Jakarta – Guru Besar Penuh Ilmu Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., MH mengatakan, masa jabatan kepala daerah yang berakhir dan digantikan oleh pelaksana tugas (Plt) merupakan kebijakan lama dan telah dibuat UU. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga telah mengatur pelaksanaan Plt tersebut.
“Oleh karena itu jika semua dipersoalkan maka masalah di Indonesia tidak akan habis – habis. Jadi saran saya apa keberatan subtantif terhadap kebijakan yang sudah diputus tersebut. Kita harus menjaga kepastian hukum. Kalau memang terbukti melanggar maka diluruskan. Hanya apa pusat keberatan itu,” ujar Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., MH.
Prof Jimly menduga adanya pihak yang khawatir kepala daerah dijabat Plt karena menyakini para Plt tersebut tidak akan netral di pemilu 2024. Untuk menepis kekhawatiran itu maka para pejabat yang menjadi Plt kepala daerah harus memenuhi syarat. Di antaranya, para pejabat tersebut benar – benar ASN dan bukan mantan yang terangkut beragam perkara. Selain itu pejabat yang akan menjadi Plt kepala daerah juga bukan anggota TNI/Polri.
“Selain itu terapkan juga mekanisme kontrol sehingga apa yang dikhawatirkan tentang ketidaknetralitasnya ASN tidak terjadi. Apalagi jumlah Plt kepala daerahnya sangat banyak yakni 272 Plt,” jelasnya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menegaskan, pejabat yang menjadi Plt kepala daerah sudah dibicarakan sejak lama dan sudah sesuai aturan yang ditetapkan. Oleh karena itu Prof Jimly menyarankan ikuti saja proses pelaksanaan Plt yang akan menjadi kepala daerah jelang pemilu serentak 2024 tersebut. Jangan semua dipersoalkan dan diperdebatkan.
“Tinggal apa keberatan yang paling subtantif yang bisa dilakukan untuk mencegah adanya ketidaknetralan mereka di pemilu serentak 2024,” paparnya.
Prof Jimly memaparkan adanya Plt kepala daerah tersebut karena saat ini merupakan masa transisi. Sesuai hukumnya transisi maka dibolehkan seperti adanya penyimpangan karena saat ini kondisi belum normal. Karena saat ini masa transisi dan ini hanya berlaku sekali ini saja. Karena untuk berikutnya tetap berlaku masa jabatan kepala daerah 5 tahunan.
“Jadi itu bisa kita terima,” paparnya.
Terkait jumlah Plt kepala daerah yang mencapai 272 orang, sambung Prof Jimly, hal tersebut terjadi karena konsekuensi dari peraturan yang sudah diputuskan. Oleh karena itu jumlah 272 Plt jangan dimainkan bahwa pemerintah yang mempunyai kepentingan bahwa Presiden yang terpilih nanti adalahtemannya Plt kepala daerah.
“Jadi kalau soal itu, maka jangan soal jumlahnya karena sudah ada aturannya. Prasyaratannya juga sudah ada aturannya, tidak boleh TNI/Polri,” jelasnya.
Prof Jimly menyarankan untuk pengawasan kinerja Plt – Plt agar tidak menganggu independensi dari penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu maka harus ada komitmen dari KPU dan Bawaslu. KPU dan Bawaslu harus tampil untuk memberikan keyakinan publik bahwa ASN yang dipilih menjadi Plt kepala daerah harus ada semacam fakta integritas dan komitmen bersama dengan penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu.
“Jadi dipastikan orang ini (para Plt kepala daerah) netral. Jadi KPU dan Bawaslu mensosialisasikan sebelum Plt dilantik dipastikan sudah mengerti apa yang harus dikerjakan untuk menjamin netralitas, ini kuncinya. Jadi jangan lagi mempersoalkan kebijakan yang sudah diputus sejak lama,” tegasnya.
