Jakarta – Praktisi Pengamat Sosial, Hokkop Situngkir menyoroti fenomena kelompok Filantropi di Indonesia. Filantropi merupakan aktivitas sosial dari orang/kelompok yang mempunyai tujuan bersama baik kepada manuasia maupun mahluk hidup lainnya dengan melakukan aktifitas sosial.
Pendiri dan Direktur Eksekutif IDNextLeader Foundation ini menjelaskan bahwa secara undang-undang, pemerintah telah mengatur keberadaan lembaga filantropi.
“Karena itu sudah seharusnya pengawasan dari pemerintah juga dilahirkan. Masyarakat yang mengorganisir sebuah lembaga filantrophy, sebaiknya melengkapi diri dengan laporan keuangan dan kegiatan meski bentuk perkumpulan yang ada hanya semacam paguyuban.” tegas dia, hari ini.
Hokkop juga mengingatkan bahwa penyalahgunaan kerja dan fungsi lembaga Filantropi bisa saja terjadi.
“Misalnya sebuah lembaga Filantropi yang pada awalnya hanya mengorganisir diri, namun kemudian berkembang menjadi sebuah lembaga Filantropi dengan SK dari kemenkumham hingga pendanaan dari luar. Sekarang ini ada ribuan lembaga filantrophy dengan berbagai status baik yang sudah berbadan hukum maupun belum namun sudah mulai menerima bantuan.” tandasnya.
Diketahui, temuan PPATK yakni ada 176 lembaga Filantropi yang melakukan penyelewengan. Ia pun menyinggung bahwa seharusnya pemerintah bisa menjaring sejak awal.
“Jangan-jangan sudah lebih dari 176 bahkan bisa mencapai ribuan. Jika PPATK sudah menemukan data itu, berarti harus dimulai dari hulu, sudah harus dilakukan penjaringan lembaga-lembaga filantropi.” tukasnya.
Hokkop juga meminta pemerintah agar mampu mensortir atau mendeteksi, lalu lebih lanjut melakukan evaluasi dan tindakan preventifnya. Ia menilai bahwa temuan yang baru saja ada, tidak menutup kemungkinan pada tahun-tahun terdahulu sebenarnya lebih banyak aksi penyelewengan yang terjadi.
” Belakangan yang marak dimedia massa adalah temuan penyelewengan penggunaan anggaran bantuan sosial yang diperoleh dari masyarakat luas atau badan milik pemerintah dan swasta untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti pendanaan aksi gerakan separatis, terorisme, dan gerakan anti NKRI maupun tujuan tertentu lainya ditanah air. Ini ditemukan setelah adanya penjaringan (investigasi) terhadap lembaga filantropi yang dicurigai melakukan penyelewengan penggunaan anggaran yang digalang.” beber dia.
Hokkop meminta masyarakat juga ambil oeran dengan berhati-hati dalam penyaluran dana bantuan.
“Belajar dari pengalaman itu masyarakat juga harus berhati-hati dalam menyalurkan dana bantuan terhadap sebuah lembaga filantropi. Mungkin mereka itu mintanya juga dari instansi negara atau lainnya, padahal mereka itu menggunakan dananya untuk tindakan tertentu, misalnya ada yang anti NKRI, terorisme dan kelompok-kelompok untuk tujuan tertentu, seperti aksi penyekapan di Papua.” jelasnya.
Hokkop mengingatkan bahwa bisa saja awalnya lembaga filantropi yang melakukan, namun kemudian ternyata ada jejaring yang melakukannya namun masih terhubung dengan lembaga flantropi tersebut.
“Ini biasanya terjadi di pedesaan. Karena itu Pemerintah berhak bertindak atas temuan PPATK terhadap 176 lembaga filantropi yang melakukan pelanggaran itu meski dianggap melanggar HAM.” tegasnya.
Hokkop juga menekankan soal adanya lembaga filantropi baik berbentuk yayasan maupun NGO yang disinyalir menggunakan anggarannya untuk kegiatan-kegiatan yang melawan berbagai kebijakan pemerintah atau bergerak dibidang politik, dan sudah ada sejak lama.
