Jakarta – Koordinator TPDI dan Advokat Peradi, Petrus Selestinus menilai sikap tertutup pihak Jakpro dan Pemprov DKI Jakarta terkait feasibility Study Formula E adalah bagian dari upaya sementara untuk tidak mau bersikap terbuka.
“Karena Jakpro dan Pemprov DKI Jakarta masih melihat KPK sendiri masih jalan di tempat atau landai,” tegas Petrus, hari ini.
Padahal, kata dia, antusias atau keingin tahuan masyarakat atas kinerja KPK dalam mengungkap dugaan korupsi dalam kasus Formula E sangat tinggi sekali.
Menurut dia, sikap KPK dalam penyelidikan kasus dugaan korupsi Formula E, mulai mencurigakan karena pergerakannya sangat lamban, juga tidak transparan dalam mengupdate perkembangan jalannya penyelidikan, mengingat kasus dugaan korupsi mobil balap listrik ini merupakan kasus yang sangat menarik perhatian publik. Terutama karena menyangkut nama Anies Baswedan yang disebut-sebut bakal Capres 2024.
“Publik tidak pernah tahu, karena KPK tidak pernah menjelaskan kepada publik, sudah berapa banyak saksi yang diperiksa dan dari kalangan mana saja. Apakah sudah ada hasil audit BPK RI atau belum dan apakah ada kendala secara politik dan secara hukum dalam mengungkap kasus Formula E yang menyeret nama Anies Baswedan,” pungkasnya.
KPK Makin Melemah Tangani Kasus Formula E
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di era Firli Bahuri ditudung menampilkan gaya Penegakan Hukum yang tidak jauh berbeda dengan gaya Penegakan Hukum di Kepolisian.
“Gaya KPK yang khas sudah hilang di era Firli Bahuri, KPK sudah lamban, melemah dan ada kecenderungan mudah diintervensi oleh kekuatan tertentu untuk menghambat dan/atau untuk membelokan jalannya penyelidikan demi melindungi pelaku tertentu,” sebut Koordinator TPDI dan Advokat Peradi, Petrus Selestinus, hari ini.
Petrus melanjutkan pola penanganan kasus di KPK era Firli Bahuri, terutama dalam kasus Formula E, sulit untuk diprediksi proses dan percepatannya. Karena KPK era Firli Bahuri tidak satunya kata dan perbuatan, banyak janji yang ucapkan tetapi tidak dilakukan apa yang dijanjikan.
“Karena itu bisa saja nasib penanganan kasus Formula E, akan menjadi “dark number”, seperti kasus korupsi Bansos terhadap sejumlah tokoh lain di luar Juliari Batubara,” sambungnya.
Kata dia, mereka sepertinya berada dalam posisi saling menyandera untuk saling melindungi antara kelompok pelaku terduga korupsi dari kekuatan politik yang satu menyandera KPK minta diselamatkan tokohnya dengan alasan tokoh pelaku korupsi yang lain dari kekuatan politik lainnya juga diselamatkan KPK.
“Apalagi dengan semakin moncer nama Anies Baswedan karena elektabilitasnya, masuk dalam 3 besar Capres 2024, maka bisa saja kekuatan politik tertentu sedang melobby KPK agar Anies Baswedan tidak boleh disentuh. Karena itu sulit dipastikan apakah dugaan keterlibatan Anies Baswedan dalam dugaan korupsi Formula E akan diproses tuntas atau tidak,” tukasnya.
KPK Era Firli Kehilangan Kedigdayaan Usut Formula E, Masih Lebih Hebat Polsek di Jakarta
Gaya KPK era Firli Bahuri hanya buying time, sekedar memberi rasa nyaman kepada Anies Baswedan dkk. Sehingga publik lupa atau putus asa lalu pasrah terhadap keadaan atau realita, sebagaimana kasus-kasus lainnya yang menggebu-gebu di awal namum loyo di ujung.
“Kalau dilihat dari dinamika politik di DPRD DKI yang menjalankan fungsi pengawasan dan fungsi anggaran, maka nampak semangat DPRD DKI lebih agresif dari KPK meskipun proses interpelasi di DPRD DKI Jakarta dalam kasus Formula E, belum menunjukan hasil,” tutur Koordinator TPDI dan Advokat Peradi, Petrus Selestinus, hari ini.
Padahal, kata Petrus, kendala proses interpelasi karena tidak quorumnya jumlah peserta rapat, padahal semangat interpelasi DPRD DKI adalah untuk membangun transparansi pengelolaan APBD DKI dalam soal Formula E, sebagai bentuk pertanggungjawaban DPRD dalam fungsi pengawasan dan fungsi anggaran APBD.
Soal Commitment Fee, Petrus mengatakan bahwa setelah pemeriksaan BPK RI Provinsi DKI terbaru, ternyata hasilnya masih kurang Rp.90 Miliar. Inipun kelihatannya akan digantung oleh KPK. Karena KPK sudah menyerahkan kepalanya untuk disandera oleh berbagai kepentingan terkait proses kepemimpinan nasional 2024.
“Kita jangan mimpi KPK akan digdaya, kecuali kekuatan besar masyarakat mendorong KPK kembali kepada kekuatan profesionalisme sesuai UU,” katanya.
Perihal klaim dampak ekonomi Formula E, mencapai Rp.2,6 Triliun, kata Petrus, ini hanya isapan jempol sekedar pelipur lara, untuk menghibur hati yang duka. Dan hanya clikbait dengan bumbu-bumbu yang bombastis sekedar mengalihkan sorotan publik ke KPK dan Anies Baswedan.
“Saya khawatir KPK per hari ini, tidak akan tidak lebih hebat dari sekelas salah satu Polsek di Jakarta. Ia kehilangan kedigdayaan dan cenderung lebih parah dari Kejaksaan dan Polri yang semakin baik,” pungkasnya.