Jakarta- Transparansi Internasional Indonesia (TII) menyebut pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami kemunduran. Hal itu terlihat dari tren pemberantasan korupsi dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2022 berada di skor 34 atau turun empat poin dari tahun sebelumnya.
“Tahun 2022 lalu kita shock karena turunnya 4 poin. Hal ini sempat direspons secara khusus oleh Presiden Jokowi,” kata Sekjen Transparansi Internasional Indonesia, Danang Widoyoko dalam Diskusi Akhir Pekan Titik Temu di Rumah Kebudayaan Nusantara (RKN), Jakarta, Sabtu (23/7/2023).
Terkait hal itu, kata Danang, Presiden Jokowi memerintahkan penegak hukum untuk memberikan peringatan serius terhadap masalah ini. Menurut Danang, salah satu hal Indonesia mengalami kemunduran dalam pemberantasan korupsi karena dipicu dengan pelemahan-pelemahan institusi yang melakukan pengawasan korupsi.
“Seperti 2019 lalu dengan revisi Undang Undang KPK. Meskipun banyak orang tidak setuju tetapi itu melemahkan KPK,” tegasnya.
Padahal, menurut Danang, KPK sebelum revisi undang-undang itu adalah lembaga independen. Namun, setelah revisi dilakukan, KPK justru menjadi bagian dari pemerintah.
“Artinya kewenangan melakukan pengawsan akan terbatas. Ditambah lagi pegawai KPK menjadi ASN, dimana sebelumnya KPK didesain menjadi lembaga yang relatif modern dengan standar kinerja yang jelas dan terukur,” kata Danang.
Pelemahan itu, kata Danang, tidak hanya di KPK tetapi di lembaga hukum yang lain seperti Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satunya dengan usia jabatan hakim MK sampai dengan 70 tahun.
“Itu kan semacam kooptasi terhadap MK yang sebelumnya cukup powerfull untuk mengawasi pemerintah dan DPR dalam membatalkan undang-undang,” ujarnya.
Selain itu, Danang melihat civil society juga mengalami pelemahan dengan kondisi media massa yang kurang daya kritisnya. Menurutnya, media massa sebetulnya belum ketemu model bisnis yang tepat dan berkelanjutan.
“Ambil contoh begini, media yang paling kencang mengawasi pemerintah misalnya Majalah Tempo. Majalan Tempo makin lama makin tipis, ini indikasi iklannya makin sedikit,” ucapnya.
Sedangkan pengamat politik Ray Rangkuti mengatakan, turunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) ini menunjukkan fakta yang sebenarnya. Menurutnya, jika indeksnya turun hal itu berarti memang faktanya makin besar tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia.
“Itu realita, misalnya orang mau ngurus apa kok masih pakai duit, mau ini mau pakai duit dan seterusnya,” tegas Ray.
Ray menilai indeks persepsi korupsi itu meningkat juga bukan karena persoalan prakitinya yang makin luas. Tetapi orang makin sadar tentang definisi korupsi.
“Begini dulu kan kalau kita ngasih kasih istilahnya salam tempel ke petugas mana, kita merasa itu bukan korupsi gitu lho. Bukan pungli bukan apa, itu ya kewajaran saja kan, tetapi sekarang orang menganggap itu korupsi,” terangnya.