Oleh: Abdul Ghopur
Generasi milenial merupakan kelompok penting dan utama dalam demokrasi Indonesia saat ini, khususnya yang berkaitan dengan aktifitas mereka di ragam media sosial (medsos). Karakter muda atau milenial sangat potensial dalam memajukan demokrasi yang tengah berlangsung. Sebab, mereka memiliki semangat yang sangat tinggi (emosional), berpikir besar dan memiliki mimpi yang besar pula. Karakter milenial mempunyai banyak sikap positif dalam beberapa hal antara lain, bekerja cepat (instan), suka perubahan dan kreatif-inovatif (artinya suka mengadopsi nilai-nilai atau sesuatu yang baru), fairness, artinya mereka segera mengakui kesalahan apabila merasa salah, baik terungkap atau tak terungkap dan segera mengoreksinya, heroisme sekaligus “Megalomania.”
Sisi minus atau negatifnya adalah karena suka melakukan sesuatu secara cepat, karakter milenial cenderung tergesa-gesa dan mengambil suatu keputusan tanpa analisa mendalam, karena instan. Generasi milenial cenderung mudah galau (melodramatik), cepat putus asa, kurang mau mendengar, kurang mendalam tingkat analisisnya, kurang pengalaman, kurang bijaksana terhadap situasi dan kondisi yang dihadapinya, serta mudah terpengaruh oleh lingkungannya baik lingkungan sosial sekitarnya maupun lingkungan (sosmed). Misalnya, terpengaruh tontonan di Youtube, terpengaruh ceramah-ceramah yang provokatif oleh sosok orang yang mengaku pandai atau paham agama. Karena kurang ilmu dan pengalaman tadi, generasi milenial mudah tervirusi ajakan-ajakan yang cenderung provokatif yang diajarkan “pendakwah” di Youtube. Misalnya, ajakan untuk memusuhi dan menghina agama orang lain, bahkan paham orang lain meski masih satu akidah atau seagama sekali pun! Sekali lagi, karena kurang pengalaman dan pendalaman ilmu (dalam hal ini ilmu agama), maka generasi milenial sangat mudah membenci bahkan memerangi orang lain yang dianggap tidak sesuai dengan pandangan mereka. Apa yang sesungguhnya terjadi adalah mereka memahami agama hanya berdasarkan teks semata tanpa melihat konteks (asbabunnuzul) atau substansi dari ayat-ayat dan ajaran agamanya. Mereka lupa inti dari ajaran agama itu sendiri, yaitu kasih sayang (rahmatan lil’alamiin).
Contoh lainnya, dalam konteks kehidupan demokrasi yang tengah kita jalankan di republik tercinta ini, yang sudah barang tentu di dalam berdemokrasi pasti terjadi pro dan kontra. Dengan karakter minus dari generasi milenial tadi, mereka tidak mau mendengar pendapat atau pandangan dari kelompok yang mereka anggap kontra dengan mereka. Mereka hanya mau mendengar dan menerima pandangan yang pro dengan mereka saja. Seolah-olah, kebenaran itu hanya berdiri sendiri dan mutlak, padahal di dunia ini tidak ada kebenaran yang mutlak. Sebab, kebenaran yang mutlak hanyalah dari Tuhan Yang Maha Esa saja dengan segala ke-Maha-annya. Padahal, dalam konteks demokrasi, agama, budaya, dan lain-lain, semuanya berhubungan atau berhadapan dengan manusia (dealing with people). Dan, manusia merupakan tempatnya salah dan lupa (khilaf). Artinya, kebenaran seseorang tentu dibatasi oleh kebenaran orang lainnya.
Tapi tidak terjadi dalam konteks keberagamaan kita dewasa ini yang memiliki persoalan cukup memperihatinkan setidaknya dua dasawarsa belakangan. Adanya fenomena keberagamaan yang mengedepankan perilaku normative approach (penghayatan normatif) sebagai dampak dari pemahaman agama yang sempit (scriptural) dan fanatis. Tanpa melihat persoalan-persoalan substansial lainnya (misal: sejarah, peradaban, iptel, dan lain-lain). Apa buktinya? Bom bunuh diri terjadi di mana-mana adalah buktinya. Jika ada penganut keagamaan berani bunuh diri dan meledakkan bom, maka sesungguhnya tesis “Atas Nama Iman, Atas Nama Teks” dan “Berperang Demi Tuhan, Berperang Demi Agama” tengah mengalami faktualisasinya. Inilah potret mutakhir hari-hari ini kita menyaksikan bom dan ancaman terorisme tak berkesudahan di mana-mana. Sebuah zaman yang menandakan lahirnya kekuatan fundamentalisme.
