasila juga dilengkapi beberapa aspek diantaranya, aspek formal, material (maknawiah), aspek normatif, optatif, organisasi, dan kejiwaan atau semangat yang berlandaskan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Waljama’ah (ASWAJA),
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB),
Founder Indonesia Young Leaders Forum;
Inisiator Yayasan Kedai Ide Pancasila
(menulis banyak buku dan artikel)

Disclaimer: (makalah ini merupakan pendapat peribadi, orang lain dapat saja berpendapat berbeda)

Referensi:
Abdul Ghopur. 2019. Pancasila Nalar Bangsa: Dalil Dan Dasar (Mengapa) Harus Berpancasila?. Jakarta. LKSB Press. Hlm. 117-124.
H. Amirmachmud. 1986. Pembangunan Politik Dalam Negeri Indonesia. Jakarta. PT Gramedia. Hlm. 86. Cetakan Kedua.
Dan, dari berbagai serpihan sumber lainnya.

Most Popular

Babenya adalah baca berita nya dari beragam situs berita populer; akses cepat, ringan dan hemat kuota internet.

Portal Terpercaya.

Copyright © 2016 BaBenya.com.

To Top