Oleh: Abdul Ghopur
–tak ada penjajahan paling dahsyat di dunia selain penjajahan pikiran.
Penjajahan paling fenomenal di abad 21 ini adalah penjajahan kebudayaan.
Maka berpikirlah merdeka agar tak terjajah–
{Bung Ghopur, 2001}
Globalisasi dengan ideologi neoliberalismenya telah menjadi mazhab ekonomi yang mempengaruhi akademisi, praktisi, dan para pengambil kebijakan di banyak negara, termasuk Indonesia. Padahal, sebagai anak kandung globalisasi yang menjunjung tinggi fundamentalisme pasar, mazhab ini hanya menekankan pertumbuhan, bukan pemerataan. Konsekuensi logisnya adalah pengabaian atas kesejahteraan umum.
Jika kita telisik lebih jauh, tren ini sebenarnya sudah mulai muncul bersamaan dengan gelombang demokratisasi ketiga yang melanda negara di dunia pada masa 1970-an. Gelombang demokratisasi ini untuk pertama kalinya terjadi di Eropa Selatan seperti Portugal, Yunani dan Spanyol ditandai dengan runtuhnya pemerintahan-pemerintahan otoriter. Pada akhir dasawarsa 1970, gelombang demokrasi bergerak menuju Amerika Latin. Di Asia, gelombang demokrasi pertama kali terjadi pada tahun 1977 di India, yang kemudian diikuti oleh Turki, Filipina, Korea, Taiwan dan Pakistan (Samuel P Hutington, Gelombang Demokrasi Ketiga, Jakarta, 2001, hal. 6).
Demokrasi liberal dan neoliberalisme mulai berkelindan ketika Tembok Berlin (1989) runtuh, yang menandai berakhirnya era perang dingin, serta terceraiberainya Uni Soviet sebagai negara adidaya dan garda depan komunisme. Kapitalisme berjaya dengan mengusung pasar bebas dan demokrasi liberal sebagai ikon ekonomi-politik, dimana Amerika Serikat sebagai pengusung utamanya keluar sebagai pemenang. Francis Fukuyama, dalam bukunya yang berjudul: The End of History and the Last Man (1992), bahkan menyimpulkan bahwa, keruntuhan komunisme menjadi pertanda atas berakhirnya sejarah (Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, Hamish Hamilton, 1992). Sejak saat itu, tidak ada negara di dunia ini yang tidak masuk dalam domain pengaruh Amerika Serikat. Misalnya wilayah Amerika Latin, kecuali Kuba yang masih konsisten dengan garis sosialismenya. Artinya, runtuhnya komunisme dapat dikatakan sebagai ”gerbang” bagi perluasan imperialisme berskala global dengan model ekonomi kontemporer, yaitu neoliberalisme.
Perluasan ide dan gagasan neoliberal, khususnya di negara-negara Dunia Ketiga, mendapat momentumnya bersamaan dengan gelombang pasang globalisasi. Globalisasi dapat diartikan sebagai proses pengglobalan berbagai aspek kehidupan manusia. Apa yang terjadi di jagat ini bisa dilihat, didengar, dan dirasakan oleh umat manusia di berbagai penjuru jagat lainnya. Kenichi Ohmae (1995), menggambarkan globalisasi sebagai suatu keadaan di mana batas-batas negara menjadi kurang berarti. Artinya, batas-batas yang selama ini menutupi hubungan dan interaksi masyarakat antarnegara, baik lokal maupun internasional telah dapat ditembus. Tentu saja, globalisasi terjadi karena perkembangan dan kemajuan pesat tenaga produktif manusia, khususnya dalam bidang teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi yang semakin canggih. Dengan demikian, globalisasi terjadi karena upaya manusia dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kebutuhan ekonominya, dalam menjawab dan menghadapi alam untuk mengembangkan kapasitas produktifnya.
Jika ditelisik lebih jauh, sebagaimana diingatkan Sindhunata, globalisasi sebenarnya mulai bergerak kurang lebih lima ratus tahun lalu, tepatnya tanggal 8 Juli 1497, ketika ekspedisi Vasco da Gama meninggalkan Rastello, sebuah pelabuhan di kota Lissabon. Dua tahun kemudian, di awal September 1499, Vasco da Gama dan kapal yang berbendera Sao Gabriel mendarat kembali di pelabuhan yang sama. Sebenarnya sebelum Vasco da Gama, Cristobal Colon bermaksud mengadakan pelayaran ke India. Ia memperkirakan bahwa jarak antara Eropa dan India sangatlah pendek. Pada tanggal 3 Agustus 1492, ekspedisi pimpinan Colon yang berbendera Santa Maria berangkat dari pelabuhan Palos. Cristobal Colon inilah yang sampai kini dikenal sebagai Christopher Columbus—yang sangat terkenal itu (Sindhunata, “Dilema Globalisasi”, BASIS No. 01-02/Tahun Ke-52, Januari-Februari 2003, hal. 4).
Memang waktu itu orang belum begitu sibuknya—seperti para politisi, aktivis, akademisi —mengeja “mantra” globalisasi. Istilah “globalisasi” baru diributkan 500-an tahun kemudian, yaitu di era ini. Tetapi menurut Till Bastian dalam tulisannya ”Ums Kap der Guten Hoffnung nach Indien,” saat itu bisa dikatakan sebagai awal globalisasi. Makanya, banyak yang mengatakan bahwa globalisasi dimengerti sebagai “pembaratan dunia di luar Barat”— atau bahkan secara picik dicurigai sebagai “Kristenisasi”— atau “perdagangan dunia yang dikuasai Barat.”