“Hanya saja lembaga-lembaga itu selama ini bekerja sendiri hingga kemudian akhirnya terlihat berada dikelompok yang kritis terhadap pemerintah (kubu oposisi) bersama kelompok politik lainnya. Tidak bisa disangkal hal itu akan terjadi, namun kita bisa melihat keberadan lembaga filantropi itu memiliki sumber dana dari mana, bertujuan untuk apa, dan sifat/program yayasan.” beber dia.
Lebih lanjut, Hokkop menjelaskan terkait pemanfaatan lembaga filantropi dengan mengatasnamakan dmokrasi namun ternyata untuk kepentingan politik atau pribadi.
“Saya melihatnya ini bisa dibagi tiga, ada yang memang benar-benar menyalahi perundang-undangan, ada yang ada yang menyalahi kaidah dilingkungan masyarakat itu sendiri, dan ada yang memang mengikuti kearifan lokal daerah. Secara undang-undang tidak ada yang bisa disalahkan jika kelompok filantropi tersebut menggunakan anggaran yang sahih, melakukan kegiatan sosial, dan laporan keuangan/anggaran yang memang bisa diaudit oleh pemerintah atau lembaga manapun.” tandas dia.
“Kalau sebuah lembaga filantropi ternyata ditemukan melakukan program kerja politik padahal aktivitas kegiatan yang dilakukan adalah program sosial bagi masyarakat, serta apakah sumber dananya bisa diperiksa atau tidak, dan apakah ada relasi antara program kerja dengan praktek kerjanya, maka Negara perlu untuk hadir melakukan penjaringan, pendisiplinan sehingga masyarakat tidak menjadi resah.” sambungnya.
Ketika ditanya terkait keberadaan lembaga filontropi apakah harus legal atau boleh tidak legal, Hokkop meminta pemerintah harus mengakomodir dua status organisasi ini. Namun yang jelas sudah ada aturan untuk pemberitahuan terhadap suatu kelompok yang hendak melakukan perkumpulan/kegiatan untuk memberitahukan/melapor kepada pihak terkait (kemenkumhan, RT, dsb). Tujuan pemerintah dalam hal ini jelas bukan untuk membatasi karena untuk mengadakan kegiatan berkumpul tidak dilarang.
“Diluar dari UU, ada hukum masyarakat an adat yang juga mengatur keberadaan sebuah lembaga filantropi. Kelompok kearifan local bahkan juga diakui oleh undang-undang kita. JAdi sebuah lembaga filantropi tidak harus berbadan hukum.” tukasnya.
Hokkop juga menginfokan terkait perizinan dan penyalahgunaan fungsi kerja ada yang dilakukan untuk kepentingan koorporasi dan cenderung berbetrokan dengan kelompok lain atau bahkan pemerintah. Ia mengatakan bahwa ini memang terjadi dan praktek sosial yang kompleks ini terjadi dimasyarakat dan berakibat menyudutkan nama pemerintah hingga tercoreng ditingkat internasional.
Di sisi lain, Hokkop juga menjelaskan bagaimana kita harus bertindak, yakni bisa mengacu pada penyelesaian (Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi atau BRR) pada masalah bencana Aceh dan Nias serta saat tsunami Aceh dan gempa di Yogyakarta.
“Banyak lembaga filantropi yang ikut terjun ke Aceh dan Yogya tapi kemudian dalam prakteknya banyak penyelewengan yang terjadi yang dilakukan oleh kelompok yang tidak jelas . Banyak NGO (Non Government Organization) yang masuk berikut dana yang diperuntukan membangun rumah singgah, taman bacaan, pemulihan piskologis dan sebagainya namun pada saatnya ternyata banyak penyelewengan yang terjadi. Saya lihat disitu ada peran Negara karena dengan keberadaaan BRR yang masih dibawah koordinasi Negara seharusnya anggaran yang masuk dan digunakan bisa diaudit , sehingga Negara bisa melihat NGO mana saja yang bisa masuk dan menelusuri penggunaan dananya.” bebernya.
