MEDAN, SUMATERA UTARA – Seminar nasional dengan tema “Politik Kaum Muda Katolik ditinjau dari Perspektif Gereja” diadakan di Catholic Center, Kota Medan, Sumatera Utara, diadakan oleh Kaum Muda Katolik Keuskupan Agung Medan, Kamis (03/11/2022). Seminar itu dihadiri oleh berbagai kalangan dari umat Katolik, mulai dari biarawan dan biarawati, tokoh-tokoh agama Katolik, dan juga mahasiswa di daerah Medan dan sekitarnya, termasuk dalam provinsi Sumatera Utara, dengan jumlah sekitar 600 orang.
Hadir dalam acara ini, Walikota Medan, M. Bobby Alif Nasution, dan dengan narasumber Antonius Benny Susetyo (Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), Yunarto Wijaya (Direktur Eksekutif Charta Politika) dengan moderator Parulian Silalahi. Walikota Medan hadir sekaligus juga membuka acara seminar ini.
Acara dibuka secara langsung oleh Ketua Komisi Kerawam Keuskupan Agung Medan (KAM), RP. Yosaf Ivo Sinaga.
“Saya mewakili panitia, mengucapkan terima kasih atas kehadiran Bapak Walikota, para narasumber, dan juga peserta yang hadir. Lewat seminar ini, diharapkan pendidikan politik umat Katolik di daerah Medan dan sekitarnya terjadi,” imbuhnya.
Secara daring, Uskup Agung Medan, Mgr. Kornelius Sipayung, menyatakan harapannya akan seminar ini.
“Politik bukan sesuatu yang kotor, politik sejatinya adalah arena perjuangan mulia untuk memperjuangkan hak dan kewajiban seluruh manusia. Jika politikus bergerak hanya untuk kebaikkan pribadi atau partai, itu sebuah aksi merusak jiwa politik yang sejati. Politik harus diciptakan menjadi politik yang beradab, dan karena itu pendidikan politik dibutuhkan,” sebutnya.
Bobby, sapaan akrab Walikota Medan tersebut, menyatakan anak muda bisa menciptakan sejarah baru.
“Kaum muda bisa menciptakan jalur politik baru. Bisa menciptakan tren politik baru. Ayo, buat kesempatan di dunia politik. Program-program pemerintah bisa berjalan dengan baik jika kaum muda melek dan mengerti politik,” katanya.
Dia pun menyebutkan bahwa kerja sama dari gereja dan kaum muda dapat menciptakan situasi yang kondusif dalam melaksanakan program-program pemerintah.
“Program-program pemerintah bergantung sekali dengan peran rumah-rumah ibadah, seperti gereja, dan umat, termasuk kaum mudanya, untuk bisa menciptakan karakter persatuan dan berpolitik bersama-sama. Karakter-karakter tersebut menciptakan suasana kondusif untuk pemerintah dapat menjalankan program-program tersebut, sehingga menciptakan kedamaian,” ujarnya.
Dalam sesi seminar ini, Benny, sapaan akrab pakar komunikasi politik tersebut, menyebutkan bahwa politisasi dan perpecahan akibat situasi politik di Indonesia, bahkan di dunia, benar adanya.
“2024 akan menjadi tahun politik magis, yang penuh kekerasan, penuh manipulasi agama, memecah belah masyarakat dan mengancam keutuhan negara serta eksistensi Pancasila sebagai dasar negara Indonesia,” serunya.
Salah satu rohaniwan Katolik itu menyatakan sikapnya mengenai orang Katolik dan perjalanannya dalam sejarah Indonesia.
“Dulu, banyak pemuda yang masuk dalam gerakan kemerdekaan Indonesia, Yos Sudarso, misalnya, tetapi semenjak masa Orde Baru, umat Katolik malah menjadi bermain sendiri di lapangannya sendiri. Sibuk sendiri dengan urusan altar, dan tidak masuk ke dalam massa; orang Katolik berubah menjadi pragmatis,” ujar Benny.
Benny menyebutkan tokoh Romo Mangun sebagai tokoh inspirasi.
“Romo Mangun menyadari bahwa gereja katolik dapat tumbuh menjadi kepompong, kehilangan budaya kritis dan membaca, sehingga umat menjadi tidak berani keluar, berpikir instan, hanya berteori, tetapi tidak mau melakukan aksi,” bebernya.
“Anda percaya kepada Yesus, maka anda harus berani memanggul salib sampai Kalvari; anda harus melakukan panggilan menjadi terang dan garam dunia, menghadirkan Kerajaan Allah di dunia ini. Tahun politik di Indonesia ini merupakan momentum yang sangat baik untuk melakukan panggilan itu di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara,” tandasnya.
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP menyebutkan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara merupakan hal yang penting.
“Pancasila cerminan hubungan manusia dengan Allah dan manusia dengan sesama manusia. Saat manusia beriman dan mencintai Tuhan, dia akan mencintai sesamanya. Karena mencintai sesamanya, dia akan menghargai hak dan kewajiban sesamanya, sehingga menciptakan persatuan dan keadilan sosial. Ini adalah habituasi Pancasila,” kata Benny.
Benny pun menutup paparannya dengan sebuah seruan.
“Orang katolik, mau jadi apa? Pragmatis dan diam serta senang bermain sendiri, atau bergerak dan melakukan panggilannya di Indonesia, menjaga Pancasila dan NKRI? Hanya mau menjadi bisu dan meratapi diri sebagai minoritas? Jangan kita menyembunyikan talenta kita karena kita minoritas. Mari usahakan talenta tersebut demi perdamaian dan keadilan sosial di Indonesia,” tutupnya.
Yunarto Wijaya menyatakan data dan hasil survei untuk memberitahukan fakta di lapangan menjelang tahun politik 2024.
“Mau tidak mau, gereja terpengaruh dengan situasi politik yang kian memanas ini. Gereja harus tahu bagaimana berani dan mengambil sikap dengan semua ini,” katanya.
Dia pun menjabarkan bahwa ada tiga fakta yang tercermin dari data dan hasil survei.
“Pertama, polarisasi dan keterbelahan itu masih ada sampai sekarang, dan itu mempengaruhi semuanya, baik mayoritas, secara suku dan agama, ataupun minoritas. Kedua, karena adanya polarisasi tersebut, politik identitas masih sangat laku dijual di Indonesia, dan yang ketiga, saat politik identitas itu laku, maka kita akan melihat ada calon-calon pemimpin yang menggunakan politik identitas juga,” jelasnya.
Yunarto pun mengingatkan kepada peserta seminar.
“Sebagai warga negara Indonesia, kita harus bersikap. Kita bebas memilih, tetapi lewat pemilu ini kita tidak boleh membawa perpecahan serta mencetak politisi yang memakai politik identitas,” tandasnya.