KPU dan Bawaslu, lanjut Prof Jimly, lakukan pertemuan integritas kepala daerah. Pertemuan itu bisa diprakasai oleh Kemendagri, bersama Ketua KPU dan Bawaslu untuk bersama-sama mengadakan pertemuan nasional semua kepala daerah terutama yang menjadi Plt – Plt. Sebelum para Plt kepala daerah tersebut bekerja maka sudah meneken fakta integritas.
“Selain itu masyarakat dan media massa juga harus diaktifkan untuk menjalankan fungsi pengawasan. Jadi jaringan pengawasan dihidupkan untuk menjaga pengawasan netralitas ASN khususnya Plt Kepala daerah,” paparnya.
Prof Jimly menilai adanya pengawasan dari berbagai jaringan itu maka ada jaminan para Plt kepala daerah akan netral. Paling tidak para Plt kepala daerah siap diawasi. Langkah ini harus segera dilakukan. Jangan sampai pengawasan tersebut tidak dianggap penting dengan alasan Bawaslu dan KPU adalah orang baru sehingga bisa dikerjain oleh Plt – Plt.
“Adanya Plt yang bertugas 2 tahun ini karena masa transisi. Jadi ada hukum normal, ada hukum tidak normal dan salah satu varian yang lain, hukum transisional,” jelasnya.
Prof Jimly memaparkan dalam perubahan hukum, jangan bicara hukum normal yang lama dan hukum normal yang baru. Perubahan hukum itu membutuhkan transisi. Masa transisi ini diaturan itu beda dengan aturan hukum yang satu, beda dengan hukum yang baru. Jadi norma satu, norma dua. Ini norma satu setengah, ini beda dengan dua -duanya.
“Maka kalau yang disini normal 5 tahun. Maka disini 2 tahun, apakah itu boleh, boleh. Karena transisi menuju yang permanen. Tidak usah diperdebatkan ini dua tahun, kalau satu periode kan bisa setengah, satu setengah. Ahh itu memperdebatkan titik koma, menghabiskan waktu. Ini masa transisi maka boleh berbeda. Kan untuk sementara saja, hukum transisional,” urainya.
Terkait usulan TNI /Polri menjadi Plt kepala daerah, Usulan TNI /Polri jadi Plt kepala daerah, Prof Jimly menyarankan sebaiknya aparat TNI/Polri tidak menjadi Plt kepala daerah karena akan menimbulkan kecurigaan. Biar TNI/Polri mempunyai tugasnya masing – masing. Karena tugas polisi sangat berat saat mengamankan pemilu. Selain itu TNI/Polri juga tidak boleh terlibat dalam urusan politik sesuai amanat reformasi.
Sementara itu jika terjadi Plt kepala daerah tidak netral, Prof Jimly meminta untuk segera dipecat. Selama ini pejabat lebih takut dipecat dari jabatannya. Pemecatan sebagai ASN adalah langkah efektif agar mereka tetap menjaga netralitasnya. Oleh karena itu Bawaslu harus diterima sebagai fungsi dari pengawasan. Karena Bawaslu bukan mengawasi penyelenggara pemilu tapi mengawasi penyelenggaraan pemilu.
“Jadi kalau ada ASN yang dilaporkan oleh Bawaslu maka harus ditindak untuk menunjukkan kesungguhan Pemerintah akan pentingnya netralitas Plt dari kecurigaan orang,” paparnya.
Diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan menunjuk aparatur sipil negara (ASN) sebagai penjabat (Pj) kepala daerah mulai pertengahan tahun ini. Para ASN akan menggantikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan ratusan kepala daerah lainnya.
Kebijakan itu menyusul Pilkada serentak 2024 sesuai amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada (UU Pilkada). Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada menyatakan seluruh pilkada digelar serentak pada November 2024.
Dengan demikian, kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2020 hanya menjabat sekitar 3 tahun. Sementara itu, kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2017 dan 2018 tak bisa ikut Pilkada hingga 2024.