Kondisi darurat disaat bencana memang menjadi salah satu kendala saat itu. Sehingga harus bergerak cepat dengan menggunakan dana taktikal. Namun kedepan, Negara bisa melakukan sosialisasi aturan, penyaringan, edukasi, dan tindakan bagi NGO yang akan terlibat dalam penanganan bencana atau lainnya. Namun hal ini tidak cukup hanya dikerjakan oleh kalangan intelejen, butuh dukungan dari pihak lainnya.
Supaya dari kalangan masyarakat dengan kelompok filantropi tidak merasa terbatasi hak dasarnya sementara pemerintah/Negara tetap dapat memiliki kekuatan hukum dalam mengasawi atau menindak kelompok filantropi yang melanggar hukum, tinggal pola kolaborasi yang lebih diperkuat serta mempertegas batasan/ukuran dalam penerimaan sumber dana yang mengalir ke kelomok-kelompok filantropi.
“Pemerintah harus hadir dengan cepat untuk dapat mengakses sumber dana sebuah kelompok filantropi yang dicurigai melakukanpenyelewengan dan meresahkan masyarakat. Kalau saja badan pengawas filantropi dihadirkan, tidak hanya Kemendagri, Kemenkumham, Polri, dan badan intelijen lainnya bisa saling berinteraksi dan bekerjasama mungkin Negara tidak akan kecolongan dengan kehadiran NGO (kelompok) yang mengatasnamakan filantropi tapi faktanya melakukan penyalahgunaan anggaran dan fungsi kerjanya yang meresahkan masyarakat.” jelas dia.
Ketika kelompok itu dibentuk, Hokkop menjelaskan bahwa mungkin saja ada tudingan Negara melakukan pembatasan otoriter atau pelanggaran HAM karena melakukan pembatasan untuk berkumpul/berorganisasi.
“Tapi ini harusnya ini bisa disikapi positif oleh masyarakat karena ini bukan dalam rangka membatasi kegiatan berkumpul/berorganisasi tapi mendidik bagaimana cara berorganisasi yang tepat.” jelas dia.
Ia mencontohkan Swedia, merupakan salah satu Negara yang pernah menerapkan pengawasan terhadap lembaga-lembaga filantropi.
Sebagai penutup, Hokkop menjelaskan bahwa negara memang harus bisa hadir di tengah tujuan suatu komunitas. Baik sebagai penyokong maupun pengorganisir.
“Saya rasa Negara harus tetap bisa hadir sebagai pengayom untuk semua tujuan komunitas apapun itu. Kalau diap positif negra harus hadir sebagai penyokong dan pendukung, membuat mereka rapih mengorganisir dirinya. Kalau dia negative Negara harus hadir juga membayaginya untuk menjadi positif, jangan langsung dbredel. Harus ada tindakan tarik ulur dari pemerintah. Siapa tahu memang pemahamannya yang kurang karena keterbatasan informasi, dan sebagainya. Tapi kalau sudah sangat negatif sekali sampai sudah meresahkan masyarakat, Negara harus hadir memberikan tindakan dan pemberitahuan kepada semua secara terbuka dan keseluruhan kalau memang ini dibatasai karena berbagai alasan yang ada.” tandas dia.
Ia juga meminta agar diperkuat kolaborasi antara beberapa elemen dan pemerintah untuk mengatasi ini.
“Yang kita lihat sering dilakukan tapi tidak ada alasan yang disampaikan. Sehingga munculah dugaan/isu Negara telah bersikap otoritarian dan sebagainya. Terkesan sederhana tapi ini tidak mudah dan merupakan kerja berat karena tidak mudah menghadapi ribuan suku dan komunitas dari berbagai daerah diseluruh Indonesia. Perlu ada kolaborasi dari masing-masing pihak dan pemerintah.” pungkasnya.