Identitas dan bahasa politik fundamentalisian amat kuat dimiliki oleh para aktifis penegak masyarakat teks dan kemlompok-kelompok sosial yang mendukungnya. Dalam Islam misalnya, ada semangat keberislaman rigid yang dihayati oleh mereka dan dikuatkan atau dibentuk lewat doktrin kaffah, yakni keutuhan untuk menjaga dan memasuki agama (Islam) dengan sebenar-benarnya atau semurni-murninya. Penegakkan syari’at Islam misalnya adalah suatu kewajiban bagi mereka (nagara khilaafah misalnya). Keyakinan ini di Indonesia sebagai kasus studi, diperkuat oleh adanya kenyataan historis akan Piagam Jakarta yang selalu “tersandung” dalam lembaran kehidupan politik bangsa sehingga meninggalkan noda hitam dalam memori kolektif mereka hingga menuntut “pembersihan-realisasinya” secara cepat-tepat. Meski pun realitasnya mereka belum tentu benar-benar mau melaksanakannya (setuju dengan ide penegakan syari’at Islam oleh konstitusi negara) kecuali sekelompok kecil saja.
Hal ini pun diperkuat dengan ingatan akan runtuhnya Khilaafah Islamiyyah di Turki awal abad ke 20. Tahun-tahun awal abad 20, Islam yang dipimpin oleh penguasa tunggal (khaliifah) di Turki telah tumbang oleh penjajahan bangsa Eropa. Inggris menguasai Irak, Mesir dan Sudan. Prancis menguasai Suriah, Al-Jazair, Tunisia dan Libanon. Puncak kejatuhan Khilaafah Islamiyyah di Turki pada tahun 1924-1925 adalah dibubarkannya lembaga negara berbasis keagamaan oleh Mustafa Kemal Atatürk. Semua urusan keagamaan wajib dipisahkan dari urusan kenegaraan (sekulerisme).
Sementara tidak demikian dengan Indonesia. Di saat ulama-ulama di jazirah Arab belum dapat membaca gejala ini (baca: rontoknya satu-persatu negara-negara di bawah kekuasaan Khilaafah Islamiyyah), Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari (salah-seorang ulama paling masyhur Nusantara) dapat membaca gejala yang terjadi di Turki dan beberapa jazirah Arab lainnya, yaitu keruntuhan Khilaafah Islamiyyah. Maka dengan ijtihad cerdasnya segera Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari memfatwakan “Hubbul Wathon Minal Iman” yang artinya cinta tanah air bagian dari iman atau nasionalisme bagian dari iman. Menurutnya, agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan. Nasionalisme yang Ia bangun bukanlah sekedar nasionalisme yang sempit kering (chauvinism). Artinya, di situ Ia kombinasikan antara nilai-nilai spiritual agama dengan kebangsaan yang saling melengkapi, tidak sekuler. Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, meski pun berbeda-beda agama dan kepercayaan (Bhinneka Tunggal Ika).
Pandangan demikian didasari oleh pandangan dan dalisertal qoidah fiqh antara lain yang berbunyi: “Maa Laa Yatimul Wajib Ila Bihi Fahua Wajib” yang artinya: “Sesuatu yang menjadi sempurna karenanya, maka ia menjadi wajib” atau “Sesuatu yang tidak sempurna sebuah kewajiban kecuali dengan adanya sesuatu itu, maka hukumnya menjadi wajib pula,” atau “Segala perkara yang menjadikan syari’at terlaksana maka hukumnya menjadi wajib atau setara dengan syari’at itu.” Misalnya, jika ingin menegakkan hukum Islam diantaranya sholat lima waktu maka perlu tanah air untuk melaksankannya. Bayangkan jika kita tidak punya tanah air (karena dijajah asing) maka kewajiban syari’at agama (sholat) sulit terlaksana. Maka dengan sendirinya hokum mencintai tanah air adalah wajib dan bagian dari keimanan seorang muslim agar dapat menegakkan hukum Allah.
