Batu – Seminar Sosialisasi 4 Pilar Konsensus Kebangsaan diadakan di Gereja Sidang Jemaat Alah (GSJA) Maranatha Family, Kota Batu, Jawa Timur, Sabtu (01/07/2023). Dalam seminar itu, hadir Andreas Eddy (Anggota Komisi XI DPR RI), Antonius Benny Susetyo selaku perwakilan dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), dan Chrysta Andreas (pendeta), sebagai narasumber. Acara ini dimoderasi oleh Tri Wahyuni dan dihadiri oleh 350 peserta yang terdiri dari umat Kristen di Kota Batu dan sekitarnya.
Andreas Eddy membuka acara tersebut dengan berbagai pernyataan.
“Harus menjadi perhatian kita adalah bagaimana demokrasi Pancasila kita ini dapat menjadi pegangan dalam menghadapi pesta demokrasi tahun 2024,” ujarnya.
“Penting bagi kita semua menjadikan 4 Pilar Kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinekka Tunggal Ika, dan NKRI, sebagai pedoman menghadapi pesta demokrasi ini. Kita jangan terpolarisasi. Mari jadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang lebih dewasa dan betul-betul bisa mewujudkan Indonesia Emas tahun 2045,” ajaknya, seraya membuka seminar.
Antonius Benny Susetyo dalam paparannya menyatakan bahwa demokrasi Pancasila itu menjunjung tinggi kemanusiaan.
“Demokrasi Pancasila itu bicara rasa, rasa ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, dan keadilan. Rasa ketuhanan terwujud dalam rasa cintanya kepada Tuhan, sehingga rasa kemanusiaan itu ada; mencintai Tuhan berarti mencintai sesamanya. Mereka menjunjung tinggi martabat manusia; manusia tidak direduksi menjadi alat produksi. Hukum rimba tidak berlaku; hukum melindungi semua orang, sehingga tercipta persatuan, dan karena martabat manusia dianggap tinggi, maka keadilan, dengan hukum melindungi semua orang, tercipta. Itulah demokrasi Pancasila,” jelasnya.
“Demokrasi Pancasila seharusnya menjadi acuan kebenaran untuk melaksanakan politik di Indonesia, yang seharusnya menjadi acuan bagi elit politi,” serunya.
Pakar komunikasi politik ini menunjuk pada tantangan dalam menjalankan demokrasi Pancasila di masa ini.
“Masyarakat harus sadar bagaimana melihat media sosial. Media sosial seringkali menawarkan persepsi, bukan kebenaran. Persepsi belum tentu fakta; saat terus-menerus persepsi tanpa kebenaran ditawarkan, maka persepsi itu menjadi kebenaran,” tuturnya.
Benny, sapaan akrabnya, mengajak peserta untuk memiliki kemampuan memilah informasi yang ditawarkan.
“Masyarakat harus memiliki literasi digital, kritis, dan mengerti konsensus kebangsaan. Masyarakat seharusnya bisa menyatakan mana yang benar dan mana yang hoaks, bukan ditelan mentah-mentah (informasi) dan dianggap sebagai kebenaran. Kesadaran digital dan kritis serta konsensus kebangsaan menjadi sangat penting dalam era yang penuh kebohongan ini. Demokrasi Pancasila tidak boleh seharusnya menghancurkan karakter hidup berbangsa,” ujarnya.
Dalam menyambut pemilu 2024, budayawan dari Malang ini menyerukan agar peserta menjadi pemilih yang cerdas.
“Pemilih yang cerdas kritis, sadar literasi media dan kebangsaan, serta sadar dapil dan calon-calon serta peluangnya. Jangan karena belas kasih, atau rasa kedekatan, atau karena rupawannya; lihat rekam jejak, lihat cara kerjanya, lihat program-programnya, lihat peluang kemenangannya.”
“Kalau salah pilih pemimpin, kita akan mengalami kegagalan. Jangan mudah kesengsem, tetapi lihat semuanya. Jangan sampai kita gagal menyambut tahun Indonesia emas 2045,” tutupnya.
Chrysta Andreas, dalam paparannya, mengajak untuk peserta, yang merupakan umat Kristen, untuk terlibat dalam kehidupan politik.
“Masyarakat Kristen tidak mau terlibat, padahal, politik juga menentukan peraturan-peraturan yang ada di sekitar kita. Kalau tidak menjadi pemilih cerdas ataupun terjun ke politik, maka peraturan akan dibuat oleh orang-orang lain,” ujarnya.
“Pancasila itu harus betul-betul dihidupi oleh orang-orang di Indonesia. Dari zaman dahulu, kita sudah beragam. Dicatat di kitab-kitab zaman Majapahit, sudah banyak suku dan agama yang bekerja sama. Indonesia harusnya menjadi negara yang seperti itu: negara yang bekerja sama lintas agama dan suku bangsa di Indonesia,” tutupnya.