Jakarta – Jaringan Aktivis Reformasi Indonesia (Jari 98) menilai tulisan seorang jurnalis yang juga mengaku sebagai Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS) Edy Mulyadi di Kompasiana berjudul “Harta Cuma Rp 2.188 Triliun, Utang Rp 3.780 Triliun” adalah menyesatkan.
“Kami melihat judul tersebut salah kaprah, menyesatkan dan menandakan pemahaman minimal dari Edy mengenai persoalan neraca keuangan,” ungkap Ketua Presidium Jari 98 Willy Prakarsa hari ini.
Lebih lanjut, Willy pun berpesan agar Edy belajar mengenai keuangan publok dan membaca neraca keuangan agar mampu meningkatkan kualitas studi ekonomi dan demokrasi di CEDes.
“Jangan asal sajikan jika tak paham neraca dan akuntansi. Jangan sampai dipertanyakan kualitas studinya. Jangan bermodal asal ceplos saja, tapi sajikan dengan data-data,” beber dia.
Dikatakan dia, tulisan yang menyesatkan adalah cara tidak terpuji untuk memperburuk kualitas demokrasi di Indonesia. Dijelaskan Willy, jumlah harta yang dikutip oleh penulis adalah nilai Barang Milik Negara (BMN) yang sebesar Rp2.188 T. BMN adalah aset tetap yang merupakan salah satu jenis aset dalam Neraca Pemerintah. Nilai BMN tersebut dicatat dengan penilaian yang dilakukan pada tahun 2007, dengan demikian bila penilaian BMN diperbaharui dengan nilai saat ini, maka pasti nilainya jauh lebih besar. Oleh karena itu Pemerintah (Direktorat Jendral Kekayaan Negara) melaksanakan program revaluasi BMN untuk mendapatkan nilai terkini.
“Jadi berapa nilai aset negara keseluruhan? Cak Edy ini perlu melihat total aset dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2016. Dalam LKPP tersebut aset atau “harta” negara meminjam istilah Sdr Edy adalah sebesar Rp5.456,88 triliun,” paparnya.
Willy melanjutkan aset Pemerintah ini tidak hanya berupa BMN, namun meliputi Aset Lancar (seperti Kas, Piutang Jangka Pendek dan Persediaan), Investasi Jangka Panjang (seperti Penyertaan Modal Negara/PMN), Aset Tetap, Piutang Jangka Panjang, dan aset lainnya. Perlu dipahami bahwa Aset sebesar Rp5.456,88 Triliun adalah aset yang dimiliki/dikuasai oleh Pemerintah Pusat saja. Nilai tersebut tidak termasuk aset yang dikuasai/dimiliki oleh Pemerintah Daerah sebesar Rp2.259 Triliun.
“Aset Pemerintah pusat diatas juga tidak termasuk kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh Negara ini. Jadi Pak Edy tidak perlu khawatir tentang nilai aset negara kita, yang nyata jauh lebih besar dari utang negara,” sebutnya.
Kata Willy, hal lain yang menyesatkan dan menunjukkan tidak pahamnya Edy dalam pengelolaan keuangan dan tidak pahamnya prinsip akuntasi adalah membandingkan utang dengan aset, khususnya aset negara. Utang yang merupakan kewajiban masa depan seharusnya diperbandingkan dengan potensi kedepan dari suatu negara dalam menghasilkan nilai tambah ekonomi yang digambarkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) dan tingkat pertumbuhannya. Kewajiban pelunasan utang masa depan ditunjukkan oleh potensi menghasilkan pendapatan yaitu penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak termasuk dari pemanfaatan aset.
“Jika membandingkan utang dengan PDB, sampai dengan akhir 2016 rasio utang per PDB kita sebesar 28,3% yang masih jauh dari batas maksimum berdasarkan UU N0. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebesar 60%. Dengan nilai PDB Indonesia sebesar Rp12.407 T dan pertumbuhan tiap tahun diatas 5 persen, maka ekonomi Indonesia mampu menutup lebih dari 3 kali lipat dari jumlah utang. Menkeu Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan DPR Komisi 11 menyatakan bahwa Pemerintah terus akan mengelola utang dengan hati-hati (prudent) dan menjaga penggunaan untuk hal produktif,” paparnya.
Utang yang dilakukan saat ini merupakan suatu keputusan investasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia terutama generasi mudanya, memperbaiki produktivitas dan daya saing Indonesia, sehingga negara mampu mewariskan aset-aset produktif, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang bermanfaat bagi kemajuan bangsa.
Menurutnya, dalam melakukan analisis tentang kemampuan pembayaran utang, sebaiknya juga tidak dilihat hanya dari sumber daya alam (SDA). Bila mengikuti logika itu, bagaimana dengan banyak negara-negara yang tidak memiliki sumber daya alam namun tetap mampu maju dan sejahtera dan tetap mampu membayar utangnya. Sumber daya alam yang dikuasai Pemerintah menghasilkan penerimaan negara (pajak dan bukan pajak seperti royalti).
“Penerimaan ini merupakan sebagian saja dari total penerimaan negara keseluruhan. Jadi membandingkan utang dengan penerimaan sumber daya alam saja adalah salah. Sri Mulyani itu orang pinter cak Edy. Kalau gak pinter ya gak jadi Menteri Cak,” tandasnya.