Sehingga, menegakkan sistem Khilaafah Islamiyyah yang tanpa sekat batas wilayah dan negara dan memilih seorang Khaliifah untuk memimpin seluruh umat muslim di dunia menjadi tidak relefan lagi. Lagi pula, dalam Al-Qur’an tidak ada terminologi “ummat Islam” atau “ummat Arab,” apalagi “Khilaafah Islamiyyah,” yang ada adalah “ummat pertengahan” (umat yang moderat) sbegaiaman dijelaskan di surat Al-Baqarah ayat 143. Untuk menjadi umat moderat sudah barang tentu membutuhkan kecerdesan (ijtihad). Penjelasan tentang “Khaliifah” secara esensial berarti penerus, atau seseorang yang memegang posisi yang sebelumnya dipegang oleh orang lain. Akan tetapi, kata ini tidak terbatas pada konteks otoritas politik saja. Jadi, seorang Khalifah (Caliph) bukan saja berarti penerus dari pemerintah yang terdahulu, tapi juga seorang yang secara definitif ditunjuk sebagai wakil dan diberi otoritas oleh orang yang telah menunjuknya. Atau lebih kurang sama artinya dengan wakil, atau naib (vicegerent). (Lihat, Montgomery Watt, Islamic Political Thought, hlm. 32-33). Secara historis, kaum Muslimin di era awal Islam telah mempergunakan istilah “Khaliifah” untuk keempat penguasa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Dalam arti yang sebenarnya, Khaliifah adalah seorang yang menjalankan pemerintahan sebagai pengganti Nabi. Abu Bakar bin Siddiq suatu saat disapa seseorang yang bertanya: “Apakah Anda wakil dari Rasulullah SAW.?” Lalu, Abu Bakar menjawab: “Tidak.” Orang itu bertanya lagi,: “jadi, Anda ini siapa?” Abu Bakar lantas menjawab: “Saya adalah penerus dari Nabi.” (Lihat, Ibnu Assir, Al-Nehaya, volume 1, hlm. 315).
Pertanyaannya kemudian, lalu bagaimana dengan Pancasila? Apakah sudah cukup mewakili dan bias dijadikan pedoman bagi (Islam) Indonesia? Pancasila sejatinya merupakan penerapan syariat Islam secara substansial yang juga berarti “kebangkitan Islam,” setidaknya sejak era Founding Father atau sejak pertama Pancasila dilahirkan dan disepakati. Jika semangat Khilaafah Islamiyyah (semangat penerapan hukum yang Islami) dimaknai dengan “kebangkitan Islam,” maka dalam konteks kultur humanisme (adat, budaya, dan antropologi) Indonesia, penerapan syariat Islam secara literlek an sich, maka akan mendapati kesulitan-kesulitan tersendiri pada penerapannya. Kenapa? Sebab, Indonesia memiliki kultur humanismenya sendiri, yang berbeda dengan kultur atau budaya bangsa lain seperti Arab Saudi misalnya, tapi bukan berarti hukum Islam tidak bisa tegak (dalam artikel lainnya akan penulis jelaskan).
Semangat Khilaafah Islamiyyah sendiri sesungguhnya mendambakan dan juga mengandaikan adanya pemimpin (Khaliifah) yang memimpin umat muslim di seluruh dunia dengan menerapkan syari’at atau hukum-hukum Islam (hukum yang Islami). Pertanyaannya, siapakah dia atau mereka yang layak diangkat sebagai pemimpin atau Khaliifah? Ciri atau kriteria yang seperti apakah yang layak menjadi Khaliifah? Apakah, dia atau mereka yang memiliki ilmu agama yang luas (Wali, Ulama, Syeikh, dan sebagainya.)? Apakah dia atau mereka yang memiliki kesucian diri (maksum), prihatin (wara’) dan mempunyai sikap suri tauladan (uswatun hasanah)? Ataukah dia atau mereka yang memiliki ilmu pegetahuan eksakta (ilmu pengetahuan modern) non “keagamaan” yang dari keilmuan atau keahliannya memberikan dampak kemanfataan yang baik bagi kesejahteraan umat manusia (misalnya, teknologi listrik/lampu, komputer, pesawat terbang, dan lain-lain)? Dus, apakah yang dimaksud Wali/Aulia, Ulama, Syeikh dan sebagainya selalu dalam pengertian yang dikonotasikan dengan ilmu tentang agama?
