Oleh: Abdul Ghopur
“Perang perang lagi, semakin menjadi, berita hari ini, berita jerit pengungsi…” Sekelumit bait lagu ciptaan Iwan Fals ini seperti menggambarkan situasi dan kondisi dunia saat ini, yakni perang antara Rusia dan Ukraina. Dewasa ini kita menyaksikan peperangan dan juga warga sipil Ukraina berbondong-bondong mengungsi menyelamatkan diri ke lorong-lorong jalan dan ruang bawah tanah, bahkan ke luar negeri akibat invasi tentara Rusia terhadap bangsa Ukraina, tak terkecuali warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA) lainnya yang berada di sana.
Banyak gedung-gedung dihancurkan dan dibombardir oleh tank-tank dan pesewat jet tempur pasukan Rusia dan sebaliknya beberapa kendaraan konvoi tentara Rusia pun dihujani peluru pasukan Ukraina. Yang namanya perang, tentu jatuhnya korban luka bahkan nyawa tak terelakkan, baik orang dewasa atau pun anak-anak, tentara maupun sipil. Tetapi, apa pun itu namanya, sesungguhnya kekerasan atas nama dan dalih apa pun tak dapat dibenarkan serta merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan nilai-nilai humanisme universal. Kecuali menyangkut persoalan pokok aqidah, itu pun apabila kita diperangi. Jika tidak, maka tidak ada kewajiban mengangkat senjata.
Ada peristiwa yang menarik sekaligus mengharukan terjadi di sana. Ketika sebagian masyarakat Ukraina berbondong-bondong mengungsi menyelamatkan diri, termasuk juga para (WNA), alih-alih kabur menyelamatkan diri, sebagian pemuda Ukraina justru memilih bergabung dengan tentara Ukraina untuk berjuang melawan dan mengusir pendudukan tentara Rusia. Bahkan, mereka rela merogoh koceknya peribadi untuk membeli senjata. Subhaanallah!
Dari peristiwa mengharukan ini, muncul dua pertanyaan besar dalam benak saya, pertama, kenapa sebagian pemuda Ukraina memilih berjuang untuk berperang, sementara sebagian lainnya lagi tidak, termasuk para WNA? Kedua, bagaimana jika negara dan bangsa kita yang diperangi seperti invasi Rusia terhadap Ukraina baru-baru ini, apakah kita wajib berjuang dan mengangkat senjata melawan pejajahan atau berdiam diri lalu menyerah, atau malah melarikan diri? Apa yang dialami oleh Ukraina kini, sesungguhynya pernah dialami oleh bangsa Indonesia ketika dijajah Belanda dulu. Bumi Nusantara ini pernah dijarah (dighasab) dan menjadi daerah jajahan (daarul harb) oleh pemerintahan kolonial Belanda atau dalam bahasa militernya sebagai terra bellica (daerah perang).
Jawaban saya (peribadi) untuk pertanyaan pertama, yaitu sebagian pemuda Ukraina memilih berjuang mengangkat senjata karena ingin mempertahankan kedaulatan bangsa dan negaranya. Apa pun risikonya, akan mereka tanggung. Karena Ukraina adalah negara bangsa mereka, tanah kelahiran mereka, tumpah darah mereka yang harus diperjuangkan dan dipertahankan mati-matian sampai tetes darah terakhir. Singkatnya, masih ada rasa nasionalisme di dalam dada para pemuda Ukraina. Sedangkan para WNA yang sedikit-banyaknya menikmati hasil alam atau hasil pembangunan dan sebagianya dari negeri tersebut, lari mengungsi menyelamatkan diri. Alasannya sederhana, Ukraina bukan negara mereka para WNA.
Jawaban kedua, penjajah harus disingkirkan dengan berbagai cara termasuk mengangkat senjata. Dan, menolak semua usulan dan recana penjajah apalagi bekerjasama dengan penjajah. Karena menurut Islam, membantu penjajah hukumnya haram. Artinya, dengan kita berjuang mengangkat senjata untuk mengusir penjajah, maka negara kita akan menjadi terra liberum (daerah merdeka). Dengan langkah itu baru bisa diwujudkan daarussalam (daerah yang aman/selamat) yang keamanan dan kesejahteraan bisa dicapai melalui perjuangan bersama segenap komponen bangsa. Dengan demikian, urusan menjalankan kewajiban agama (syariat) dapat terlaksana dengan baik, aman dan sempurna. Bagi Islam, keniscayaan hadirnya negara yang aman dan merdeka merupakan sebuah konsekuensi logis dari adanya aturan-aturan syariat yang tidak mungkin terlaksana tanpa kehadiran atau adanya institusi yang bernama negara. Dengan demikian, kehadiran negara menjadi syarat wajib dan instrument bagi terlaksananya aturan-aturan syariat.
