Jakarta – Jaringan Aktivis Reformasi Indonesia (Jari 98) memberikan tanggapan kritis terhadap pidato pertama Anies Baswedan selaku Gubernur Jakarta yang baru dilantik. Terlebih, Ketua Presidium Jari 98 Willy Prakarsa fokus menyoroti kata-kata pribumi yang dilontarkan Anies.
Menurut Willy, harusnya Anies bisa menjadi pemimpin yang bisa merangkul semua pihak tanpa harus mendikotomikan siapa yang pribumi siapa yang tidak. Kata dia, hal itu justru cenderung ke arah rasis.
“Dia kan sah jadi Gubernur DKI, harusnya gak boleh ada gap atau dikotomi. Awali dengan lembaran baru untuk fokus bekerja mensejahterahkan warga DKI bukan malah rasis,” ungkap Willy, hari ini.
Dia menilai perkataan Anies soal Pribumi dan Non Pribumi baiknya tak lagi dilontarkan. Sebab, bagaimanapun yang memilih Anies hingga bisa menduduki kursi DKI 1 tersebut dari berbagai kalangan dan ras. Tak elok rasanya jika sampai ada kata kata Pribumi dan Non Pribumi terlontar dari mulut Gubernur baru tersebut.
“Karena yang milih kan juga banyak dan dari berbagai kalangan. Baru menjabat kok bikin gaduh. Tunaikan saja janji-janji manis kampanye nya yang mau sejahterahkan masyarakat Jakarta dengan ciptakan lapangan kerja. Jangan kotak-kotakin Jakarta. DP Rumah 0% dan tutup Alexis itu realisasikan,” sebut dia.
Willy kembali mengingatkan agar Gubernur yang baru dilantik itu tidak melontarkan isu SARA “pribumi dan nonpribumi”. Anies sebaiknya fokus pada pekerjaan dan tugas begitu resmi menjadi Gubernur Jakarta. Karena itulah yang dibutuhkan warga.
“Kerja, kerja, kerja, itu yang rakyat inginkan ke depan untuk Gubernur DKI yang baru,” kata dia.
Masih kata Willy, Anies bisa dianggap melanggar instruksi presiden no. 26/1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan, yang ditandatangani oleh Presiden RI ke-3 BJ Habibie.
Pada salah satu poinnya, Inpres itu memerintahkan kepada Menteri, pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Gubernur, Bupati/Walikota untuk, “Menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.”
“Kenapa pribumi, non pribumi tidak digunakan? Karena secara sosial akan berbeda perlakuan dan kedudukan kemasyarakatan dan pemerintahannya. Dalam UUD 45 kan semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Anies bisa dianggap melanggar inpresnya pak Habibie,” tukasnya.