Dalam pengertian yang lebih luas, Wali atau Ulama dapat saja diartikan sebagai orang-orang yang berilmu. Kata “Ulama” sendiri berasal dari bahasa Arab yang merupakan kata jamak dari “’Alim/’Alimun” atau berilmu, yakni, ‘Alimun ‘Alimani Ulamaa. Artinya, dalam pengertian lughowi (bahasa) bisa saja seorang profesor di bidang teknologi tertentu disebut seorang ‘Ulama’ karena keilmuannya membuat sesuatu di bidang teknologi. Jadi, pengertian “‘Alim” atau “Ulama” dalam pengertian yang begini tidak melulu seseorang yang ahli ilmu agama saja. Hanya saja dalam konteks kultur masyarakat Indonesia yang disebut “Ulama” ialah seorang yang ahli di bidang agama (hafal/faham Al-Qur’an, Hadist, Fiqih, dll) dan suci lahir batin (Maksum dan Wara’).
Meskipun banyak penguasa dari dinasti Bani Ummayah berupaya untuk mengaitkan status Ilahiyyah kepada para penerus (Khaliifah), para ulama fiqih Sunni pada umumnya menganggap Khaliifah sebagai penguasa yang sah yang memerintah dan mengatur rakyatnya. Penunjukkannya tergantung pada kualitas-kualitas spesifiik yang harus dimiliki seorang penguasa, akan tetapi tidak ada kesepakatan universal tentang karakteristik-karakteristiknya. Sumber dari perselisihan ini berawal dari penyimpangan politik yang pertama di antara kaum Muslimin, yang pada akhirnya mendorong terjadinya perdebatan teologis yang terfokus pada isu kepemimpinan yang sah setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Bagaimana pun, saat teori Khilaafah belum disakralkan, dan baru terjadi sakralisasi pada masa dinasti Abbasiyah, di mana para ahli fiqih Sunni menciptakan dan memformulasikannya (Lihat, Ahmed Vaezi, “Agama Politik, Nalar politik Islam,” Citra, Cet. I, 2006, hlm. 77-78).
Lantas pertanyaanannya kemudian, bagaimana seharusnya generasi milenial harus bersikap dan bertindak di zaman modern penuh fitnah seperti sekarang ini (zaman now), zaman atau era kemajuan tekhnologi informasi (IT)? Mereka harus membekali dirinya dengan apa? Tentu iman dan taqwa (Imtaq) yang cukup mewadai, juga ilmu pengetahuan tekhlonologi (Iptek), di samping juga wawasan kebangsaan (sejarah nasional bangsa) atau nasionalisme. Generasi milenial juga harus mempunyai sifat selektifitas, terutama selektif terhadap informasi-informasi yang berkembang utamanya informasi di dunia maya yang belum terverifikasi benar atau salah, pas atau tidak pas, baik atau buruk, atau masih samar-samar, perlu chek and balancing atau chek and richek. Sehingga, tak mudah termakan provokasi isu pecah-belah, dan hoaks apalagi isu-isu murahan. Atau sebaliknya, jangan sampai kebanyakan informasi malah jadi bingung sendiri.
Selanjutnya generasi milenial harus membekali dirinya dengan skill (sesuai dengan minat-bakatnya), gunanya untuk menyeleksi informasi yang dibutuhkan. Berikutnya, generasi milenial perlu menanamkan serta mengembangkan sikap bijaksana dan ketenangan dalam menghadapi situasi yang berkembang serta menyaring informasi yang beredar. Dengan bahasa lain, tidak gampang emosional dan hanyut menanggapi isu yang berkembang terutama isu sentimen suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA) dan isu pecah-belah lainnya. Pancasila final dan mengikat. Dengan ketiga langkah ini mudah-mudahan generasi milenial makin bijaksana tanpa jumawa!
Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Waljama’ah (ASWAJA),
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bagsa; Inisiator Kedai Ide Pancasila.