Jakarta – Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), lewat Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah-nya, menyatakan bahwa masyarakat harus bisa kritis memilih pemimpin yang bernilai Pancasila. Hal itu disampaikan dalam forum Seminar Kebangsaan GKI Samanhudi dengan tema ‘Menjadi Pemilih yang Kritis’, pada hari Minggu (13/08/2023).
Hadir dalam acara tersebut, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP, Antonius Benny Susetyo, Sekretaris I Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah (BPMSW) GKI Sinode Wilayah (Sinwil) Jawa Barat (Jabar), Darwin Darmawan, dan dimoderasi oleh Linda Tjindra, Ketua Ayo Nyoblos 2024 Gerakan Kebangsaan Indonesia.
Perwakilan dari penyelenggara, yaitu GKI Samanhudi, Rudi Kusnadi, menyatakan keinginannya yang besar agar seminar ini mendorong agar peserta menjadi pemilih kritis.
“Kita penting untuk berpartisipasi aktif dalam pemilu, ikut srta dan kritis bisa memilih dan memilah calon yang akan kita pilih. Dengan data dan fakta akurat, kita bisa memahami dan bertindak bijaksana dalam menggunakan hak kita,” katanya.
Dalama paparannya, Benny mengungkapkan bahwa tahun 2023 adalah tahun yang dipenuhi oleh pertarungan dalam menyambut tahun 2024.
“Isu SARA dimunculkan, memori-memori ‘kebanggaan’ masa lalu juga ditampilkan. Padahal, harus kita bisa lihat, apakah calon tersebut berani mengatasi radikalisme, terorisme, dan terhadap permasalahan-permasalahan kesejahteraan hidup. Dia bukan pemimpin yang mengekor kesuksesan orang lain, tidak punya sikap,” jelasnya.
“Kita wajib mempertahankan Pancasila. Calon pemimpin yang dicari harus yang memiliki nilai-nilai Pancasila. Itu ukuran untuk tahu kelayakkannya menjadi pemimpin. Dia harus bisa mengayomi, bukannya ada dibalik atau pernah menjadi tokoh radikalisme, terorisme dan permasalahan kesejahteraan hidup.”
Pakar komunikasi politik ini juga menyoroti generasi muda, yang menurut KPU RI, adalah kurang lebih 52% dari seluruh pemilih.
“Anak muda tidak mau dianggap remeh dan mereka sadar politik, karena mereka mendapatkan informasi. Mereka kritis. Tugas kita, tugas gereja, adalah bagaimana pendidikan untuk pemilih muda ini untuk bisa menjaga NKRI dan pancasila. Akses dan cara mereka menyaring berita harus diberikan kekritisan; mereka jangan dipaksa, mereka bukan subyek. Ajak mereka berpikir, mereka bisa bersuara dan menyalurkan aspirasi mereka. Dengarkan mereka dengan juga mengajak mereka berpikir kritis untuk memilih yang terbaik dari yang terburuk,” tuturnya.
Menurut Benny, Pancasila haruslah dipertahankan.
“Maka pemimpin yang dipilih harus memiliki Pancasila sebagai habituasi bangsa. Kita jangan sampai terpesona dengan kekilauan, tetapi memilih dengan kritis. Jangan mencari yang tidak berdosa, tetapi cari yang dosanya paling kecil,” tambahnya.
Kepada komunitas, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP ini juga menyatakan bagaimana komunitas gereja mengajarkan berpikir kritis.
“Kita harus punya logos: pengetahuan, rekam jejak, jejak prestasi, dan terlihat komitmen kesejahteraan rakyat. Kita harus punya ethos: semangat, memberikan pendidikan kepada warganya, untuk mereka kritis, dan kita harus punya pathos: empati, kita punya kepekaan dan rasa terhadap lingkungan. Kalau tiga-tiganya bisa komunitas kerjakan, pendidikan kritis dan nalar berpikir di lingkungan terjadi,” imbuhnya.
Dia pun menutup paparannya dengan sebuah seruan.
“Pemilu ini bukan mencari pemimpin yang terbaik, tetapi kita mencegah yang jahat untuk berkuasa. Cari pemimpin yang dosanya paling kecil. Pemimpin tanpa dosa itu utopis, maka carilah yang paling kecil dosanya. Carilah yang paling benar, bisa dan terbukti berupaya, menyelenggarakan kehidupan berdasarkan nilai-nilai Pancasila, tidak pernah terafiliasi dengan politik identitas, radikalisme dan terorisme.”
Darwin Darmawan menyatakan bahwa pemilu sebenarnya adalah wujud kedaulatan rakyat yang paling dilihat dan nyata di kehidupan masyarakat.
“Pemilu itu wujud paling kelihatan dari kedaulatan rakyat. Bagaimana rakyat bisa berdaulat dan mengelola negeri ini, lewat pemilu. Semua orang sama, yang tua ataupun muda, yang kaya atau miskin,” serunya.
Sekretaris BPMSW Sinwil Jawa Barat ini menyoroti bagaimana komunitas bertindak dalam dunia politik.
“Bukan politik praktis. Kita harus bersikap positif, kreatif, dan aktif terhadap politik, tidak negatif dan apatis. Kita dekatkan dengan politik kebangsaan dan kerakyatan. Kita melawan intoleransi, radikalisme, dan kebencian identitas. Jangan dipilih orang-orang seperti itu. Buatlah agar jabatan publik diisi oleh orang yang capable; menjadi pemilih yang kritis, jangan karena kepentingan, kita jadi pragmatis, lalu ‘mudah’ saja memilih,” jelasnya.
Dia pun menyatakan juga bahwa pemimpin yang dipilih haruslah pemimpin yang Pancasilais.
“Dia harus terbukti menghargai keyakinan agama yang berbeda-beda, menjunjung tinggi kemanusiaan atau HAM, tidak sektarian dan membangun persatuan, tidak otoriter, mau mendengar aspirasi rakyat, dan mewujudkan keadilan sosial,” tuturnya.