Palangka Raya, Kalimantan Tengah – Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo, menyerukan bahwa berpolitik adalah sebuah bentuk pelayanan kepada publik, bukan bentuk transaksi kekuasaan dan keuntungan. Hal ini dia serukan pada kegiatan Seminar dengan tema “Dunia Politik di Indonesia dari sudut pandang seorang Imam: Antara Ideolog dan Pragmatisme Politik, Masihkah para Politikus berpolitik dengan Etika?”, yang dilaksanakan di Keuskupan Palangka Raya, Rabu (11/10/2023).
Kegiatan ini dihadiri secara langsung oleh Aloysius Maryadi Sutrisnaatmaka, M.S.F., yang merupakan Uskup Keuskupan Palangka Raya, dan juga oleh para petinggi gereja serta aktivis gereja Katolik di lingkup Provinsi Kalimantan Tengah, dengan jumlah kurang lebih 100 orang.
Benny, sapaan akrabnya, menyatakan bahwa umat Katolik sudah berperan semenjak sebelum kemerdekaan.
“Sejarah kita, kita bergerak dan berperan aktif; ada Kongres Pemuda Katolik tahun 20-an, dan gereja-gereja Katolik berperan, demi mewujudkan apa yang kita sebut kesejahteraan umum, sebagai wujud nilai cinta kasih dan kepedulian serta pelayanan publik yang merupakan panggilan kita,” ujarnya.
Memaparkan bagaimana salah satu tokoh Katolik yang vokal menyuarakan pendapatnya terhadap pemerintahan, Benny menyatakan bahwa politik yang seharusnya adalah politik hati nurani.
“Romo Mangun menyatakan bahwa politik dibagi dua: politik hati nurani dan politik kekuasaan. Politik hati nurani adalah politik yang berpihak pada nilai-nilai yang sesuai dengan Pancasila. Politik hati nurani mengikuti etika berbangsa dan bernegara, yang di Indonesia, adalah sesuai dengan Pancasila. Politik dinasti dengan menggunakan instrumen kekuasaan untuk melenggangkannya, di lain pihak, lalu politik yang memakai kekuatan otoriter radikalisme, itu politik kekuasaan, dan itu yang harus dihalangi,” serunya.
Pakar komunikasi politik itu pun menyatakan politik bukan tempat mencari pekerjaan dan kekuasaan.
“Politik itu pengorbanan, politik itu bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum; politik bukan transaksi kekuatan dan kekuasaan, bukan mencari kerjaan. Orang berpolitik adalah orang yang seharusnya sudah selesai dengan dirinya, sehingga dia melayani publik secara penuh.”
“Lagi, saya tekankan, politik otoriter, politik radikalisme, politik dengan mempolitisasi agama, politik dinasti, itu bukan pelayanan. Itu transaksi kekuasaan. Politik itu pergumulan memperjuangkan nilai-nilai, Pancasila dalam hal Indonesia.”
“Miris rasanya, saat para pengamat politik pun memperbolehkan praktek-praktek politik transaksi kekuasaan itu, dan dianggap lumrah. Indonesia harus dikembalikan lagi, kepada etika politik. Jangan berpikir pragmatis, tetapi harus berorientasi nilai-nilai Pancasila.”
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP juga menyoroti Generasi Y dan Generasi Z dan pergerakkannya.
“Mereka muak dengan dinasti politik, muak dengan politisasi agama. Itu Generasi Y dan Z, yang 50 persen lebih terdaftar menjadi pemilih. Ini harus menjadi perhatian. Generasi ini merindukan dua hal: pemimpin yang memberikan lapangan pekerjaan dan tidak menghalangi atas kebebasan berekspresinya. Mereka pun mudah terpapar dengan ideologi transnasional, karena mereka melihat juga Pancasila tidak dilakukan secara benar dalam pemerintahan,” katanya.
Benny pun menyerukan bahwa untuk mengembalikan roh berpolitik Indonesia sesuai dengan nilai Pancasila, harus digaungkan di media sosial.
“Mereka adalah generasi yang memakai media sosial. Maka, pakailah media sosial untuk menggaungkan wacana dan fakta yang ada. Jangan kalah dengan ‘fakta’ yang direkayasa.”
Dia pun menutup paparannya dengan menyatakan bahwa politik hati nurani dan politik sebagai pelayan publik harus terus digaungkan dan dilaksanakan.
“Ingatkan politik hati nurani, ingatkan pelayanan publik yang adalah politik. Mari kita gunakan media sosial secara beriman dan beretika, untuk menggaungkan nilai politik hati nurani ini, agar etika berpolitik Indonesia tidak pragmatis,” tutupnya.