Saya mengambil dalil dan kaidah fiqh yang berbunyi: “Maa laa yatimmul waajibu illaa bihi fahua waajibu” yang artinya: “Sesuatu yang menjadi syarat terwujudnya perkara wajib adalah wajib” (Ahmad bin Muhammad az-Zarqa, Syarh al-Qawa’id, Damaskus: Dar al-Qalam, 1989, cet. 2, hlm.486) dan “Lilwasaaili hukmulmaqooshidi” yang artinya: “Instrumen itu memiliki status hukum yang sama dengan tujuannya” (Muhammad Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, A’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al’Alamin, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991, cet. 1, juz III, hlm. 108).
Lantas, apa hikmah yang dapat kita ambil dari peristiwa perang Rusia VS Ukraina? Ada begitu banyak hikmah. Setidaknya pertama, nasionalisme atau rasa cinta tanah air itu teramat sangat penting. Baik-buruknya atau hitam-putihnya negara bangsa kita adalah tetap negeri kita, tanah air kita, tumpah darah kita, dimana kita dilahirkan tumbuh dan berkembang bahkan sampai kita mati, yang wajib hukumya diperthankan mati-matian sampai tetes darah terakhir. Yang harus kita perjuankan meski dengan mengorbankan harta-benda, jiwa-raga, darah dan air mata. Pendek kata, right or wrong is my country.
Kedua, jika kaitannya dengan umat muslim Indonesia, maka izinkan saya mengutip pendapat pengasuh pondok pesantren Raudlatut Thalibin, KH. Mustofa Bisri atau yang lebih kita kenal sebagai Gus Mus. Beliau berujar, “Kita ini orang Indonesia yang bergama Islam, kita bukan orang Islam yang kebetulan dilahirkan atau kebetulan ada atau mampir di Indonesia.” Artinya, kita ini bukannya turis asing yang sedang melancong ke Indonesia, sedang jalan-jalan berlibur. Jadi, kalau terjadi apa-apa dengan Indonesia seperti tidak ada tanggungjawab dan kewajiban moral apa-apa, masa bodo’. Ya, cuma mampir, cuma turis. Padahal, sebagai orang Indonesia yang beragama Islam, mewajibkan kita untuk mencintai Indonesia, apapun rupanya Indonesia, apa pun kondisinya. Kita wajib membelanya mati-matian. Karena ini rumah kita sendiri wajib kita pertahankan.
Ketiga, keberadaan negara-bangsa atau tanah air itu sangat peting bahkan wajib. Sebab, tanpa adanya instrumen negara atau tanah air, bagaimana umat Islam Indonesia dapat menjalankan syariat Islam? Bagaimana kita bisa beribadah dengan tenang kalau negerinya sedang dijajah, sedang berkecamuk perang? Roket-roket, misil-misil, rudal-rudal dan peluru-peluru berterbangan-berseliweran di mana-mana. Dibombardir setiap hari. Boro-boro mau sholat, mengaji, dan melaksanakan kegiatan keagamaan lainnya, mau tidur saja tidak bisa. Maaf, bahkan mau buang air saja tidak bisa!
Sebab itu, marilah kita merenung, tanah air yang merdeka itu adalah salah satu anugerah Allah Swt yang terindah yang wajib kita syukuri dan wajib kita jaga bersama. Bukan malah kita hancurkan dengan saling bermusuhan, gontok-gontokan sesama anak bangsa, apalagi sesama muslim Indonesia.
Di sisi lain, sesungguhnya bangsa Indonesia adalah ‘konsepsi kultural’ tentang suatu komunitas yang diimajinasikan sebagai entitas dari “warisan” teritoral jajahan Belanda. Sedang negara Indonesia adalah ‘konsepsi politik’ tentang sebuah entitas yang tumbuh berdasarkan kesadaran politik untuk merdeka dengan meletakkan individu ke dalam kerangka kerakyatan. Dalam kerangka ini, setiap rakyat dipertautkan dengan suatu komunitas politik dalam kedudukan yang sederajat di depan hukum (equality before the law), dengan operasi atas prinsip kekariban dan keadilan. Jangan sampai aparatur negara hanya sibuk mengamankan kekuasaan dan dapurnya sendiri, maka individu akan segera berpaling ke sumber-sumber tribus sebagai upaya menemukan rasa aman. Di sini persoalan ekonomi-politik yang objektif disublimasikan ke dalam bentrokan identitias yang subjektif.
Menyaksikan perang yang berkecamuk di Ukraina, saya langsung teringat syair lagu yang dibawakan oleh grup band tua kenamaan kita, Nasida Ria yang berjudul “Perdamaian” ciptaan (alm.) KH. Bukhori Masruri. “Perdamaian, perdamaian, perdamaian, perdamaian, banyak yang cinta damai, tapi perang makin ramai, bingung, bingung kumemikirnya.. syalalalalalala…
Intelektual Muda NU;
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB),
Inisiator Yayasan Kedai Ide Pancasila
(menulis banyak buku dan artikel).