Dua ratus tahun kemudian sejak ditemukannya India oleh Vasco da Gama, filsuf idealis Immanuel Kant mengingatkan adanya ketidakadilan yang tersebar luas justru karena penemuan itu. Pasalnya, para penemu (Eropa) pada waktu itu, Benua Amerika, tanah-tanah orang negro dan negeri seperti Tanjung Harapan, dianggap sebagai wilayah yang tidak dimiliki siapapun. Tanah-tanah tak bertuan itu bisa diambil begitu saja. Dari sinilah, benih-benih busuk —yang kemudian ditegaskan ketika kapitalisme-imperialisme- mulai hadir dalam otak dan hati orang-orang Eropa untuk menguasai.
Yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa, sejak awal globalisasi lahir dari upaya mengembangkan kekuatan produktif: ekspedisi Vasco da Gama, setelah meninggalkan Tanjung Harapan, dilanjutkan ke India, dan sampai akhirnya di Kalikut. Daerah ini menghasilkan rempah-rempah yang melimpah yang dikonsumsi orang-orang baik di Barat maupun Timur, juga Portugal. Rempah-rempah ini diangkut melalui pelabuhan Alexandria menuju Venezia.
Dalam kaitan ini, penulis ingin merangkum ciri-ciri yang mampu menjelaskan gejala dari globalisasi ini berdasarkan paparan Ulrich Beck dalam tulisannya “Wie wird Demokratie im Zeitalter Globalisierung Moegligh?—Eine Einleitung yang dirangkum oleh Sindhunata:
1. De-teritorialisasi
De-teritorialisasi ini mengacu pada gejala runtuhnya batas-batas geografis dalam hubungan baik bidang ekonomi, politik, maupun sosial. Batas peraturan teritorial di antara negara yag mengatur seluk-beluk produksi hilang diganti dengan transaksi global. Bukan lagi negara yang mengatur masyarakat dalam hal produksi, melainkan organisasi global yang melakukannya.
De-teritorialisasi lebih tepatnya adalah menghilangnya keteritorialan yang membentuk hidup manusia, membangun kesosialan dan struktur sosial serta membatasi aktivitas manusia. Keterbatasan itu menjadi unsur kebudayaan, ekologi, ekonomi, politik dan psikologi manusia. Identitas manusia menjadi sempit gara-gara sempitnya ruang geografis. Dan, globalisasi akan membawa perubahan ke arah identitas dan hubungan manusia yang global.
2. Trans-nasionalisme
Trans-nasionalisme adalah lintasan yang melampaui nasionalisme dan merupakan paradigma yang baru. Pertama-tama, hal ini perlu dibedakan dengan internasionalisme dan internasionalisasi. Internasionalisasi, dulu maupun sekarang, berarti berkonsentrasinya jaringan kekuatan-kekuatan ekonomi dalam satu blok, misalnya kekuatan konsentrasi ekonomi blok Asia, blok Eropa dan blok Amerika. Blok-blok konsentrasi ini memiliki batas yang jelas. Ada kekuatan yang kuat dan ada yang lemah.
Di bidang perdagangan, transnasionalisme diam-diam akan menggantikan sistem perdagangan nasional yang selama ini berlaku. Bukan lagi kekuatan organisatoris yang nasional-teritorial itu yang akan memainkan perdagangan dan memperebutkan “kue” yang dihasilkan, tetapi kekuatan trans-nasional.
3. Multi-lokal dan trans-lokal
Tidak berarti bahwa trans-nasionalisasi atau globalisasi ini tidak terkait dengan “tempat.” Trans-nasionalisasi atau globalisasi memungkinkan manusia untuk membuat tindakan simultan dalam pelbagai tempat yang berbeda sekaligus. “Global” di sini berarti “trans-lokal.” Globalisasi bukanlah suatu yang mengambangkan apa saja dengan dalih keuniversalan, tetapi bukan berarti tidak terikat pada tempat. Tempat atau kebertempatan bukan hilang, tapi diberi makna yang baru. Inilah yang kemudian muncul istilah dari Roland Robertson: glokalisasi. Apa yang lokal bukannya tidak penting, tapi justru dapat arti yang baru dalam hubungan masyarakatnya.
Globalisasi sebagai proses terkait dengan istilah Globalution, yaitu paduan dari kata globalization dan evolution (Wawancara khusus dengan Friedman,” dalam Tempo, No. 34/XXIX/23-29 Oktober 2000, hal. 108). Dalam hal ini globalisasi adalah hasil perubahan (evolusi) dari hubungan masyarakat yang membawa kesadaran baru tentang hubungan/interaksi antar umat manusia. Globalisasi, seperti dijelaskan Thomas Friedman dari New York Times adalah “…the next great foreign policy debate.” Sedang Fredric Jameson melihat globalisasi sebagai “the becoming of cultural of economic and the becoming economic of cultural.” Globalisasi merupakan paket dari sekumpulan nilai-nilai di bidang ideologi, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain.
*Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Waljama”ah, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa; salah-satu Penggagas Kedai Ide Pancasila