Keluarga korban meninggal dunia dalam tragedi Kanjuruhan, Wiyono memberikan tanggapannya terkait putusan bebas terhadap dua polisi terdakwa dalam perkara ini. Wiyono sendiri harus kehilangan salah satu anaknya dalam tragedi tersebut, yakni Vera Puspita Ayu.
Wiyono mengaku telah mendengarkan putusan hakim terhadap para terdakwa melalui layar televisi. “Saya hari ini sudah menyatakan inkrah atau saya tidak akan menuntut hukum apa pun. Keputusan dari hakim itu tetap kita hormati,” kata Wiyono saat ditemui wartawan di Kota Malang.
Meskipun demikian, Wiyono tetap menuntut kemanusiaan dan kesejahteraan bagi para keluarga korban. Pasalnya, ada beberapa keluarga yang harus memenuhi tanggung jawab setelah ditinggalkan para korban. Terlebih lagi, Vera diketahui telah banyak membantunya di kehidupan keluarga.
Menurut dia, kepergiannya anaknya sudah bagian dari kehendak Allah SWT. Sebab itu, dia sudah mengikhlaskan kepergian anaknya. Hal ini karena kejadian tersebut termasuk musibah yang tidak dapat dihindari.
Di sisi lain, Wiyono tak menampik, perasaan kecewa atas putusan hakim terhadap para terdakwa. Namun, dia berusaha menghormati putusan hakim dan ikhlas menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah SWT.
“Tetapi kalau keluarga lain misal mau banding, monggo. Silakan. Kalau saya tidak, saya sudah mengikhlaskan anak saya meninggal karena tragedi Kanjuruhan,” kata dia menambahkan.
Dua polisi yakni, mantan Kasaat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi dan eks Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto divonis bebas, sementara mantan Danki I Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan dijatuhi hukuman 1,5 tahun penjara.
Sekjen Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Andy Irfan mengatakan, putusan tersebut menggambarkan hakim yang menyidangkan perkara tersebut hanya menjadi alat ‘cuci piring’ bagi kepolisian. Vonis tersebut juga disebutnya menjadi preseden buruk bagi sistem peradilan, dan menimbulkan keraguan bagi masyarakat yang ingin mencari keadilan.
“Putusan ini menggambarkan bahwa hakim hanya sebagai alat pencuci piring bagi polusi. Ini adalah tragedi bagi sistem peradilan kita. Ini juga tragedi bagi siapapun orang yang ingin menuntut keadilan,” ujarnya.
Putusan tersebut, Andy Irfan melanjutkan, menegaskan dugaan awal bahwa persidangan yang digelar dalam perkara tersebut hanya sandiwara.
“Itu semakin mengkonfirmasi dugaan kami dari awal bahwa ini sidang sandiwara. Peradilan ini peradilan sesat,” kata Andy Irfan.
Namun tidak semua keluarga korban setuju atas apa yang disampaikan Andy Irfan. Bahkan dirasakan ada upaya-upaya dari pihak tertentu yang memanfaatkan tragedi Kanjuruhan Malang ini menjadi momentum mencari panggung.