Oleh: Abdul Ghopur
Tak terasa sudah menginjak usia ke 78 tahun Republik Indonesia tercinta ini, sejak pertama kali diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Sebuah usia yang tak muda lagi untuk ukuran seorang manusia, tapi tak cukup tua untuk ukuran sebuah negara bangsa. Tentu banyak lika-liku dan dinamika yang telah dilalui bangsa ini dan akan terus berkembang mengikuti arus zaman. Sebuah negara bangsa yang dibentuk dan diproyeksikan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya oleh para pendiri bangsa (founding fathers). Di samping untuk tujuan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya serta melindungi segenap bangsa dan tumpah darah dan sebagainya, Republik Indonesia didirikan juga untuk tujuan melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, membangun perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pertanyaannya, sudah sejauh mana cita-cita proklamasi ‘45 yang didorongkan keinginan luhur para pendirinya itu tercapai? Apa ukurannya dan apa makna “merdeka” bagi rakyat Indonesia? Ini bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab, karena tiap orang memiliki perspektif dan cita-cita yang berbeda sesuai dengan posisinya masing-masing. Pertanyaan selanjutnya, di mana posisi bangsa kita sekarang? Tinggal berapa kekayaan bangsa kita hari ini? Berapa banyak potensi yang dimiliki bangsa ini? Jawabannya tentu beragam. Tetapi di atas segalanya, kita akan mafhum bahwa setelah melakukan evaluasi (autokritik/audit) sebagaimana biasa dilakukan dalam perusahaan-perusahaan—kita akan tahu bagaimana treatment dan arah pembangunan negeri ini ke depan (Indonesian Dream). Bagaimana Indonesia dibangun secara modern ke depan namun tetap mengedepankan nilai-nilai humanisme kebudayaan Indonesia (kultur dan natur-nya bangsa), serta tetap demokratis dan sesuai dengan amanat dan cita-cita Proklamasi 1945, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pembukaannya (Preambule).
Republik Indonesia dibangun dan dicita-citakan sebagai negara modern dengan pemerintahan yang demokratis berdasarkan Pancasila sebagai falsafah dan sumber dari segala sumber hukumnya. Yaitu suatu sistem pemerintahan-kenegaraan yang dapat menjamin (melindungi segenap tumpah darah) dan memastikan hak-hak masyarakat secara demokratis di pelbagai lini kehidupan. Sehingga, negara dan pemerintahan yang demokratis adalah yang mampu menjamin dan memastikan sektor-sektor kehidupan masyarakat (civil society) berjalan secara adil dan demokratis dengan sektor swasta (ekonomi pasar) sekali pun.
Dalam suatu tesisnya, Juan J. Linz dan Alfred Stepan (2001) menyebutkan, belum pernah ada, dan hampir pasti tidak mungkin ada, negara demokratis-modern yang terkonsolidasi dengan rezim ekonomi pasar murni. Sebab, setelah penguatan masyarakat sipil, pelembagaan masyarakat politik, pengutamaan hukum, pengefektifan birokrasi, fase kelima dari konsolidasi demokrasi adalah pelembagaan masyarakat ekonomi. Artinya, ketika ide demokrasi telah diwujudkan, fase berikutnya adalah mensejahterakan rakyat.
Konsep sejahtera sendiri memerlukan pemaknaan yang lebih riil melebihi kebutuhan akan kebebasan politik. Artinya, harus ada keniscayaan bahwa kewajiban utama konsolidasi demokrasi di masa transisi dan disrupsi adalah menciptakan “akselarasi kesejahteraan.” Meski pun, pada masa transisi kita tetap membutuhkan kestabilan politik dan keamanan, tetapi tidak melulu menyerahkan stabilitas politik pada militer. Melainkan suatu upaya bersama yang akan memberikan kenyamanan umum bagi seluruh kegiatan produktif di pelbagai lapisan sosial. Di sini produktivitas dan kegairahan kerja dapat ditingkatkan serta kepastian menikmati hasilnya bisa dicapai. Pengaruh positifnya, seperti yang kita rasakan, adalah pertumbuhan dan akumulasi hasil kerja yang terjadi hampir serempak, bukan saja di pelbagai golongan masyarakat, melainkan juga antar daerah. Kendati tentu banyak hal harus ditingkatkan, stabilitas politik dan keamanan itu seakan-akan berfungsi sebagai lapisan udara, dengan apa masyarakat secara bersama (bukan individual) bernafas mempertahankan hidup.
Namun, melihat fenomena global negara-negara di berbagai belahan dunia tak terkecuali Indonesia, kini justru terpuruk pada ekonomi yang sangat rendah. Dus, setelah hampir tiga tahun dilanda pandemi covid-19, makin menambah beban dan perlambatan (jika tidak ingin dikatakan kehancuran) ekonomi di tingkat nasional, regional dan global. Kemerdekaan berpolitik, usaha penegakan hukum, dan liberalisasi ekonomi yang ditempuh pemerintahan hasil pemilu (yang liberal) yang konon katanya “demokratis,” belum menghasilkan masyarakat sejahtera. Kegagalan ini dikarenakan mereka masih “berpusing-pusing” menikmati dan memperpanjang transisi serta menyerahkan pemaknaan dan realisasi kesejahteraan ekonomi pada teknokrat, politisi dan saudagar politik yang menjauhi rakyat. Para tekhnokrat ini menjalankan negara dengan landasan ideologi neoliberal yang terlalu mengandalkan utang luar negeri, menggantungkan diri pada lembaga ekonomi asing dan beriman pada ekonomi pasar.
Para tekhnokrat ini melupakan ekonomi domestik, menjual badan usaha milik negara dengan murah, mengobral sumber daya alam dan swasembada masyarakat secara sembrono dan membenci produk dalam negeri. Padahal, mengutip Juan J Linz dan Alfred Stepan (2001) serta Johan Norberg (Membela Kapitalisme Global, 2001), ada tiga alasan suatu negara yang sedang transisi untuk menjauhi madzhab neoliberal, pertama, sehebat apapun ideologi neoliberal, mereka masih memerlukan negara untuk berperan mensahkan seluruh transaksi ekonominya. Kedua, bahkan pasar yang paling hebat sekali pun pasti mengalami kegagalan-kegagalan pasar yang selalu harus dikoreksi agar ia berfungsi secara baik dalam rangka penyejahteraan masyarakatnya. Ketiga, demokrasi (liberal) menuntut persaingan bebas yang berpijak pada prioritas sekelompok kecil elit kaya raya (oligarki), bukan berprioritas pada masyarakat banyak.
Artinya, meskipun pemerintahan dipilih secara demokratis, tetapi bila ia menabrak konstitusi, melanggar hak individu dan minoritas (ekonomi under level), tidak mematuhi hukum serta tidak memberikan peningkatan pemenuhan hak dasar masyarakat dan pemerataan ekonomi rakyat, maka pemerintahan itu tidak layak disebut pemerintahan demokratis. Sebaliknya, hanya layak mendapat julukan sebagai pemerintahan seolah-olah demokratis (pseudo-demokratis), bahkan Olle Tornquist (1999) menyebutnya “demokrasi kaum penjahat rakyat.”
Pemerintahan model begini tentu harus kita jauhi, mengingat Indonesia sedang berjalan dalam lingkungan ekonomi yang tanpa batas (borderless economics). Sebab, pemerintahan pseudo-demokratis adalah pemerintahan nasional yang tidak lebih dari sekedar the transmission belts bagi investor kapitalis, atau sebagai institusi perantara yang menyisip di antara kekuatan lokal dan regional yang sedang tumbuh, serta terhimpit di antara mekanisme pengaturan global. Pemerintahan nasional akan limbo (bingung) memproyeksikan kebijakan pembangunan nasional karena minus evaluasi menyeluruh terhadap landscape pembangunan sumberdaya bangsa di pelbagai lini. Karena tidak memiliki lagi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan kurang mematuhi amanat dan cita-cita Proklamasi 1945, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pembukaannya (Preambule). Pembangunan nasional juga belum terlihat menghasilkan kualitas hidup manusia Indonesia yang kompetitif.
Padahal, landscape dan proyeksi pembangunan sumberdaya bangsa di pelbagai lini sangat penting. Tujuannya adalah antara lain: pertama, mengetahui gambaran umum arah pembangunan nasional (Indonesia outlook 2024-2029 at least) dalam pelbagai bidang. Kedua, evaluasi dan proyeksi kebijakan pembangunan nasional pada skala lini. Ketiga, menilik konsep percepatan kesejahteraan dalam pembangunan nasional (mengejar pertumbuhunan atau pemerataan) dan kepastian menikmati bersama kue pembangunan. Keempat, memastikan terjaminnya sektor-sektor kehidupan masyarakat (civil society) banyak berjalan secara adil, demokratis dan humanis oleh pemerintah. Kelima, melihat sejauh mana fase dan akselarasi pembangunan nasional dalam berbagai aspek. Keenam, meninjau ulang apakah pelaksanaan pembangunan nasional mengedepankan nilai-nilai humanisme kebudayaan Indonesia (kultur dan natur-nya bangsa), serta tetap demokratis dan sesuai dengan amanat dan cita-cita Proklamasi 1945, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pembukaannya (Preambule).
Jika tidak segera memiliki proyeksi (blue print) yang jelas dan membumi serta sesuai amanat dan cita-cita proklamasi 1945. Pada akhirnya, negara hanya akan menjadi “daerah omong kosong,” pemimpin negara-bangsa pasca kolonial ini menjadi “budak kapitalisme,” pemerintahan nasional menjadi “mitra manis,” dan rakyat menjadi tumbal para pemilik modal yang mengglobal, para kapitalis yang mendunia, cukong yang menguasai jagat raya!
Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Waljama’ah (ASWAJA),
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB);
Inisiator Yayasan Kedai Ide Pancasila dan Founder Indonesia Young Leaders Forum
(menulis banyak buku dan artikel)
Disclaimer: (makalah ini merupakan pendapat peribadi, orang lain dapat saja berpendapat berbeda).